Beberapa hari setelah kembali ke kota perantauan, aktivitas sehari-harinya juga sudah kembali seperti biasa. Musim ujian sudah selesai. Baik Renjun maupun Jeno sudah bisa mengatur waktu kembali untuk bergiliran menjaga Chenle di kost masing-masing.
Semuanya sudah kembali seperti semula, ke hari-hari biasa di mana Jaemin juga tak jarang terlibat dalam urusan mengurus Chenle yang memang senang menghabiskan waktu dengannya, dengan tante Nana yang senyumnya manis sekali.
Ya, seharusnya seperti itu. Semua harusnya terasa seperti itu, tapi Renjun mau tak mau merasakan adanya perbedaan besar sekarang, kalau mengingat bagaimana sesuatu yang beberapa waktu terakhir sudah menjadi rutinitas baru ---di mana Renjun akan mengantar Chenle ke rumah Ten pagi-pagi sekali, lalu juga akan menjemputnya lagi seusai kuliah--- sudah tidak dilakukannya lagi.
Jaemin waktu itu juga sangat terkejut mendengar kabar tentang Ten. Dia bertanya karena dia kira Chenle tidak akan dititipkan lagi padanya setelah beberapa minggu memang dia jadi tidak melihat Chenle.
"Ya ampun. Aku turut sedih," kata Jaemin saat makan siang bersama Renjun setelah sekian lama tidak bertemu karena ujian dan berbagai hal lainnya. "Dia pasti tidak mengenalku, tapi kalau kamu ke tempatnya dalam waktu dekat, tolong sampaikan salamku ya? Katakan, aku berdoa untuknya."
Renjun menggelengkan kepalanya, membuat Jaemin tidak mengerti maksudnya. "Aku pernah menyebut namamu padanya waktu beberapa kali aku menjemput. Kurasa dia masih ingat," katanya, di sela-sela permainan tangannya dengan garpu yang melilit spaghetti yang baru kali itu dia pesan di kantin ---yang rupanya tidak enak menurutnya. "Salamnya akan kusampaikan, pasti. Tapi aku juga tidak tau kapan akan ke sana lagi."
"Kenapa? Kamu sudah balik sibuk?"
Sibuk? Tidak mungkin. Ini masih minggu-minggu awal setelah ujian. Memang sudah banyak tugas, tapi Renjun tidak akan melabeli dirinya sendiri sibuk di depan Jaemin yang dia ketahui jauh lebih sibuk karena dia bergumul dengan urusan kuliah dan juga organisasi. Rasanya seperti, ah, sesibuk-sibuknya Renjun juga tidak akan melebihi sibuknya Jaemin.
"Bukan. Cuma ya... Aku rasa, kak Ten sedang butuh sendiri. Aku tidak tau rasanya sih, tapi kehilangan anak pertama ya... Entahlah. Aku takut saja."
Jaemin bergumam sebentar, dengan tangan yang juga jadi memainkan garpunya, "Tidak enak ya? Menitipkan anak ke orang yang baru kehilangan anak? Tapi kamu bisa ke rumahnya tanpa kepentingan seperti itu kan? Maksudku, seharusnya kamu menunjukkan dukungan, lho?"
Dukungan ya? Renjun merasakan ada sesuatu yang berat seakan dijatuhkan tiba-tiba di atas pundaknya waktu Jaemin menyebutkan kata itu. Bukan, bukan berarti Renjun tidak ingin memberi dukungan untuk Ten dan Taeyong yang sudah banyak membantu. Tapi Renjun ini sayangnya terlalu sadar sendiri bahwa dirinya sangat tidak pandai menghibur orang yang sedang bersedih. Seringkali dia malah jadi menyebutkan hal-hal yang jadi menyinggung dan membuat lawan bicaranya makin terpuruk. Dan Renjun tidak mau itu. Apalagi, di hari itu waktu Renjun sempat menginap dengan niat membantu berjaga supaya Taeyong lebih tenang, dia mendengar sesuatu yang mungkin seharusnya tidak dia dengar walaupun tidak sengaja. Tepatnya, dia mendengar itu dari Doyoung yang baru sampai di sana tengah malam.
Doyoung waktu itu memeluk Ten sambil berurai airmata, mengucapkan beribu kata penenang yang sebenarnya terdengar aneh kalau itu ditujukan untuk Ten. Aneh, karena ya... Ten tidak menangis. Tidak juga terlihat akan menangis. Dia terlihat sangat tenang, sampai rasanya akan lebih cocok jika mereka bertukar posisi; Ten yang memeluk Doyoung dan memintanya tenang.
"Ten, temanku, sahabatku," kata Doyoung di sela tangisannya yang teredam pundak Ten yang terasa lemas dan tidak terlihat akan membalas pelukannya. "Kenapa...? Kenapa harus selalu kamu yang mengalami ini?"
Saat itu, hanya Renjun sendirian yang orang asing di sana. Orangtua Jeno ---Doyoung dan Jaehyun--- adalah teman baik Ten dan Taeyong. Doyoung menangis untuk Ten, dan Jaehyun juga bertukar kata dengan Taeyong yang nampak jelas jadi terlihat bebannya berkurang dengan kedatangan mereka.
Dan di saat seperti itu, Jeno tidak ada di ruangan. Dia sedang pergi membelikan makanan sekadarnya untuk mereka yang menetap malam itu. Chenle juga sudah tertidur di sofa setelah sepanjang sore dia tidak banyak bicara seperti biasa.
Seperti biasa. Benar, semuanya tiba-tiba menjadi tidak biasa. Berpikir dan terus berpikir apa saja hal kecil yang saat ini terasa tidak biasa lama-lama membuat kepalanya serasa mau pecah.
"Lalu, Chenle sekarang di mana? Dia tidak kamu tinggalkan sendiri di apartemenmu kan?" Tanya Jaemin saat tiba-tiba teringat soal anak kecil yang hampir selalu menjadi alasan dari interaksinya mereka.
"Kamu tidak tau ya? Chenle ikut Jeno ke kelas," kata Renjun dibarengi helaan napas kala mengingat apa yang dikatakan Jeno soal tindakannya itu tadi pagi. "Dia sedikit terganggu soal Chenle yang akhir-akhir ini diam, jadi menurutnya Chenle butuh menambah kenalan. Ya, aku setuju soal itu, tapi aku tidak mengerti di bagian mana dia merasa oke untuk memberi Chenle kenalan mahasiswa semester tua...."
Bukan mereka gagal mengerti apa yang membuat Chenle jadi tidak seaktif biasanya, tapi memang Renjun mengakui di saat seperti ini dia tetap ingin menjaga suasana hati Chenle tetap baik. Bagaimanapun, menurutnya Chenle tidak seharusnya dibuat pusing urusan orang dewasa ---walaupun Renjun sendiri juga masih ragu apakah dia benar bisa disebut dewasa atau tidak. Tapi Renjun tidak menyangka Jeno malah terlihat lebih niatnya dengan membawa Chenle ikut ke kelasnya, mengikuti kuliah dan segala macamnya. Dan, ya ampun, Jeno bisa saja dimarahi dosen untuk itu kan?
"Tenang, teman kelasku baik-baik. Dosen hari ini juga kurasa tidak akan berkomentar banyak. Ayolah belajar untuk percaya padaku sekali-sekali!" Begitu kata Jeno, seakan Renjun selama ini tidak pernah percaya padanya.
Di tengah serunya perang batin dalam diri Renjun, Jaemin mengulum bibir bawahnya sebelum mengeluarkan gumaman, "Oh... Sama Jeno...."
"Hm? Iya, sama Jeno. Kukira kamu sudah tau."
Jaemin tertawa sambil menjelaskan tentang dia sebenarnya tidak sesering itu bertemu Jeno di lingkungan fakultasnya. Kelas yang mereka ambil semester ini tidak ada satupun yang sama. Untuk bisa bertemu di sana, itu bisa-bisa saja kalau memang sudah janjian.
"Hmm... Aku sudah lama tidak ketemu Chenle. Apa aku chat Jeno saja ya? Aku mau ke kelasnya."
"Chat saja. Kalau tidak salah hari ini dia ada kelas siang. Kalau kamu tidak ada kelas lagi, ke kelasnya saja kalau mau."
Jaemin tersenyum dan mulai merogoh hapenya yang disimpannya dalam kantong celana, "Lalu? Kamu tidak ikut?"
"Tidak. Aku masih ada kelas habis ini." Renjun menghabiskan jusnya dengan sedotan terakhir sebelum meringis waktu dia cek jam tangannya yang menunjukkan pukul 1 kurang. "Ah, aku harus pergi sekarang. Aku duluan ya?"
Lalu Renjun pergi dengan terburu-buru setelah dibalas Jaemin dengan lambaian tangan yang kemudian mulai sibuk mengetikkan beberapa kata di chatroom-nya dengan Jeno.
.
.
.Tbc
A/n. Anjir aku beneran lupa dong sama ceritanya wkwk 😂😭
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] decathect ; noren
FanfictionJeno yakin dirinya adalah lelaki baik-baik. Dia selalu mendengarkan kata-kata orangtuanya untuk tidak memperlakukan orang sembarangan. Kalaupun pada akhirnya dia melanggar, dia tau dia harus bertanggung jawab. Makanya waktu tiba-tiba ada anak kecil...