95

3.7K 692 92
                                    

Rencana Renjun tempo hari, sampai hari ini sudah berjalan kira-kira tiga kali.

Rencana? Yang mana?

"Lele mau es krim?" Renjun menunjuk satu sudut jalan di mana terlihat ada yang menjajakan es krim cone dengan berbagai warna dan rasa. "Kalau mau, kita ke sana. Mama juga mau soalnya."

Chenle menggeleng sebenarnya, tapi Renjun ternyata tetap akan menyeretnya ke sana terlepas dari Chenle menjawab apa. Mereka merapat dan pergi setelah membeli dua cone es krim.

"Ayo dong, kita sudah ke luar, nih. Jajan saja semaumu sampai puas, sampai kenyang." Renjun berkata lagi di tengah-tengah asiknya menjilat krim.

Jajan sepuasnya? Hm, menggiurkan sih, tawarannya. Chenle juga akan luar biasa senang kalau Renjun bicara seperti itu tanpa niat tersembunyi.

"Terus juga sampai capek, sampai kamu mau cerita seeeemua yang kamu tau soal Mark Lee, soal papa, soal... soal semua!"

Tapi sayangnya, niat itu ada, sehingga Chenle jadi tidak tau apa saja yang kira-kira bisa dilakukan di saat seperti ini. Buatnya sekarang, Renjun terlihat sangat menyeramkan.

Sudah tiga kali Chenle dibawa keluar seperti ini oleh Renjun sementara Jeno pergi kuliah. Dan tiga kalinya itu juga Chenle tidak membuka mulutnya tiap dirasa Renjun mulai seperti ingin menginterogasi.

Sebenarnya, kalau boleh jujur, Chenle beberapa kali mungkin sudah akan jatuh ke dalam rencana Renjun kalau saja Renjun tidak membeberkan rencananya begitu saja. Renjun berkali-kali menyebutkan soal bagaimana dia ingin membuat Chenle lelah sampai tidak merasa ingin menyembunyikan apapun lagi, padahal justru itu menghancurkan rencananya itu sendiri. Chenle kadang tidak paham bagaimana cara mamanya itu berpikir....

Hari ini pun rencana itu tidak berhasil. Renjun memutuskan pulang saat jam menunjukkan pukul 4 sore dan Jeno juga sudah menanyakan di mana keduanya.

"Iya, kita sudah di jalan pulang kok. Hm? Besok kamu masuk pagi? Ya sudah, mau aku di tempatmu saja malam ini? Biar aku siapkan sarapanmu besok?" Kata Renjun di tengah obrolannya dengan Jeno lewat telfon. "Aku? Aku besok masuk siang kok, tenang saja. Tapi besok aku tidak akan ke tempatmu ya habis kuliah? Ada kerja kelompok soalnya... Hm. Hm. Iya, oke! Dadah!"

Lalu telfon dimatikan.

Kereta saat itu sedang jam-jam akan ramai. Tidak penuh sesak, tapi tidak ada kursi kosong untuk keduanya duduk. Jadi Chenle harus dipangku Renjun kalau mau ikut duduk.

Renjun, masih dengan tangan yang menggenggam hapenya, dia peluk Chenle tidak terlalu erat sambil berbisik, "Ditanya papa tuh tadi! Senang tidak diajak jalan terus? Hm?"

Chenle tertawa datar. Bahkan Jeno juga sudah menyadari Renjun memang sesering itu membawanya jalan-jalan.

"Hei, kok diam saja sih, padahal lagi ditanya...." Renjun menepuk kaki pendek Chenle yang menggantung. "Senang, tidak?"

"...senang, ma...."

Akhirnya Chenle jawab begitu walaupun dalam hati, jawabannya sama sekali bukan itu. Tapi Renjun terkekeh sebelum kembali merapatkan pelukannya pada Chenle. "Lain kali, kita jalan lagi sama papa yuk? Tapi kapan ya, hmm...."

Chenle tidak menggubris, dan Renjun juga tidak terlalu mengharapkan sesuatu dari Chenle. Renjun tau, walaupun Chenle hari ini dan kemarin-kemarin tidak bicara dan tidak memberikan penjelasan yang dia mau, Chenle juga sudah berhasil dia buat lelah.

"Ngantuk, Le? Tidur aja. Nanti dibangunkan." Renjun mengusap rambut yang menutupi kening Chenle. Oh, rambutnya basah. Dia berkeringat, jadilah Renjun ambilkan saputangan. "Nanti sampai kost papa, kita mandi ya. Terus tadi pagi mama lihat di rak dekat tempat piring ada bubuk coklat sachet-an. Nanti malam kita minum itu sama papa, mau?"

Chenle mengangguk, tidak merasa ada yang berbahaya dari omongan Renjun saat ini.

Kalau Chenle pikir lagi, memang selalu begitu. Renjun mungkin akan terlihat sangat terang-terangan ingin membuat Chenle banyak bergerak di luar, tapi begitu sudah di jalan pulang, Renjun akan menawarkan banyak hal menyenangkan yang tidak dia sangkut pautkan dengan yang dia sebut-sebut sebagai rencana itu.

Atau, sebenarnya itu juga bagian dari rencananya? Hm, entahlah. Chenle benar-benar sudah lelah hari ini. Dia hanya memilih untuk bersandar dengan lebih nyaman pada Renjun, bersiap untuk menyanggupi tawarannya untuk tidur saja sampai kereta berhenti di tujuan.

Renjun juga masih melingkarkan tangannya pada tubuh Chenle, menjaganya supaya tidak merosot dari pangkuan. Hape juga masih berada dalam genggaman, sehingga saat hapenya itu bergetar menandakan ada telfon masuk, Chenle dapat merasakan getarannya juga.

Penasaran siapa yang menelfon, Renjun segera membalikkan layar supaya nama kontaknya terpampang. Dari posisinya, Chenle juga bisa melihat kalau telfon itu datang dari kontak yang bernama 'mama'.

Mama, ya? Chenle sempat berpikir sebentar siapa mama yang dimaksud ini. Mama dari mama. Mama dari Renjun. Oh, yang waktu itu. Yang Renjun bilang berkali-kali kalau dia adalah neneknya juga, dan posisinya sejajar dengan Doyoung.

Tapi Chenle sampai sekarang masih tidak mengerti darimananya orang itu bisa dibilang sejajar dengan Doyoung, nenek kesayangannya. Ibu dari papanya.

Chenle melihat layar hape Renjun tidak berganti. Tidak juga Renjun terlihat akan melakukan hal lain selain menatap layar itu dengan wajah yang Chenle sulit artikan.

"Ma?" Chenle memanggil dengan kepala didongakkan ke atas, supaya bisa melihat lebih jelas lagi wajah mamanya yang terus diam. "Ma? Kok nggak diangkat?"

Renjun tidak berkata apa-apa sampai layar hapenya mati lantaran tidak direspon. "Wah, mati. Baru saja mau diangkat," katanya sambil tertawa pelan. "Tapi kita lagi di kereta. Banyak orang. Tidak enak kalau harus menerima telfon di tempat seperti ini."

Chenle mengernyit sementara Renjun bergerak untuk menyimpan hapenya dalam tas. Tidak enak menerima telfon di tempat seperti ini? Yang seperti apa? Di kereta, banyak orang? Tapi sebelumnya Renjun menelfon Jeno dengan tanpa beban sedikitpun. Dan lagi, kereta juga sedang tidak sepadat itu sampai harus khawatir akan mengganggu hanya karena panggilan telfon yang khawatirnya penting.

Drrt.

Getarannya datang lagi. Masih terasa oleh Chenle yang merasa pelukan Renjun jadi lebih kencang dari sebelumnya.

"Ma? Telfon...."

Renjun tidak menjawab. Chenle yakin, Renjun pasti juga tau hapenya itu bergetar lagi. Tapi Chenle tidak mengerti, kalau memang begitu, lantas kenapa Renjun tidak melakukan apa-apa soal itu dan malah memeluknya makin erat? Ditambah lagi, Chenle seperti mendengar suara napas Renjun dari belakangnya bertambah berat.

Ah. Kereta, cepatlah berhenti. Chenle tidak tau harus apa lagi.

.
.
Tbc

a/n. Writerblock ☹️

[✓] decathect ; norenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang