100

4.6K 657 124
                                    

"Makanya aku bilang, coba lagi!"

.
.
.
.

...le?

.
.
.
.

"Sudah kubilang tidak bisa! Kenapa kamu sekeras kepala ini!"

.
.
.
.

...le?

.
.
.
.

"Tenang, jangan menangis. Kamu aman bersamaku."

.
.
.
.

"...---Lele?"

Chenle membuka mata, bersamaan dengan dirinya mendengar sayup-sayup panggilan itu lama-lama menjadi jelas di telinga. Kepala ditoleh, mendapati Ten yang menatap khawatir dengan tangan dingin menyentuh kening. "...kak Ten?"

"Hm. Mimpi apa sih? Tidurnya sampai mengigau begitu."

Mengigau? Chenle menyentuh lehernya yang berkeringat. Napasnya sedikit terasa berat, tapi tak seberapa. Daripada itu, dia lebih merasa harus mencoba ingat lagi kenapa dia saat ini tiba-tiba ada di rumah Ten....

Oh, iya. Renjun membawanya ke sana dua hari yang lalu.

"Le, ada apa sih?" Ten masih ingin terus bertanya, karena Chenle tidak kunjung menjawabnya. "Kamu masih kecil, tau.  Kalau ada masalah ya jangan dipendam sampai terbawa tidur begitu, ah. Cerita dong."

Masalah? Chenle tidak punya masalah. Chenle hanya kebetulan melihat lagi mimpi yang sudah berkali-kali dilihatnya sejak lumayan lama. Mimpi yang sebenarnya akhir-akhir ini tidak dia lihat, yang sekarang muncul lagi entah karena apa.

"Apa Lele sudah mulai kangen sama mamanya?" tanya Ten lagi dengan dagu tertumpu pada telapak tangan.

Pada pertanyaan itu, Chenle menggeleng dengan sanggahan bahwa ini baru hari ketiga dia tidak melihat Renjun. Masih terlalu cepat baginya untuk kangen Renjun sampai menangis dalam tidur. "...Lagipula, mama sedang sibuk. Aku tidak mau mengganggu."

"Lah. Anak-anak seumurmu itu ya, ditinggal setengah hari juga sudah rewel minta mamanya kembali. Aku guru SD. Aku tau jelas apa yang kuomongkan ini." Ten membuang napasnya sebelum mengangkat tangan untuk mengacak-acak rambut Chenle. "Dan juga, yang aku maksud bukan Renjun yang itu. Tapi Renjun dari tempat asalmu. Renjun di masa depan pasti berbeda dengan Renjun yang di masa ini, 'kan? Kamu yakin tidak kangen padanya?"

Ten bertanya mungkin ada maksud tersendiri. Dia menyadari Chenle mengalihkan pandangan matanya sambil lagi-lagi menggeleng, "Tidak juga. Mama tetap mama. Yang manapun sama saja."

Yang manapun, katanya, sama saja. Tapi, ya, Ten tidak bisa merasa begitu. Ten tidak bisa mengiyakan jawaban Chenle barusan, sementara yang Ten lihat tadi itu jelas-jelas Chenle menjawab sambil memegangi jari-jemari pertanda pertanyaan itu mengganggu. Juga, Ten ini sudah tidak muda lagi. Dia yang paling tau bagaimana waktu bisa mengubah apapun. Watak. Status. Keadaan. Semua tak ada yang bertahan kalau sudah diserang waktu. Walaupun sedikit dan sangat tidak signifikan, pasti akan ada yang berbeda pada diri seseorang setelah melewati waktu yang bahkan sampai sepuluh tahun lamanya. Renjun, pun, dia rasa tidak akan jadi pengecualian.

Tapi lalu apa? Ten juga bukan orang yang akan memaksa anak kecil untuk berubah pikiran.

"Ya sudahlah. Kalau begitu, bangun yuk? Kita bikin cemilan. Nanti jam 4 ada film yang ingin kutonton di TV. Setelah itu, kita minta Taeyong mengajak kita makan malam di luar, bagaimana? Selama kamu di sini, kamu kan jadi anak kami! Jadi Taeyong harus memanjakanmu juga!"

Chenle setelahnya buru-buru turun dari tempat tidur. Tempat tidur yang sebenarnya disiapkan untuk sosok anak yang tidak akan pernah ada di rumah itu.

...
...

[✓] decathect ; norenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang