117

3K 516 98
                                    

Jeno tadi sempat hilang, atau lebih tepatnya dia pergi tanpa bilang-bilang. Dia itu tadi turun ke lantai dasar untuk merokok. Dan... ya, itu sekarang jadi kebiasaannya kalau sedang penat dan tidak bisa bercerita pada siapapun yang lain. Entah apa yang akan ibunya lakukan padanya kalau sampai ketahuan, tapi itu tidak penting lagi karena Jeno sendiri juga sebenarnya tidak terlalu suka baunya yang sukar lepas. Dia tidak berencana untuk mempertahankan kebiasaan itu yang juga sempat menjadi kebiasaan ayahnya saat muda.

Tapi ya, dia pergi tanpa bilang-bilang juga karena tidak menyangka begitu kembali, unit apartemennya akan dalam keadaan terkunci. Untung saja dia selalu membawa kunci kalau keluar, jadi dia tidak kerepotan untuk masuk dan menemukan ternyata tidak ada siapa-siapa di dalam.

Renjun tidak ada. Chenle juga tidak. Dan tidak ada catatan yang ditinggalkan atau apapun di sana. Menelfon pun tidak diangkat, dan kalau mau pergi mencari juga dia takutnya malah akan ada yang menghubungi ke telfon rumah.

Yang pertama terpikir oleh Jeno adalah mungkin Renjun dan Chenle ke tempat Ten. Tapi Ten bilang, dia dan Taeyong sedang tidak di rumah jadi itu tidak mungkin. Jeno coba menghubungi yang lain, seperti teman-temannya yang ia tau tinggalnya tak jauh dari mereka.

Butuh sekitar setengah jam untuk akhirnya Jeno menelfon Jaemin, salah satu orang terdekat tapi rumahnya terbilang jauh jadi Jeno merasa Renjun tidak mungkin ke sana. Tapi nyatanya, dia mendengar Jaemin bilang Renjun memang sempat ke tempatnya. Jeno lalu hanya menepuk kening, tidak percaya.

"Tapi mereka sudah di jalan pulang kok... Maaf ya, Jen. Aku tadi sudah ingin mengantarnya pulang, tapi Renjun menolak...," Kata Jaemin dengan nada penuh penyesalan. Dia memang terdengar panik saat mengangkat telfonnya.

"Oke, oke. Aku mengerti. Terima kasih, Na!"

"Ah, Jen! Jen, tunggu sebentar!" Jaemin membuat Jeno tidak jadi mematikan sambungan. "...ada...yang ingin kutanyakan...."

"...? Tentang?"

"Aku sebenarnya tidak yakin, tapi barangkali kamu tau lebih banyak. Chenle—...."

Cklek.

Suara knop pintu yang dibuka. Jeno menolehkan kepala ke asal suara, dan benar saja, ada Renjun dan Chenle yang berdiri di depan pintu, tidak segera masuk ke dalam. Wajah mereka sama-sama berantakan, membuat Jeno melupakan telfonnya dengan Jaemin dan langsung menghampiri keduanya, "Kalian habis dari mana?? Aku mengkhawatirkan kalian!" Kata Jeno dan langsung menuntun mereka masuk. "Jangan pernah pergi tanpa bilang-bilang lagi! Ya... Aku juga tadi pergi sih, tapi kamu tadi pergi ke rumah Jaemin kan? Jangan pergi sejauh itu sendirian dalam keadaanmu seperti—...!"

"Seperti apa?" Renjun menyela. Dia tatap Jeno tepat di matanya walau terasanya kosong. Yang ditatap tidak melanjutkan bicara, "Jeno. Keadaanku yang seperti apa?"

Ya... Seperti ini.

Dia tadi ingin bicara begitu, tapi kalau diminta menjelaskan 'ini' yang seperti apa, jelasnya yang bagaimana? Dia tidak tau.

Jeno tidak membalas, tapi dia masih terus mencoba mencari jawabannya. Kebingungannya itu terlihat jelas pada wajahnya yang tak lama berganti terkejut saat dia lihat Renjun menitikkan airmatanya, lagi.

"Maafkan aku... Maafkan aku...." kedua tangan terangkat, menyentuh perlahan wajah Jeno. Isakannya mengeras. Beban tubuhnya terasa tidak bisa ia kontrol lagi sehingga ia hampir terhuyung jatuh kalau Jeno kalah sigap. Jeno pada akhirnya jatuh juga, tapi yang terpenting buatnya adalah Renjun tidak jatuh menghantam lantai dan menyebabkan sakit yang mungkin tidak akan terasa lantaran tangisannya sudah menjadi lebih dari sebuah distraksi.

Jeno tidak mengerti. Apa yang membuat Renjun minta maaf? Jeno berusaha mendapatkan jawaban dari Chenle, tapi anak itu juga ikut meringkuk memeluki punggung Renjun yang saat ini sedang ditahan Jeno supaya tidak berlutut di depannya.

[✓] decathect ; norenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang