Doyoung selalu mengajari Jeno untuk tidak pernah main tangan pada anak bahkan dalam keadaan semarah apapun. Selain tangan, mulut juga harus dijaga, supaya saat marah sudah mereda, mereka tidak harus menyesali kata-kata yang mungkin terucap tidak sengaja lantaran termakan emosi.
Tapi walaupun begitu, ada juga saat di mana Doyoung benar-benar tidak bisa menahan pikiran gilanya untuk menghantam wajah Jeno saking marahnya. Hanya terjadi sekali memang, tapi Jeno juga masih ingat sampai sekarang tentang hari itu saat Doyoung tiba-tiba berkunjung tanpa berkabar sebelumnya. Doyoung yang saat itu luar biasa kaget mendapati adanya sosok anak kecil yang memanggili Jeno 'papa', refleks membawa seluruh tubuhnya untuk marah yang akhirnya juga jadi menampar.
Ya, Jeno masih ingat itu. Jelas. Karena rasanya seakan... Doyoung, rasa marah dan kecewanya bercampur jadi satu sampai sedemikian rupa sampai membuatnya lupa pada apa yang selama ini jadi ajarannya. Dia melarang Jeno untuk main tangan pada anak, tapi dia juga melakukan itu. Dan Jeno sendiri juga masih bertanya, apa ada kiranya Doyoung masih ingat sama halnya dengan dirinya?
"Jeno!" Panggil Doyoung dengan sedikit menyentak pada Jeno yang sedang ditugasi merapikan meja sehabis makan malam. Jeno menoleh, ogah-ogahan. "Hei, sama orangtua kenapa begitu sih? Ibu mau ngomong, nih!"
"Ya sudah, ngomong lah... Aku juga bakal dengar kok."
Doyoung melongokkan kepala ke luar ruang makan. Mencari-cari dulu apakah orang-orang lain di rumah itu untuk memastikan tidak akan ada yang mencuri dengar sebelum akhirnya menepuk pundak Jeno sedikit terlalu keras, "Serius? Serius Chenle bakal pulang? Setiba-tiba ini? Setelah bertahun-tahun ada di sini?"
Ini pertanyaan yang kedua kalinya hari ini Jeno dengar dari Doyoung. Pertanyaannya masih sama, maka jawabannya pun sama, "Serius lah... Kalau tidak serius juga kita tidak akan banyak persiapan begini." Dia membicarakan soal packing, cetak foto, dan pamitan pada semua orang baik yang pernah mereka libatkan dengan Chenle.
"...aih, kenapa kalian tidak terlihat sedih sih... Ibu jadi merasa sendirian... Ayahmu juga awalnya panik, tapi tau-tau dia sekarang biasa saja. Kenapa kalian bisa secepat itu adaptasi, ibu tidak akan bisa mengerti."
Jeno tidak banyak menggubris. Sedih itu relatif. Untuk terlihat sedih itu sendiri pun Jeno juga tidak tau bentukannya seperti apa kalau menurut mata ibunya. Jadilah Jeno hanya menjawab, "Kami juga sedih, bu. Tapi kalau ibu bisa lihat sesenang apa Chenle sebentar lagi bisa pulang, aku yakin ibu juga akan mengerti. Kami hanya tidak ingin menghambatnya di sini lebih lama lagi."
Balasan dari Jeno itu dirasa Doyoung benar-benar curang. Iya, Doyoung bisa lihat Chenle memang sudah tidak sabar untuk pulang, tapi menurutnya, perasaan ingin menahan itu juga wajar, "Ya sudah. Ibu salah juga sih, mengira bakal terus seperti ini sampai seterusnya," lalu dia pergi meninggalkan Jeno di ruang makan, tidak lupa juga dia sempatkan untuk memberi instruksi jelas, "Yang rapi, lho, ya. Awas kalau kamu minta Renjun bantuin hal kecil begini."
"Iya, iya!" Jeno lanjutkan saja kegiatan mengelap mejanya yang memang tidak ada hentinya bahkan saat ibunya tiba-tiba datang dengan pertanyaan yang jelas-jelas sudah dia tanyakan. Lagipula, minta bantu Renjun bagaimana? Dia juga tau Renjun saat ini sedang menunggui Chenle mandi di kamar mandi dalam kamar orangtuanya. Chenle sudah bisa mandi sendiri, tentu saja, tapi kadang dia memang suka terlalu sadar diri sampai-sampai jadinya sungkan kalau harus menggunakan kamar mandi di rumah orang, bahkan walaupun itu adalah rumah kakek-neneknya sendiri. Jadilah Renjun harus menunggui di luar sampai Chenle selesai. Memang ada-ada saja kelakuan anak itu, pikir Jeno bersamaan dengan pekikan riang terdengar mendekat.
"Papa! Aku sudah mandi dong!" Itu Chenle yang datang, diikuti Renjun yang mengejarnya sambil membawa handuk. Oh, rambut Chenle belum kering rupanya, tapi dia malah sudah jalan-jalan. "Ih, mama. Nanti juga kan bakal kering sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] decathect ; noren
FanfikceJeno yakin dirinya adalah lelaki baik-baik. Dia selalu mendengarkan kata-kata orangtuanya untuk tidak memperlakukan orang sembarangan. Kalaupun pada akhirnya dia melanggar, dia tau dia harus bertanggung jawab. Makanya waktu tiba-tiba ada anak kecil...