03

19.8K 3.1K 166
                                    

Sebagai anak kuliah, baik Jeno maupun Renjun, keduanya sama-sama merantau, dengan Jeno yang jaraknya benar-benar jauh, sedangkan Renjun kira-kira hanya 20 kilometer. Biasanya, akhir pekan Renjun selalu bisa menyempatkan diri pulang, lantaran orangtuanya itu keduanya sangat protektif.

"Biasanya orangtua yang protektif itu melarang anaknya ngekost. Kok kamu boleh?" Jeno sempat bertanya waktu terakhir mereka bertemu di restoran fastfood. Mereka melakukan sesi perkenalan singkat tapi ternyata bercabang.

Renjun menggoyangkan tangannya karena mulutnya masih penuh soda. "Awalnya tidak. Tapi waktu aku jadi sering sakit karena kelelahan pulang-pergi tiap hari waktu semester 1, sekarang akhirnya aku dapat izin," jelasnya sambil tertawa. "Yah, ada beberapa syaratnya sih. Tapi masih mudah."

Banyak yang mereka bicarakan waktu itu. Mulai dari bagaimana kuliah masing-masing, keluarga di rumah, lalu juga bagaimana soal Chenle selanjutnya.

"Aku mau di sini," kata Chenle tiap ditanya apapun. Ya, apapun. Jeno dan Renjun sudah bertanya bergantian, bagaimana caranya Chenle bisa ke masa mereka sekarang? Kenapa? Dan untuk apa? Apapun pertanyaannya, jawabannya tetap dia mau 'di sini'. Di masa lalu. Makanya, mereka memutuskan untuk mencari solusi terbaik untuk sekarang soal Chenle, yang memegang status sebagai anak mereka nanti, yang mana membuat mereka jadi tidak bisa pura-pura tidak peduli.

"Kostan-ku tidak terlalu ketat, jadi kurasa dia bisa menetap di tempatku." Jeno mengajukan diri, mengingat teman-temannya juga banyak yang membawa peliharaan padahal ada aturan yang melarang.

Renjun menggigit bibir bawahnya. "Aku tidak begitu yakin kita bisa menyembunyikan Chenle di kost," katanya. "Apalagi kalau ketahuan, kita bisa dituduh macam-macam."

Dituduh macam-macam. Ah, benar. Jeno tidak memikirkan itu.

"Kalau... Aku minta orangtuaku untuk menjaga Chenle, bagaimana?"

Jeno mengernyit. Awalnya dia kira, dia salah dengar waktu Renjun bilang 'orangtua'. Tapi ternyata tidak.

"Tiap akhir pekan, aku pulang ke rumah. Dan jarak ke rumah juga tidak sejauh itu. Sebisa mungkin aku ingin mengurus Chenle, tapi kalau kuliahku sedang hectic, aku---"

"Maksudmu, kamu serius akan membawa Chenle bertemu dengan orangtuamu??" Jeno membulatkan matanya. Dia menatap Renjun dan Chenle bergantian. "Kamu akan memperkenalkan Chenle sebagai apa?? Kalau kita mengurusnya di kost, kita tinggal bilang Chenle itu adik atau ponakan atau bahkan sepupu... Lalu pada orangtuamu bagaimana??"

"Soal itu, aku ingin cerita saja terus terang."

Serius? Jeno hampir saja menggebrak meja saking tidak percaya. Terus terang? Bahwa dia anak mereka yang datang dari masa depan? Ya ampun. Jeno kurang paham apa yang ada dalam pikiran Renjun saat ini. Maksudnya... Ya... Siapa yang akan percaya cerita macam itu?? Salah-salah, Renjun malah akan dituduh macam-macam ---hal yang sedang ingin mereka hindari apapun yang terjadi.

"Kamu pasti berpikir aku aneh kan?"

Jeno tidak menjawab. Kalau dia menggeleng, itu artinya dia bohong. Dan dia sama sekali tidak mau berbohong pada orang yang ia ketahui jelas akan ia nikahi beberapa tahun lagi.

Bahkan walaupun orang itu untuk saat ini pun masih orang asing. 

Renjun menghela napas pelan dengan senyum waktu paham Jeno tidak akan membalas. "Kalau kamu tanya aku, aku sendiri juga tidak seyakin itu orangtuaku akan langsung percaya ---iya, pasti akan butuh waktu lama untuk membuat mereka mengerti. Apalagi, papaku itu lumayan keras kepala. Kalaupun percaya, aku juga tidak tahu reaksi mereka akan seperti apa."

Dia menuturkan dengan suara lembut, seraya jarinya menyisir rambut jatuh Chenle yang sedang berusaha membersihkan es krim yang menempel pada sudut-sudut bibirnya. "Tapi aku tidak ingin merahasiakan apa-apa dari mereka. Menurutku, jujur itu tanda percaya. Percaya, lawan bicara kita bisa menerima keadaan kita apa adanya -- dan iya, aku percaya pada orangtuaku, sebagaimana orangtuaku juga percaya padaku. Mereka sekarang mengizinkanku tinggal sendiri, itu bentuk percaya mereka kan? Mereka percaya aku bisa."

Dia ingin membalas rasa percaya mereka untuknya. Itu maksud Renjun.

Di akhir kata-katanya, Renjun memamerkan senyum bangga layaknya anak kecil yang berhasil membuktikan bersalahnya orang dewasa.

Pada senyuman macam itu, Jeno tidak bisa membantah. Dia mengiyakan Renjun untuk melibatkan juga orangtuanya.

.
.
.
Tbc

[✓] decathect ; norenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang