23

9.7K 1.9K 141
                                    

A/n. Sebenernya pengen update besok aja karena udah malem takut ganggu yg besok sekolah, tapi mengganggu kalian itu menyenangkan jadi ya bagaimana ya 🤥🤥🤳

.
.
.

"Wah... Ternyata ada kejadian seperti itu ya...."

Renjun menggigiti sendoknya dengan tatapan jatuh ke permukaan meja. Dia tidak tahu bagaimana harus menanggapi komentar Jaemin yang benar-benar seadanya mengenai ceritanya tempo hari.

Saat ini, Renjun dan Jaemin sedang di kantin dekat pemberhentian shuttle untuk makan siang. Tumben sekali memang Renjun yang malas jalan kaki mau-mau saja berjalan berlawanan arah dari fakultasnya, menyeberang ke kantin yang bisa didatangi lebih dekat kalau dari fakultas Jaemin. Ya, mereka memang sengaja menyempatkan bertemu.

"Jadi hari ini, sehabis kuliah, Jeno akan menemui orangtuanya lagi?" Jaemin bertanya dengan nada penasaran. "Chenle? Chenle ikut?"

Renjun mengangguk. "Ayahnya yang minta. Aku tadi cerita soal bagaimana sambungan telfon tidak diputus kan? Aku mendengar suara ayahnya yang sepertinya baik sekali pada Chenle."

"Oh ya? Seperti apa?"

"Hmm... Kudengar dia bilang Chenle itu manis...."

Tapi tidak mirip Jeno.

Itu kata ayah Jeno yang Renjun juga bisa dengar, tapi tidak bisa dia ceritakan pada Jaemin. 

Tanpa sadar, Renjun meremat sendok di tangannya dengan kencang, begitu mengingat bagaimana tanggapan Jeno setelahnya.

'Manisnya Chenle itu dari mamanya'.

Ah, Renjun merasakan wajahnya memanas kalau membayangkan lagi suara Jeno. Suaranya waktu itu masih bisa didengarnya walau samar. Di tengah paniknya dia karena mengetahui situasi yang sedang menimpa Jeno tapi tidak bisa berbuat apa-apa, suara lembut Jeno itu malah sempat-sempatnya membuat hatinya menghangat. Dan parahnya lagi, dia baru menyadari kalau Jeno mungkin saja memang menganggapnya manis itu saat telfon sudah diputus, dan dia baru akan tidur. Hal itu membuatnya jadi terjaga semalaman. Untung besoknya minggu.

Renjun sendiri sebenarnya tidak mengerti. Kadang memang ada orang yang secara random bilang padanya, complex wajahnya itu sedikit lebih feminim dari laki-laki kebanyakan. Dia sangat benci kalau harus dikomentari semacam itu, membuatnya merasa seperti sedang digoda mamanya dengan sengaja.

Tapi entah kenapa, Renjun sama sekali tidak merasa terpuruk memikirkan Jeno ternyata juga melihatnya seperti itu. Atau malah, Renjun sebenarnya ingin Jeno bilang padanya langsung.

Kalau Renjun harus mendeskripsikan apa yang dirasanya tiap dia mengingat-ingat lagi suara Jeno, rasanya seperti ada rasa geli di perutnya. Ada kupu-kupu yang ingin dibebaskan dari sana.

Renjun tanpa sadar jadi memegangi perut, dan Jaemin yang melihat itu jadi bertanya, "Njun, sakit perut?"

"Eh, nggak kok. Tadi aku bengong...."

Jaemin tidak terlalu membalas. Dia hanya mengingatkan Renjun untuk cepat menghabiskan makannya karena Renjun masih ada kelas setelah itu.

"Hmm...." Jaemin memangku dagu. "Kira-kira kemungkinan terburuk dari ini apa ya?"

Kemungkinan terburuk. Renjun juga sempat diberi tahu Jeno soal apa saja yang mungkin terjadi kalau negonya hari ini tidak berhasil.

Mungkin, Chenle akan dititipkan pada kenalan yang mau mengasuh.

Mungkin, Jeno akan disuruh meninggalkan Chenle di panti asuhan.

Mungkin, Jeno akan diizinkan untuk tetap mengurus Chenle seperti yang selama ini dia lakukan.

Semuanya itu masih kemungkinan, tapi pada kemungkinan yang ketiga, mereka masih merasa lumayan bisa berharap karena Jeno yakin tingkah ibunya kemarin itu hanya karena terlalu kaget.

Renjun mengecek hapenya. Jeno sudah janji padanya akan memberi kabar apapun hasil yang didapat. Sekarang, yang bisa Renjun lakukan hanyalah berharap cemas.

.
.
.

Tbc.

A/n.

Wehe panjang ya ges. Sepanjang jalan kenangan

[✓] decathect ; norenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang