101

4.2K 540 86
                                    

"...jadi, aku menyimpulkan, mungkin mesin waktu ini sebenarnya memang bukan mesin waktu yang kita harapkan."

"...."

"Kita tidak bisa memilih waktu mana yang ingin kita tuju. Kita hanya bisa memilih masa depan siapa yang ingin kita lihat."

"...."

"Kenapa aku bisa menyimpulkan begitu? Karena kalau aku perhatikan lagi, di jajaran kanal ——atau yang sekarang kita sebut sebagai 'titik awal'—— itu, kanal-kanal misalnya milikmu, milik Renjun, lalu juga milik Jeno, semuanya berwarna abu-abu. Seperti yang tidak tersedia untuk dipilih. Didatangi."

"...."

"Dibandingkan dengan warna kanal lainnya yang sepertinya tidak relevan dengan apa yang ingin kita cari tau saat ini, kanal-kanal itu warnanya biru terang, walaupun ada juga yang abu-abu. Kalau memang kita ingin menyangkutpautkan dengan sistem TV yang ada di masa depan, kurasa aman kalau misalnya kita menduga kanal-kanal ini akan berubah biru, yang artinya terbuka, hanya pada saat orang-orang di sana sedang menonton TV dengan memindai sidik jari terlebih dahulu...."

"...."

"Sebenarnya, aku sempat terpikir untuk coba melihat ke salah satu kanal biru yang manapun itu, siapa tau aku juga bisa dapat jackpot...," Lucas memutar matanya setelah menjabarkan semua kalimat panjang yang merupakan kesimpulan dari pemikirannya mengenai mesin waktu. "...tapi selain karena aku tidak pernah merasa seberuntung itu untuk dapat jackpot, kamu juga sepertinya tidak mendengarkanku bicara, ya? Mark Lee...."

Pada penyebutan namanya, Mark rupanya masih tidak merespon. Dia masih duduk termenung di sofa ruang apartemen tempat mesin waktunya dibiarkan bersemayam, sehingga ruangan itu sekarang mereka sebut sebagai lab coba walau tanpa standar apa-apa.

Melihat itu, Lucas mau tidak mau jadi merasa harus memanggil kembali, "Mark Lee!!! Woi!!!"

Hampir terlalu keras, tapi kali ini akhirnya berhasil. Mark mengedipkan matanya layaknya orang baru bangun tidur, mengumpulkan fokus, "Oh, sampai mana tadi? Mesin waktu ini bukan mesin waktu yang bagaimana?"

Ah. Ingin saja rasanya Lucas mengganyang Mark di tempat, apalagi saat mendengar Mark dengan tanpa rasa salah meminta Lucas mengulang penjabaran panjangnya barusan.

Mark ini ya, sedari menjawab panggilan telfon beberapa saat lalu, dia langsung tiba-tiba jadi tidak berasa ada di tempat. Tubuhnya di sana, memang, di lab coba. Tapi pikirannya terbang entah ke mana seperti pertemuan ini bukan dirinya sendiri yang mengusulkan.

"Ya. Tadi... Dokter kenalanku yang menangani Jaemin masuk rumah sakit dan harus operasi. Jadi aku dirujuk ke dokter lain, dan dokter ini bilang dia ingin mengadakan konsultasi besok." Begitu kata Mark saat Lucas akhirnya menanyakan apa yang sedang menyita konsentrasinya. Dia menjawab entah kenapa dengan wajah yang terlihat tidak begitu senang soal itu.

Bukan, bukan berarti Lucas mengharapkan Mark akan bertampang senang mendengar kenalannya terkena musibah. Tapi Lucas merasa tampang Mark saat ini juga sedikit tidak cocok dengan apa yang sedang dia sampaikan. Menurutnya, Mark tidak butuh sampai harus serba tidak fokus.

"...entahlah. Dari hasil pemeriksaan sebelumnya, tidak ada masalah sedikitpun pada Jaemin. Jadi begitu sekarang aku pikir hasilnya bisa berubah karena ganti dokter, aku jadi... Berharap."

Berharap? Lucas mengernyit. "Maksudmu, kamu berharap hasilnya akan berubah? Kamu ingin Jaemin dinyatakan sakit?" Mark mengangguk sembari membuang napas berat, membuat Lucas makin tidak mengerti. "Kenapa begitu?"

"Supaya Jaemin bisa cepat diobati? Apa lagi?"

Berikutnya, Lucas tidak banyak menyinggung lagi. Dari cara Mark menjawab dengan menghindar tatap mata, Lucas merasa bisa paham sendiri kenapa Mark malah mengharapkan Jaemin sakit. Itu pasti karena Mark ingin secepatnya menyingkirkan kemungkinan di mana Jaemin mati karena kesalahan yang diperbuat Mark. Ya, Lucas yakin, Mark saat ini sedang ingin menghindar dari rasa bersalah karena adanya curiga bahwa dia adalah sebagian besar penyebab dari kematian istrinya.

[✓] decathect ; norenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang