Apakah itu hal normal jika seseorang dalam keadaan sedih memilih untuk menghilangkan sedihnya dengan beberapa gelas alkohol?
Jaemin pernah menemukan pertanyaan itu pada sebuah situs diskusi, yang mana jawabannya dia suarakan dalam hati sembari membuka tautannya karena ingin membaca sejauh mana orang-orang membahasnya; normal.
Tapi, normal... apa yang dimaksud dengan normal?
Apakah sesuatu jadi normal karena mayoritas penduduk dunia melakukannya? Apakah sesuatu jadi normal karena suatu aktivitas didukung akal sehat? Normal, adalah kata yang memusingkan. Bermacam persepsi bermunculan dari bermacam kepala, sehingga kata 'normal' yang Jaemin yakini tadi merupakan jawaban, dia sembunyikan lagi dalam-dalam.
Tapi penduduk dunia jumlahnya 7 milyar. Walaupun data statistik tidak dia perhatikan dulu, pastilah jumlah orang yang menenggak alkohol dalam keadaan sedih itu lebih sedikit dari yang tidak. Kalau kita menggunakan definisi normal di mana sesuatu menjadi normal karena mayoritas penduduk melakukan, berarti kebiasaan itu tidak normal.
Tidak normal, tapi juga manusiawi.
Manusiawi, karena rasa sedih itu seperti rasa sakit. Rasa sakit yang sejenak bisa dihilangkan dengan tenangnya alkohol. Untuk menghilangkan rasa sakit, semua terasa jadi mungkin untuk dilakukan tanpa memikirkan lagi efek jangka panjang dan segala tetek bengeknya. Paling tidak, itulah yang mendasari Jaemin untuk akhirnya berjalan keluar dari kost dan membeli sebotol anggur.
Tidak, dia tidak pergi ke klub. Dia hanya pergi ke salah satu toko yang dia ingat, Lucas selalu mewanti-wanti untuk tidak menapakkan kaki ke sana. Bingung bagaimana akan melapor ke tuannya, katanya.
Jaemin sudah berumur 20-an. Kuliahnya sebentar lagi selesai. Dia sebentar lagi akan jadi bagian dari masyarakat tanpa ada lembaga yang menaungi sampai dia dapat pekerjaan. Tapi pengalaman membeli anggur sendiri itu baru sekali ini dia rasakan. Sampai pemilik toko pun menyadari dan dia membantunya memilih.
"Kamu terlihat pemula sekali, nak," katanya, tanpa melihat pada Jaemin, dia menyingkirkan botol-botol yang tidak dia rasa cocok untuk pelanggannya satu ini. "Aku cuma bisa bilang padamu, alkohol harusnya adalah sesuatu yang kamu minum ketika kamu ingin merayakan sesuatu. Bukan saat kamu ingin melupakan masalah."
Jaemin terdiam. Dia lihat bapak itu tersenyum seperti yang bangga karena dapat membacanya.
"Saat kamu punya masalah, yang kamu butuhkan itu solusi. Kamu boleh beli ini sekarang supaya aku untung, tapi sebaiknya kamu minum ini nanti saat masalahmu sudah selesai supaya kamu tidak menyesal nantinya."
Menyesal. Jaemin tidak mau menyesal lagi. Kata-kata si pemilik toko barusan sempat membuatnya ingin membatalkan niat, tapi kata-katanya berikutnya justru menguatkan.
"Jangan sampai nanti kamu membuat orang-orang yang peduli padamu khawatir."
Jaemin langsung membayar tanpa berpikir dua kali. Dia iyakan bapak itu karena ia menghargai niatnya, tapi sayang sekali, Jaemin merasa tidak bisa mengikuti saran dari beliau karena keadaannya sendiri tidak memenuhi kriteria.
Orang yang peduli pada Jaemin.
Siapa?
Tidak ada.
Tidak ada yang peduli padanya, sehingga yang dilakukannya begitu keluar dari toko dan menemukan tempat duduk kosong dekat tiang lampu, adalah membuka segel botolnya dan meneguk isinya.
Apa ini normal? Apa yang dilakukannya benar? Jaemin lagi-lagi mempertanyakan itu bersamaan dengan rasa pahit yang aneh itu memenuhi mulutnya. Ini bukan yang pertama buatnya, tapi dia belum juga terbiasa. Walaupun dalam keadaan sedih dan tidak bisa berpikir, ternyata minuman yang dia tidak suka ini pun masih terasa tiada beda dengan ketika di hari lain dia merasa lebih baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] decathect ; noren
FanfictionJeno yakin dirinya adalah lelaki baik-baik. Dia selalu mendengarkan kata-kata orangtuanya untuk tidak memperlakukan orang sembarangan. Kalaupun pada akhirnya dia melanggar, dia tau dia harus bertanggung jawab. Makanya waktu tiba-tiba ada anak kecil...