Sudah berapa lama Chenle tidak ke rumah Ten untuk belajar? Hm, sudah hampir sebulan. Atau malah sudah lebih? Entahlah. Berkali-kali juga Ten sudah menanyakan kapan kiranya Chenle sudah bisa datang ke rumahnya lagi, tapi jawaban Jeno juga masih sama saja.
"Iya, kak. Kami masih tidak sesiap itu melepas Chenle dalam keadaan seperti ini...." Kata Jeno pada Ten lewat telfon.
Seperti ini, katanya. Tapi seperti ini yang seperti apa? Ten hanya mendapat cerita saja soal Chenle yang jadi super pendiam dan tidak responsif, dan jujur saja, Ten yang sebelumnya setiap hari melihat bagaimana tidak bisa duduk manisnya Chenle kalau di rumahnya, untuk membayangkan Chenle diam lebih dari 5 jam dan itu bukan karena tidur malam, rasanya sangat sulit.
"Jeno, aku bukannya ingin memaksa dan bukan ingin sok mengajarimu juga, tapi tidakkah kamu berpikir kalau Chenle mungkin butuh ganti suasana? Mungkin dia terus diam karena kamu terus mengurungnya di kamar?"
Jeno buru-buru menyanggah, "Tidak, kak. Soal itu, aku juga sempat mengira begitu tapi sekarang Chenle sudah sering sekali dibawa Renjun pergi ke luar untuk jalan-jalan tiap dia tidak ada kelas. Menurutku, itu sudah lebih dari cukup...."
"Renjun? Renjun membawanya pergi?"
"Ya. Sudah sering sampai aku juga lupa berapa kali."
Sempat berjeda dari pihak Ten, sementara Jeno mencoba-coba mengingat kira-kira sudah sesering apa Renjun memberitaunya kalau Chenle habis diajak jalan-jalan. Sering, benar-benar sering. Dan kalau dia coba untuk menghitung sekarang, dia merasa itu juga tidak terlalu menguntungkan buatnya.
Saat ini, Jeno sedang berada di bus antarkota. Urusan kuliahnya hari-hari terakhir ini sangat mengharuskannya untuk ke kota dan intensitasnya benar-benar sangat berbeda dibandingkan dengan semester sebelumnya sampai-sampai Jeno pun jadi kewalahan. Biasanya kalau dia sudah di bus seperti ini, dia tidak akan mengangkat telfon, tapi begitu melihat ternyata yang menelfon adalah Ten, Jeno memutuskan untuk menjawab.
Tapi Ten diam sudah kelewat lama sampai Jeno yang sempat bengong jadi sadar sendiri. "Kak? Masih di sana?"
"Masih, masih! Aku cuma sedang bingung!" akunya, sebelum melanjutkan karena Jeno terdengar tidak mengerti maksudnya. "Ya maksudku, Renjun kan hampir tidak pernah tidak ada kelas? Kalau dia membawa pergi Chenle tiap tidak ada kelas, berarti Chenle tidak sesering itu dibawa jalan dong!"
Jeno mengernyit. "Sering, kok! Dia bilangnya sih memang jadwal semester ini sedang kosong-kosongnya...."
"Lah? Kalian sudah ganti semester memangnya? Belum kan?" Ten terdengar tidak mau kalah. Dia seperti yang yakin benar kalau Jeno tidak mungkin benar soal Chenle sering dibawa jalan Renjun. "Waktu terakhir aku ketemu Renjun, tepatnya waktu Renjun menyempatkan menjemput Chenle sebelum kejadian waktu itu, Renjun bilang sendiri kalau sebenarnya dia lega dia masih bisa menitipkan Chenle di tempatku. Katanya itu gara-gara semester ini kalian sedang sibuk-sibuknya, sampai dia juga tanya kalau nanti ada sesuatu yang tiba-tiba, apa Chenle bisa dititipkan padaku berhari-hari atau tidak —...ya aku tidak tau sih jelasnya dia sesibuk apa, dan bukannya aku tidak percaya kelasnya bisa tiba-tiba batal, tapi kalau kondisinya begitu, kurasa 'sering'-nya dia bagi orang lain itu bisa jadi setara 'jarang' tidak sih?"
Hm. Jeno mencoba mengingat. Benarkah begitu? Benarkah Renjun pernah bilang dia sedang sibuk-sibuknya urusan kuliah?
Pernah. Jeno ingat itu. Dia juga ingat jelas bagaimana Renjun selalu sulit diajak keluar karena katanya dia keteteran urusan kuliah dengan manajemen waktunya yang buruk juga. Pokoknya, semua outing yang mereka lakukan itu hampir selalu menyocokkan dengan jadwal Renjun. Dan jadilah kalau Ten meragukan, itu sama sekali bukan hal aneh.
Jeno tidak ingat jelas bagaimana telfonnya dengan Ten selesai. Dia hanya ingat dia bilang kalau mungkin Renjun sekarang sudah memperbaiki manajemen waktunya, jadi jadwalnya yang sibuk itu sekarang jadi dapat ia atur sedemikian rupa menjadi jadwal yang terkesan senggang.
Lalu tak lama juga setelah Jeno turun dari bus dan hendak mampir beli cemilan di dekat tempatnya turun, hapenya berdering kembali. Kali ini bukan Ten. Tapi Winwin. Melihat siapa yang menelfon, Jeno tidak berpikir dua kali untuk segera mengangkat tanpa sedikitpun menunda, "Ya, halo? Ada apa, tante?" Sapanya, yang langsung dibalas dengan kekehan lucu dari seberang sana. Ya, bagi Jeno pun Winwin ini orangnya sangat mengundang senyum.
Kenapa —kenapa Jeno bisa seyakin itu untuk mengangkat telfonnya? Padahal untuk menjawab Ten saja dia harus mengingat jasa-jasanya terlebih dulu baru dia memutuskan untuk mengangkat. Oh, itu pastilah gara-gara Jeno tau baru kali pertama ini saja dia mendapat telfon dari ibu Renjun.
"Lama tidak bicara lagi ya? Jeno bagaimana kabarnya? Baik kan?"
Jeno mengiyakan sambil melangkahkan kaki ke salah satu toko kecil. "Baik kok, tan. Paling lagi gampang capek aja gara-gara kuliahku rada berantakan akhir-akhir ini. Tapi sekarang mulai aman terkendali," katanya. Dia juga sempat-sempatnya memilih minuman dan membayar tanpa disadari lawan bicaranya di seberang telfon.
"Wah... Kalau begitu dijaga makannya. Jangan sampai sakit. Vitamin juga jangan lupa kalau perlu."
Dari suaranya, terdengar jelas kalau kata-katanya itu bukan basa-basi. Winwin benar-benar mengkhawatirkan Jeno yang dikenalnya tidak banyak mengeluh tapi kali ini bisa sampai bilang dia jadi gampang capek.
Tapi walau begitu, Jeno tau alasan Winwin menelfon itu pasti bukan hanya untuk menanyakan kabarnya. Kalau memang hanya untuk menanyakan kabar, harusnya Winwin akan menanyakan kabar Renjun. "Renjun juga baik-baik saja, kok. Dia mungkin jadi sedikit, apa ya, lemas... Tapi itu cuma waktu dia sakit yang kemarin-kemarin itu saja. Sekarang dia sudah sehat lagi."
Jeno membicarakan soal Renjun yang waktu itu sempat melakukan kesalahan saat praktikum. Tidak ada yang sebenarnya perlu dikhawatirkan lagi mengingat kejadiannya sudah lumayan lama, dan sakit yang ditimbulkan ini juga bukan sesuatu yang parah. Lagipula, Winwin pasti sudah mendengar soal itu, jadilah Jeno mengungkitnya lagi sebagai bentuk informasi tambahan mengenai kondisi Renjun saat ini setelah sakit.
Harusnya begitu. Tapi Winwin terdengar kaget, seperti yang baru mendengar hal itu untuk yang pertama kali. "Renjun sakit?? Kok bisa?? Sakit apa??"
Winwin panik, sampai Jeno jadi merasa dia ini salah berkata. Dia mengulang lagi bagaimana Renjun sekarang sudah sembuh, sudah sehat, sudah baik-baik saja. "Karena apanya ya aku kurang paham juga, tapi dia bilang itu gara-gara dia tersuntik... Apa ya, namanya... Pokoknya dia tidak sengaja jadi menyuntik tangannya sendiri saat praktikum... Yang aku ingat begitu."
"Oh... Bahaya sekali. Dan kita tidak tau apa yang dia suntikkan, kan...."
"Iya. Tapi aku kira Renjun sudah cerita... Oh, mungkin karena dia tidak mau tante khawatir ya? Jadi di telfon, dia tidak membahas soal itu...."
Jeno rasanya ingin mengilas balik ingatannya ke beberapa minggu lalu di mana dia merasa tidak pernah absen bertanya pada Renjun; kamu sudah beri kabar orangtua? Sudah telfon papa? Sudah telfon mama?
Ya, Jeno merasa yakin sekali dia selalu menyempatkan diri bertanya. Dan dia juga yakin Renjun menjawab 'sudah' pada setiap pertanyaannya.
Makanya waktu Winwin bilang Renjun sudah hampir sebulan tidak pernah mengangkat telfon dan juga tidak membalas pesan, Jeno tidak tau harus berkata apa.
.
.
.Tbc
A/n. Rushed 😧
—13 nov '19
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] decathect ; noren
FanfictionJeno yakin dirinya adalah lelaki baik-baik. Dia selalu mendengarkan kata-kata orangtuanya untuk tidak memperlakukan orang sembarangan. Kalaupun pada akhirnya dia melanggar, dia tau dia harus bertanggung jawab. Makanya waktu tiba-tiba ada anak kecil...