42

7.3K 1.5K 129
                                    

Diminta untuk menelfon terlebih dahulu kalau sudah tiba di halte tujuan adalah hal biasa. Biasanya itu supaya orang yang dikunjungi akan lebih bersiap lagi di rumah untuk menyambut tamu dari jauh dengan lebih matang lagi. Yuta, papanya yang katanya sangat protektif itu juga memintanya melakukan demikian, tapi itu karena si papa menawarkan diri untuk menjemput di sana, di halte.

"Nggak usah, pa. Repot, ntar." Renjun menolak tawaran Yuta ketika masih di jalan. "Lagian nggak jauh-jauh banget kan. Habis dari halte nanti kita bisa cari kendaraan umum lagi---"

"Mamamu ribut bilang papa harus jemput. Turutin papa lah, biar mamamu nggak marah-marahnya ke papa," kata Yuta yang di kalimatnya yang terakhir terdengar seperti memohon. "Kasihan anakmu juga kecapekan habis perjalanan jauh. Sudah ya? Papa berangkat sekarang, nanti kalau kalian sudah sampai, telfon. Papa bakal nunggu di sana."

Lalu telfon dimatikan sepihak. Renjun hanya bisa menghela napas sambil menarik senyum tipis.

"Apa kata si Om?"

Renjun tidak langsung menjawab pada Jeno yang barusan bertanya di sebelahnya. Jeno yang saat ini memangku Chenle yang lagi-lagi tidur karena pengaruh obat anti mabuk perjalanan itu bertanya dengan wajah yang sebenarnya kelihatan sudah tau apa jawaban dari pertanyaannya, dan itu membuat Renjun sedikit menunda menjawab.

"Mau jemput ya?"

Tuh. Dia sudah tau jawabannya. Renjun hanya tinggal mengangguk mengiyakan lalu menyimpan hapenya dalam tas. "Iya, papa mau jemput. Disuruh mama begitu jadi ya sudah."

"Haha, kalau ibu negara udah bertitah ya mau bagaimana lagi."

Renjun tidak terlalu membalas. Dia lebih memilih mengiyakan dalam hati soal Winwin, mamanya itu walaupun kelihatannya kalem, tapi ahli dalam hal mengatur-atur orang, terutama Yuta yang memang dari awal tidak pernah keberatan diatur-atur olehnya.

Renjun lalu memerhatikan Chenle yang tidur dengan mulut terbuka. Berkali-kali Renjun mengangkat tangannya untuk menutup mulut Chenle yang menganga, tapi mulut kecil itu pasti akan terbuka lagi waktu Renjun sedang fokus dengan hal lain.

Melihat Renjun masih melakukan hal yang menurutnya sia-sia, Jeno menggelengkan kepala pelan, "Ibu negara yang ini nggak mau tidur juga? Daritadi melek terus. Nggak ngantuk?"

Renjun merengut, "Nanti kelewatan turunnya kalau tidur semua."

"Masih jauh. Udah, tidur aja. Mukamu itu ngantuk banget."

"Mukaku?" Renjun menepuk-nepuk wajahnya yang dibilang muka ngantuk oleh Jeno yang lagi-lagi mengiyakan. Tapi memang dia akui matanya sudah terasa berat sekarang, dan terus-terusan melihat betapa pulas Chenle tidur di atas pangkuan Jeno daritadi jadi membuatnya ingin tidur juga.

Tanpa pikir panjang lagi, Renjun menurut untuk memejamkan matanya, seperti kata Jeno.

"Nyender sini juga nggak apa-apa," kata Jeno sambil menepuk bahu.

Matanya sudah terpejam, tapi Renjun masih bisa tersenyum senang sebelum mulai meringsut ke sebelah kanan untuk bersandar pada Jeno, seperti kata Jeno.

.
.
.
tbc

[✓] decathect ; norenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang