Renjun bolak-balik memutar posisi tidurannya dengan hape dalam genggaman. Dari setengah jam yang lalu, yang dia lakukan hanya tertawa, lalu merengut, lalu meringis, dan mungkin tertawa lagi setelahnya. Dan itu semua karena apa yang dia lihat dari hapenya.
"Hahaha! Muka macam apa itu, Le!!" Dia tergelak karena video call yang tengah dia lakukan dengan Chenle yang sedang asik memasang wajah aneh. "Hidungnya kalau dipencet begitu nanti pesek, lho!"
"Pesek-pesek juga tetep cakep! Wle!" Renjun tertawa lagi karena Chenle menjulurkan lidahnya.
Ini baru pertama kali Chenle mencoba video call, katanya. Awalnya, Chenle yang sedang diajak Jeno ke perpustakaan kota itu sempat berceletuk, kenapa orang itu ---sambil menunjuk ke bapak-bapak--- berbicara dengan video dalam hapenya?
Jeno lalu menjawab, "Itu namanya video call. Jadi kamu menelfon orang, tapi juga dengan kamera." Mendengar itu, Chenle langsung ribut ingin mencobanya juga, dan jadilah Jeno memberikan hapenya dan mengatur panggilan ke hape Renjun yang sekarang ada di kostan.
Kostan? Bukan apartemen? Ya, Renjun sedang ada di kostan Jeno sendirian, sementara si pemilik kamar pergi jalan dengan 'anaknya'.
Renjun yang ditelfon itu sempat kaget dan bingung kenapa Jeno tiba-tiba mem-vidcall-nya seperti itu. Mereka tidak pernah melakukan itu sebelumnya, sehingga naluri yang pertama Renjun turuti adalah untuk menepuk-nepuk wajah, membenarkan rambut, dan merapikan bajunya sebelum akhirnya menekan layar untuk terima panggilan. Tak disangkanya yang malah tampak pada layar adalah muka close-up Chenle yang setelahnya memekik heboh karena dia benar-benar bisa melihat Renjun dari hapenya.
Renjun sempat bertanya ---yang lebih terdengar seperti sangkalan, "Masa' Lele tidak pernah vidcall?? Kamu kan harusnya paling tau soal ini! Tidak adakah TV 4 dimensi di masa depan??"
"Katanya sih begitu. Aku juga bingung." Suara Jeno, tapi layar masih hanya menunjukkan mata dan lubang hidung Chenle. "Tapi dia tau video kok. Mungkin dia cuma tidak pernah vidcall, jadi ya...."
Renjun tertawa datar sementara Chenle masih asik membuka mulutnya lebar-lebar sambil terus bertanya apa Renjun bisa melihat sisa cokelat di giginya dari sana. "Begitu kamu pulang, mama sikat gigimu ya!"
"Gak mau! Mau kusimpan cokelatnya di gigi, jadi tiap aku mau ngemil tinggal makan yang nyelap!"
"Eh, jorok!!" Lalu Chenle tertawa lebih kencang lagi, kalau saja Jeno tidak mengingatkannya untuk lebih tenang karena pengunjung yang lain mulai melihat ke tempatnya. Untung mereka sudah tidak di perpustakaan.
"Lele kalau tidak bisa tenang kita pulang sekarang." Jeno mulai mengancam, yang sebenarnya baru kali ini dia coba lakukan. Chenle langsung menutup mulutnya dengan tangan, lalu hapenya diambil Jeno. "Halo? Njun?"
"Ya?" Renjun tidak mengira Jeno akan mengambil alih. "Kenapa?"
"Lele tadi bilang masih mau jajan lagi, jadi sekarang aku mau ke parlor. Kamu mau titip apa?"
"Eh... Entah, aku tidak pernah ke sana." Dia bahkan baru pertama kali mendengar tempat dengan nama itu. "Bebas, Jen. Kamu pilihkan saja, aku terima apapun."
"Harusnya kamu ikut saja," kata Jeno. Dia tersenyum, membuat matanya membentuk bulan sabit. "Kenapa coba, tadi kamu tidak mau ikut?"
Renjun refleks menjauhkan hapenya karena... Ya Tuhan, Jeno mendekatkan muka ke kamera depan hapenya. Renjun tidak biasa melihat wajah Jeno sedekat itu! "...tidak apa-apa. Aku malas jalan."
"Hmm? Begitu?" Dia masih tersenyum, senyum yang sangat menyebalkan karena Renjun tau pasti dia tersenyum seperti itu sebenarnya juga sudah tau kalau Renjun suka melihatnya, tapi malu kalau ketahuan.
"Sudah, ah! Aku daritadi vidcall kan cuma mau lihat Chenle! Kalau sekarang malah jadi cuma lihat mukamu, mending kututup saja!"
"Bilangnya begitu tapi kamu senang kan lihat mukaku?"
"Tidak! Dasar kepedean!"
Jeno tertawa lagi, "Bukan kepedean. Tapi aku juga senang lihat mukamu sekarang. Harusnya kita sering vidcall ya."
Renjun meletakkan hapenya sejenak, lalu mulai memukul-mukul bantal, menyalurkan rasa ingin teriak ke semua benda lainnya yang tidak akan pernah bisa memberitahu Jeno kalau dia hampir gila mendengar suara Jeno tadi yang rasanya seperti membuatnya ingin dengar lagi dan lagi.
Renjun tidak sadar tadi dia tidak sengaja memutus sambungan. Panggilannya terputus, yang akhirnya membuatnya sedikit mengutuk, "Sial." Dia buang napasnya keras, waktu dia merasa mulai mendengar lagi suara Jeno kemarin-kemarin.
'Aku... Aku juga sudah mulai melihatmu lebih'.
"Aaaah!!!!" Teriaknya sambil memukul-mukul lagi bantal yang tak bersalah apa-apa. Ingin sekali Renjun minta maaf pada bantal Jeno itu karena sudah dijadikan tempat dia melampiaskan isi pikirannya, tapi... Tapi...!
Renjun terduduk di kasur Jeno. Dia pegang wajahnya. Hangat. Tanpa berkaca juga dia sudah tau seluruh wajahnya itu diselimuti rona merah.
Mimpi? Mimpikah ini? Sampai sekarang dia masih juga tidak percaya Jeno akhirnya membalas perasaannya! Dia, dia sudah sangat yakin setidaknya sampai beberapa tahun lagi, Jeno tidak akan memberi respons apapun tiap dia mulai bertingkah bodoh untuk menarik perhatiannya. Tapi ternyata....
"Orang aneh! Kenapa dia malah jadi suka pas lihat aku marah-marah sih!" Dia tenggelamkan wajahnya di gundukan selimut berwarna hijau gelap milik Jeno. Oh, ada bau Jeno di sana. "Tau begitu kan aku bakal lebih sering marah-marah! Eh, tapi terlalu sering juga dia nantinya malah ikut marah ya... Ah, pokoknya dia aneh! Aku gagal paham!"
Yang selama ini Renjun tau, berdasarkan film-film romansa mainstream yang dia pernah lihat baik sendiri maupun dengan orang lain, tokoh yang perasaannya bersambut itu selalu tokoh yang aura positifnya sangat menguar. Tokoh yang senyumnya sangat membangkitkan semangat. Tokoh yang luar biasa manis kalau tersenyum dan tertawa. Atau kalaupun memang tokohnya adalah tokoh yang cenderung muram, lawan mainnya akan mulai punya perasaan ketika dia lihat si tokoh muram ini ternyata punya sisi hangat yang tidak pernah orang lain lihat.
Tunggu. Tapi itu juga yang Jeno katakan. Dia mulai melihat Renjun lebih karena sisi pemarah Renjun yang membuatnya penasaran.
Oh, mungkin sebenarnya tidak serumit itu ya.
Tapi tetap saja Renjun tidak mengerti kenapa harus sisi pemarah itu yang jadi... Kunci....
Renjun bangkit dari kasur dan mulai berjalan ke kamar mandi karena merasa panas di wajahnya itu lumayan mengganggu. Membasuh muka sebentar mungkin bisa meringankan.
"Hm?" dia melihat sesuatu dari balkon di samping kamar mandi. "Lho? Itu kan...."
Matanya menangkap seseorang sedang berjalan dari arah kostan Jeno ini. Seseorang yang ia kenal dekat dari lama. Jaemin.
Sempat terpikir juga Renjun untuk memanggil padanya, tapi dibatalkan ketika dia menyadari Jaemin ini tidak sendiri. Dia bersama seorang lelaki jangkung yang terlihat terus mengajaknya bicara tapi tidak dihiraukan.
Suasana yang tidak mengenakkan untuk Renjun tiba-tiba menyapa dari kamar kost yang bukan miliknya. Itu sudah cukup jadi alasan untuk Renjun hanya mengendikkan bahu dan kembali ke rencana awal, membasuh muka.
.
.
.
TbcA/n. YEY decathect votenya udah 25k 🎊🎉 makasih banyak buat yg selalu meninggalkan jejak tiap mampir book ini 😔💕
Selebrasi 25k vote, aku!! Menantang diri sendiri bikin cover buat decathect 😔;;; pertama kali bat jadi kek ada seneng senengnya gitu,,, welp wdyt??? Liatnya dari jauh aja ya tapi h3h3 dari deket serem,, maap sekali kalo aneh covernya tapi ada filosofinya ko 🤪
Vote comment!!
Kira kira ngapain ya jaemin ada di kost jeno 😔????
Btw lagi. Kalo misal ini sampe chapter 100+ kalian bakal tetep baca ga 😢 aku dulu ngira ini bakal cuma 50an tapi nyatanya sekarang udah chapter 60 wkwk;;;
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] decathect ; noren
FanfictionJeno yakin dirinya adalah lelaki baik-baik. Dia selalu mendengarkan kata-kata orangtuanya untuk tidak memperlakukan orang sembarangan. Kalaupun pada akhirnya dia melanggar, dia tau dia harus bertanggung jawab. Makanya waktu tiba-tiba ada anak kecil...