131

2.9K 488 77
                                    

Mereka menginap di rumah Jaehyun dan Doyoung selama tiga hari, setelah Chenle bilang dia sudah puas dengan foto-foto yang diambilnya.

"Padahal di sana kakek Jae dan nenek Doy ada, kan? Apa memang kamu butuh foto sebanyak ini?" Renjun bertanya sambil melihat-lihat lagi foto-foto dalam galeri hapenya.

"Mau bawa banyak biar bisa kasih lihat Kakek dan Nenek di sana!" Begitu katanya, lalu dia minta pinjam sebentar hape Renjun. "Nih, mau kasih lihat foto yang ini ke Nenek." Dia menunjuk foto Doyoung memegang kertas bertuliskan 'Nenek janji bakal buatkan kue setiap hari untuk Lele!'. Itu supaya dia bisa dapat kue dari neneknya di masa depan sesering yang dia mau. Kan sudah janji, katanya.

Renjun hanya tersenyum tipis, memikirkan Doyoung pasti tetap akan mengiyakan untuk membuatkan kue bahkan walaupun foto macam itu tidak ada. Tapi karena hasil fotonya bagus, sepertinya mencetak lebih dari satu juga tidak ada ruginya. Mungkin saja Jeno juga mau? Atau malah Jaehyun juga bisa saja minta dilebihkan.

Sebelum pulang, Doyoung memberikan pelukan eratnya yang terakhir untuk Chenle. Seperti pelukannya dari hari pertama itu tidak pernah cukup, dia memeluk lumayan lama tanpa melepas sedikitpun.

"Selamat jalan, sayang. Sehat-sehat ya," kata Doyoung dengan lembut tepat di telinga Chenle yang juga tidak memaksa lepas. "Nenek benar-benar tidak pernah menduga akan merasakan punya cucu secepat ini... Tidak pernah menduga juga ternyata kita cuma bisa sampai di sini...."

Chenle balas memeluk Doyoung. Wajahnya tenggelam dalam ceruk leher yang lebih tua.

"...seharusnya nenek melakukan ini dari lama, tapi nenek ingin minta maaf atas kata-kata nenek waktu itu, waktu kita pertama bertemu."

Pertama bertemu? Tidak hanya Chenle, para orang dewasa lainnya juga bertanya-tanya, apa sebenarnya yang Doyoung maksudkan di sana. Yang mengerti hanya Doyoung, juga Jeno, walaupun telat ingat.

Kalau Jeno yakin dengan ingatannya sendiri, mungkin yang Doyoung maksud adalah bentakannya saat Chenle memanggilnya 'nenek'. Itu juga terjadinya setelah Jeno menerima tamparan yang tak terelakkan, jadi bisa dibilang detil-detil kejadian itu dia masih ingat lumayan jelas. Tentang Doyoung mengeraskan suaranya tanpa ada menahan sama sekali waktu itu pada Chenle, Jeno juga ingat.

"Aku bukan nenekmu!" Kata Doyoung waktu itu, yang mana entah Chenle ingat atau tidak, tapi Jeno merasa bentakan macam itu harusnya meninggalkan bekas sesedikit apapun.

Tapi Chenle sepertinya tidak ingat. Dia tidak merespon jelas pada permintaan maaf Doyoung, "...Yang mana ya?"

Apakah itu hal baik? Bisa jadi iya, bisa juga tidak. Tapi saat Doyoung mengganti maafnya dengan sebuah pertanyaan, Chenle mengangguk dengan sangat yakin.

Pertanyaannya adalah, "Apa kami sudah jadi kakek dan nenek yang baik untukmu? Kami benar-benar sudah mengusahakan yang terbaik, tapi kalau memang ada yang kurang—...."

"Nenek Doy dan kakek Jae adalah yang terbaik! Tidak ada yang kurang," dia raih lagi Doyoung karena pelukannya sempat terlepas. Itu adalah pelukan yang benar-benar terakhir. Melihat hari makin sore, Jeno harus jadi yang memecahkan suasana haru itu dengan ajakan pulang. Bisa dibilang mereka buru-buru, karena besoknya baik dia maupun Renjun harus masuk kerja.

"Bulan depan, kami yang akan berkunjung ke sana ya?" Kata Doyoung setelah mengetuk pada kaca mobil, minta dibukakan oleh Renjun. "Sekalian mau ke tempat Ten. Aku sudah lama tidak menemuinya lagi soalnya."

"Oh... Ya sudah, nanti atur saja tanggalnya. Ambil akhir pekan saja ya, bu. Biar Renjun dan aku libur, bisa ajak jalan."

"Iya lah. Ayahmu juga masih kerja, Jeno."

[✓] decathect ; norenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang