"Kalau begitu, kami permisi dulu. Terima kasih sudah mempersilakan kami bertamu."
Mark berjalan meninggalkan Lucas yang masih sibuk bertukar sapa dengan Jeno yang mengantar sampai pintu depan unit apartemennya.
Jeno sebenarnya hendak mengantar sampai lift, tapi Lucas bilang tidak perlu, "Aku yakin masih banyak hal yang butuh kalian bicarakan malam ini! Manfaatkan waktu sebaik-baiknya ya!" Katanya. "Dan istrimu sepertinya benar-benar banyak pikiran... Tapi aku yakin kamu juga sama. Pokoknya, jaga kesehatan!"
Setelah berhasil membuat Jeno tidak mengikutinya, Lucas segera menyusul Mark yang berdiri di depan lift, diam, tidak melakukan apa-apa. Tombol pemanggil lift juga belum ditekan, dilihat dari tombolnya yang tidak berwarna menyala.
"Mark! Apa-apaan yang tadi itu?!" Dia melayangkan pukulan pada pundak Mark yang sama sekali tidak menghindar. Tidak lupa juga dia tekan tombol lift-nya setelahnya.
"Apa lagi?!"
"Soal omonganmu barusan! Kenapa kamu harus bilang soal Jeno masih hidup seperti itu?!"
Seperti itu? Seperti apa? Mark hanya menatap malas karena yang memenuhi pikirannya sekarang adalah hal lain, "Kamu juga yang tadi menyetujuiku kalau kesalahan yang satu itu fatal. Aku sempat bertanya padamu dulu itu kan aku juga sedang minta pendapat apa aku harus bilang saja atau tidak, dan kamu mengiyakan."
"Tapi maksudku kenapa harus semenyebalkan itu!! Kamu kan bisa bilang yang semacam... Err... Apa ya... Ya, pokoknya tidak yang semenyebalkan barusan!!"
"Kamu memang bisa, tapi aku tidak. Cara bicaraku memang begini," tukas Mark sambil mengibaskan tangannya pada Lucas, memintanya untuk tidak mengungkit-ungkit itu lagi.
Tak lama, pintu lift terbuka, menampilkan keadaan dalam lift yang kosong. Bersamaan dengan bunyi bel yang menandakan tibanya lift, terdengar juga suara anak kecil yang datangnya dari arah berlawanan. Itu Chenle, datang memanggil-manggili Mark, "Om!! Om Mark!!"
Lucas buru-buru menekan tombol lift untuk menjaga pintu lift tetap terbuka, karena posisinya mereka berdua sudah masuk ke dalam.
"P-papa, papa benar-benar ada...?" Tanya Chenle dengan napas tersengal habis berlari, dan juga sehabis menangis.
Mark menoleh pada Lucas terlebih dahulu, lagi-lagi meminta pendapatnya apa sebaiknya mereka sampaikan saja sejauh yang mereka tau. Tapi Lucas tidak memberinya jawaban jelas, jadilah Mark memutuskan sendiri, "Ya, seharusnya. Tapi untuk lebih jelasnya kami akan cek lagi...—"
"Tante Nana??" Katanya lagi, terlalu tergesa-gesa hingga tidak memberi kesempatan pada Mark untuk menyelesaikan jawabannya. "...kalau tante Nana?? Tante Nana bagaimana??"
Lucas menelan ludah. Dia mengerti kenapa Chenle tiba-tiba menanyakan Jaemin, si tante Nana, kalau mengingat bagaimana Chenle selama ini mengira Jeno mati, berarti ada kemungkinan juga tentang apa yang didengarnya soal Jaemin pun salah. Siapa tau kan?
Tapi sayangnya, mereka tau apa jawabannya. Dan jawabannya tidak akan menyenangkan. Lucas lihat Mark menarik napasnya sebelum menjawab dengan nada tenang, "Ada. Jaemin ada di rumah."
Di rumah? Maksudnya, di rumah saat ini? Tunggu, apa itu yang ditanya Chenle? Sepertinya bukan! Tapi seolah tak mendengar pada selaan Chenle yang mengoreksi pertanyaannya supaya lebih jelas siapa yang dia maksud, Mark terus melanjutkan tentang Jaemin yang hari ini memang mengusir mereka berdua karena ingin memonopoli rumahnya sendirian, sama seperti yang dia katakan juga pada Jeno. Intinya, Jaemin memang ada. Tapi bukan Jaemin yang Chenle maksudkan.
"Om, bukan! Maksudku tante Nana yang di sana!"
Chenle kelepasan meninggikan suaranya karena Mark tak kunjung membenarkan jawabannya. Tapi yang didapatnya setelahnya juga bukan sesuatu yang bisa dibilang jawaban.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] decathect ; noren
FanfictionJeno yakin dirinya adalah lelaki baik-baik. Dia selalu mendengarkan kata-kata orangtuanya untuk tidak memperlakukan orang sembarangan. Kalaupun pada akhirnya dia melanggar, dia tau dia harus bertanggung jawab. Makanya waktu tiba-tiba ada anak kecil...