25

9.5K 1.9K 209
                                    

"Papa."

"Hm?" Jeno melihat ke bawah. Dia lihat Chenle mendongakkan kepala padanya. "Apa?"

Chenle tidak langsung menjawab. Dia sempat mengeratkan genggaman tangannya pada tangan sang papa, lalu mengintip ke arah meja yang ditempati mereka barusan.

"Kenapa, Le? Kamu mau ngomong apa?" Jeno menyamakan tingginya dengan yang lebih kecil atas permintaannya, karena sepertinya dia ingin bicara sesuatu yang tidak sebaiknya orang lain dengar.

"Nenek benci Lele?"

Jeno diam waktu pertanyaan yang terkesan jahat itu keluar dengan lancar dari mulut kecil anaknya ini. "Benci? Tidak. Masa' nenek bisa benci cucunya sendiri."

"Tapi nenek biasanya akan selalu memintaku duduk di sebelahnya kalau kita makan di luar...," Katanya.  Kali ini, dia bicara sambil menggigit bibir bawahnya. "Tapi tadi tidak...."

Untuk sesaat, Jeno sempat dibuat tidak mengerti apa maksud Chenle karena seharusnya ini adalah pertemuan kedua mereka setelah pertemuan pertamanya berlangsung dengan sangat berantakan. Dia baru mengerti saat dia berpikir pasti yang dimaksud adalah Doyoung di masa depan.

"Iya, hari ini suasana hati nenek memang sedang tidak begitu bagus. Tenang saja, sebentar lagi pasti akan membaik."

Jeno merasa puas melihat Chenle mengangguk paham pada sesuatu yang sebenarnya dia juga tidak begitu yakin bisa dijamin atau tidak. Ibunya memang sulit dibaca.

Setelah kembali berdiri dan makin mendekat pada meja kasir, Jeno perhatikan Chenle masih berkali-kali menengok ke belakang. Jeno jadi ingin bertanya beberapa hal.

"Le." Jeno tersenyum pada Chenle waktu dia kembali mendongak. "Nenek dan kakekmu... Hmm... Sehat-sehat kan?"

Chenle memiringkan kepala. "Sehat."

"Mereka baik padamu?"

Anggukan mantap diberikan Chenle sebagai jawaban. Dengan semangat dia menceritakan soal kakeknya yang sering menggendongnya di pundak layaknya pesawat terbang, lalu juga soal neneknya yang sering membawakannya kue super lembut yang rasanya tidak terlalu manis tapi sangat enak.

Jeno mengukir senyum lega mengetahui ternyata orangtuanya pada saat itu pun masih dalam keadaan baik. Orangtuanya juga menyaksikan keluarga kecil yang berhasil dia bentuk.

Kadang, Jeno suka lupa kalau Chenle ini bukan eksistensi yang sungguhan ada di sana. Entah hukum apa yang sedang dilawan Chenle sehingga dia bisa bergandengan dengan Jeno yang baru melepas masa remaja, tapi yang pasti, waktu yang pernah dilalui Chenle ini masih berupa angan-angannya yang tidak pernah dibayangkannya akan benar-benar bisa dicapai.

Masa depan. Sebelas tahun dari sekarang, dia sudah berkeluarga. Jeno tiba-tiba sangat semangat memikirkan itu.

Dia ingin bertanya lebih banyak lagi sebenarnya, tapi sepertinya pertanyaannya harus menunggu karena akhirnya dia sampai juga di meja kasir (pelanggan yang sebelumnya membeli hampir terlalu banyak sampai staf-nya kewalahan).

Setelah mendapat tart buah dan sedikit tambahan, mereka kembali ke meja. Jeno sedikit was-was, seperti apa kira-kira kemajuan yang dibuat ayahnya setelah sekian lama membuatnya pergi dengan Chenle supaya mereka bisa bicara berdua.

"Ini bu, tart buahnya." Jeno meletakkannya di depan Doyoung.

Doyoung menatap tart-nya. "Ibu tadi tidak bilang mau kan?"

"Eh... Iya sih...." Jeno melirik pada ayahnya. Dia ingin ayahnya menyambar untuk membelanya, secara, dia yang tadi menyuruhnya membelikan untuk Doyoung juga. Tapi lagi, ayahnya itu hanya tersenyum seolah tidak tahu apa yang membuat Jeno melirik padanya.

Tapi tak lama, Doyoung mengambil sendoknya dan mulai memakan tart itu, mulai dari topping kiwi. Dia melahap beberapa sendok tart, sempat juga mengangguk seakan mengapresiasi rasanya, sebelum mulai menghadap Jeno untuk yang pertama sejak mereka sampai di sana. "Kuenya enak, terima kasih. Jadi, mungkin Jeno sudah bisa mulai menjelaskan."

Jeno dibuat kaget, karena kesannya jadi buru-buru sekali. Dia kira, dengan tart-nya itu, mereka akan punya topik pembicaraan yang lebih ringan sebagai permulaan.

Chenle menyadari papanya ini terlihat gugup, jadi dia memegang sebelah tangannya, "Papa?"

Jeno baru akan menyahut, tapi Doyoung mendahului, "Chenle, mau duduk di sebelahku?"

"Hng?" Seakan dia baru mendengar sesuatu yang paling menyenangkan, pipinya memerah dan matanya membesar. Dia yang sempat merasa salah dengar, langsung mengiyakan dan beranjak dari kursinya waktu Doyoung benar-benar menyuruh Jaehyun bertukar tempat.

"Nah, begini lebih mudah," kata Doyoung dengan atensi diberikan sepenuhnya pada Chenle yang terlihat senang. "Karena Jeno sepertinya tidak mau bicara, jadi aku akan mulai bertanya padamu. Nak, berapa umurmu?"

"Lima."

Hm? Doyoung mengernyit. "Aku bertanya soal umur. Bukan jumlah jari tanganmu."

"Umurku lima! Kenapa nenek lupa!"

Lupa? Duh, Doyoung mulai merasa banyak sekali kesalahan yang dilakukan Jeno sampai-sampai penggunaan kata sesederhana itu saja sudah berantakan. Kalau bisa dikoreksi saat itu juga, Doyoung inginnya bilang, 'bukan lupa. Tapi memang tidak tahu'.

Tapi..tadi dia tidak salah dengar?

Doyoung sontak menatap Jeno, tidak percaya. "Jeno!" Dia memekik. "Apa maksudnya ini! Lima tahun yang lalu kamu masih SMA!"

Jaehyun juga jadi makin tidak mengerti. Tiga tahun saja mereka susah paham, dan ternyata umur Chenle malah lebih dari itu. "Jeno... Coba jelaskan. Jangan buat ibumu makin bingung."

Ditatap seperti itu oleh kedua orangtuanya, Jeno merasa ditekan dari segala arah. "Oke, oke. Aku jelaskan, tapi ayah dan ibu harus janji dulu."

Janji? Jaehyun dan Doyoung saling tatap pada satu sama lain, lalu kembali menatap Jeno dengan tanda tanya di mata mereka. "Janji apa?"

Jeno menghela napas. Dia sudah mempersiapkan diri untuk situasi ini. Meminta mereka berjanji terlebih dulu sebagai jaminan, pasti bisa membuatnya lebih mudah menjelaskan.

Tapi sebenarnya janji untuk apa?

"Janji untuk tidak menganggapku sudah gila."

.
.
.
.
Tbc

[✓] decathect ; norenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang