49

6.7K 1.3K 93
                                    

Rencananya, Jeno dan Renjun serta Chenle akan keluar rumah dari pagi demi mewujudkan keinginan Renjun makan es piring.

Rencananya begitu.

Tapi apa akhirnya hari ini kesampaian? Karena terakhir mereka menyusun rencana yang sama persis, semuanya malah jadi hancur lebur tak bersisa karena Yuta ternyata menyiapkan sarapan. Jadi, bagaimana dengan hari ini?

"Gimana? Gimana?" Renjun menyatukan telapak tangannya pada permukaan meja. Matanya seolah berkilauan tak sabar menunggu respons dari Jeno dan Chenle yang baru memasukkan sesendok serutan es batu berwarna merah muda ke dalam mulut. "Enak? Enak kan?"

"Enak!!" Chenle menjawab sambil bolak-balik menatap Renjun dan es piring di depannya. "Aku suka! Aku mau makan ini tiap hari!"

"Tiap hari?? Mana boleh!"

Jeno menggelengkan kepala melihat Renjun jadi asik mengusak rambut Chenle, menolak permintaan Chenle yang bagaimanapun juga tidak mungkin. Tidak mungkin, karena ya selain mereka harus kembali ke perantauan setelah libur pendek ini selesai, Renjun juga tidak akan membiarkan Chenle terlalu sering makan es.

Tapi memang harus Jeno akui, cemilan ini enak. Mungkin sedikit terlalu manis buatnya yang memang menghindari konsumsi gula terlalu tinggi karena Doyoung, ibunya itu sering mewanti demikian. Katanya, neneknya menderita diabetes, jadi anak-cucunya harus lebih hati-hati. Tapi kalau hanya seporsi, sepertinya tidak masalah. Apalagi, Renjun sudah dari lama ingin membuat dia dan Chenle icip-icip. Menyenangkan Renjun kan tidak ada salahnya.

"Jen, gimana? Enak?" Renjun bertanya sambil mencondongkan tubuhnya ke arah Jeno. Oh, Jeno daritadi belum memberikan tanggapannya. "Kamu diem aja sih daritadi. Terlalu enak ya, sampai kamu jadinya bengang-bengong?"

Jeno mengambil sesuap lagi sebelum membalas, "Beneran enak sih. Tapi buatku kayaknya kemanisan."

"Kemanisan?" Renjun tertawa. "Makannya sambil liat aku sih! Jadi kemanisan deh!"

Astaga. Jeno hampir tersedak di sana karena bersamaan ketika Renjun melontarkan guyonannya itu, Jeno juga sedang memasukkan sesendok es ke dalam mulutnya. Jeno benar-benar tidak menyangka Renjun akan kepikiran dengan balasan macam itu.

Renjun tidak terlihat menyesali kelakuannya barusan. Toh, dia tau Jeno juga tidak akan sampai menelan sendoknya sendiri, tak peduli sekaget apa Jeno kalau-kalau Renjun kembali meluncurkan serangan serupa.

"Aku daritadi makan sambil liat mama tapi biasa aja?? Kenapa papa jadi kemanisan??" Chenle memprotes tidak terima omongan Renjun barusan. Menurutnya, es-nya ini memang manis sekali dan dia suka, tapi dia tidak ingin percaya itu karena dia makan sambil melihat Renjun.

"Papa kan emang suka beda sendiri! Makanya sebenernya papa nggak boleh sering makan sama mama, nanti diabetes!"

Jeno tidak memperpanjang celotehan Renjun yang ada benarnya soal diabetes --walaupun dia ragu juga Chenle mengerti soal itu. Tapi Chenle tidak bertanya lebih jauh, jadi mungkin kata itu hanya sekadar angin lalu.

"Aku mau pesen lagi, ah! Ada yang mau tambah?"

"Mau, mau!" Chenle mengangkat sendoknya tinggi-tinggi, niatnya supaya pelayan tempat itu menghampiri, seperti di restoran kebanyakan di mana pelanggan hanya butuh mengangkat tangan untuk minta dilayani.

Tapi Renjun lalu bilang pada Chenle kalau mereka ingin memesan lagi, mereka harus pesan langsung ke kasir. "Lele mau coba pesen sendiri, nggak? Berani kan?"

"Berani!" katanya, lalu dia turun dari kursi dan melangkah lebar-lebar ke kasir, yang terlihat di sana penjaganya sudah tau kalau dia ini ingin memesan, lantas dirinya lebih melongokkan kepala ke balik kasir supaya bisa melihat lebih jelas perawakan kecil pelanggannya satu ini.

"Kamu tau benar caranya memancing Chenle...," kata Jeno, masih sambil memerhatikan bagaimana Chenle sekarang sedang diajak bicara oleh si penjaga kasir yang untungnya ramah.

Renjun tersenyum. "Belajar komunikasi seperti itu memang bagusnya dari kecil kan? Kalau kata dosenku, ini semacam sensitisasi!"

Jeno tidak banyak berkomentar soal dosen Renjun. Dia lebih ingin menyetujui soal memang benar pentingnya membiasakan Chenle berkomunikasi dengan orang lain jauh lebih dini, karena komunikasi itu hal besar yang pada beberapa keadaan seolah terlihat kecil dan tidak penting. Bukan berarti Jeno meragukan kemampuan bicara Chenle yang sebenarnya sudah sangat melampaui anak-anak seumurnya, tapi dia juga merasa lega ternyata Renjun tidak melupakan itu.

Aneh sih. Kesannya malah seakan Renjun-lah yang Jeno ragukan. Padahal, kelebihan-kelebihan Chenle saat ini pasti juga karena didikan orangtuanya yang sebenarnya, yang juga artinya adalah mereka sendiri. Tidak aneh kalau di masa ini pun Renjun sudah sedikitnya paham hal-hal mendasar tentang bagaimana membesarkan anak.

Tak lama, Chenle kembali dengan wajah sumringah karena dia baru saja melakukan transaksi pertamanya. "Es piringnya dua kan??"

"Iyaaa, benar sekali! Lele pintar! Sana, minta reward sama papa!"

"Hah, kok aku??" protesnya waktu Chenle benar-benar jadi menoleh dengan tatapan penuh pengharapan padanya.

"Kasih apa kek! Uang receh!"

Chenle memajukan bibirnya. "Nggak mau receh! Receh mah aku juga punya!"

.
.
.
.
tbc

a/n. akhirnya libooor 😩😩💚💚💚

tapi tanggal 10 udah masuk lagi hu 😩😩😩🤢🤮 mungkin suatu hari nanti tata bisa berenti ngeluh dan saat itu juga hidup tata bisa jadi lebih tertata 😩

yha

vomment!! 💚✨

btw alurnya kelamaan apa kecepetan nich awkakakwk

[✓] decathect ; norenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang