Cari angin.
Dari yang dimaksud dengan 'cari angin' oleh si om, Jeno kira sebenarnya itu cara si om mengajaknya keluar karena ada pembicaraan yang sebaiknya tidak didengar orang lain selain mereka berdua.
Tapi....
"...dingin ya," kata si om, setiap ada angin sepoi-sepoi yang menerpa pipi kanannya.
Lalu Jeno akan membalas, "Iya," setiap kali si om mulai berceletuk.
Setiap kali? Setiap kali.
Jeno ya, jujur saja, dia merasa dirinya ini adalah tipe orang yang mudah membuka pembicaraan bahkan dengan orang asing sekalipun. Tapi entah kenapa, dengan Yuta, si om-om ini, rasanya Jeno lebih memilih diam memikirkan alasan supaya bisa cepat pergi dari sana ketimbang memikirkan topik pembicaraan yang kira-kira mudah diikuti.
Tadi juga Yuta sempat bertanya padanya, "Kamu ngerokok?" yang mana Jeno sangkal dengan sopan, sambil mengira si om ini sebenarnya akan menawarinya sepuntung rokok jika mengiyakan. "Bagus. Awas ya kamu kalo ngerokok. Aku pisahin kamu dari Renjun, ntar."
"...iya, om." tapi ternyata tidak. Ya sudah.
Mendapat respon yang menurutnya kurang asik, Yuta melirik, "Kamu kenapa sih? Kayak beda. Renjun juga, nggak kayak biasa," katanya lagi tanpa terlalu yakin juga apa yang membuat baik Jeno maupun Renjun pada kedatangan kali ini terlihat ada yang berbeda. "Udah mulai suka sama Renjun? Eh, nggak. Kalo kalian mah kayaknya bakal Renjun duluan yang suka. Iya ya?"
Jeno melotot. Kalau tadi dia sedang meneguk air, pasti airnya itu malah akan tersembur begitu saja ke halaman depan teras, kalau bukan mengenai Yuta beberapa percikan. "Hmm... itu sih...."
"Benar kan? Soalnya dulu juga mamanya yang duluan suka."
Hah.
"Yang bener, om? Sama om, gitu?"
Yuta mengangguk, tidak kelihatan tersinggung soal cara Jeno bertanya seperti yang tidak percaya kalau Winwin bisa jadi pihak yang suka lebih dulu.
Yuta memindahkan piring yang tadi habis dipakainya makan ke tempat yang sedikit lebih jauh dari kakinya, supaya kakinya bisa diluruskan karena sepertinya dia ingin sedikit... apa ya? Mendongeng?
"Kalo kamu mau tau, kami itu dijodohkan," katanya. "Tapi ini kamunya mau tau, nggak?"
Atuh, udah dikasih opening gini masa Jeno jawab nggak. "Mau kok, om."
"Kenapa mau?"
Kok ya kenapa.... "Soalnya... om sama tante nggak keliatan kayak pasangan hasil perjodohan."
"Keliatannya kayak apa?"
"Kayak... pasangan yang menikah habis pacaran bertahun-tahun?"
Yuta ketawa. Kayak bangga gitu. "Kita pacarannya abis nikah. Keren banget lah."
Muji diri sendiri dong. Jeno ikut ketawa aja.
Ngomong-ngomong, Jeno sebenarnya penasaran di sini karena sepertinya ini baru pertama kalinya dia mengenal pasangan yang menikah karena perjodohan. Jeno jadi mengingat-ingat lagi drama-drama siang hari yang mana bercerita seputar perjodohan yang selalu diawali dengan pertentangan dari kedua pihak. Jadi... apakah mereka juga dulu seperti itu? Atau tidak? Jeno benar-benar penasaran tapi dia tidak berani bertanya.
Untung Yuta ini tipe orang yang akan bercerita kapanpun dia ingin, terlepas ada atau tidaknya orang bertanya. "Waktu itu kita masih umur 20-an. Masih muda, masih banyak kenalan yang sesama jomblo. Gayaku juga waktu itu masih berandal ---sedikit sih, tapi buat ukuran karyawan kantor, penampilanku waktu itu bener-bener nggak banget. Pas umur udah mendekati 30, orang-orang mulai pada bilang aku harusnya ngebenahin diri kalo masih ada rencana nikah. Kasian istriku ntar punya suami berantakan, katanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] decathect ; noren
FanfictionJeno yakin dirinya adalah lelaki baik-baik. Dia selalu mendengarkan kata-kata orangtuanya untuk tidak memperlakukan orang sembarangan. Kalaupun pada akhirnya dia melanggar, dia tau dia harus bertanggung jawab. Makanya waktu tiba-tiba ada anak kecil...