Jeno ingat Renjun pernah bilang, dia ingin terus terang pada orangtuanya soal Chenle karena rasa percaya. Dia percaya, orangtuanya menerima keadaan dirinya apa adanya.
PLAK!!
Saat ini, entah kenapa kata-kata Renjun yang itulah yang diingatnya ketika menerima tamparan dari ibunya yang datang tiba-tiba. Jeno meringis sambil memegangi pipinya yang memerah.
"Akhir-akhir ini kamu tidak memberi kabar," kata ibunya dengan dagu terangkat pada Jeno yang mulai mengecap amis di bagian dalam mulutnya yang berdarah ---tamparannya tadi itu bukan main-main. "Ternyata gara-gara udah punya anak ya? Hm? Kamu kuliah jauh-jauh cuma buat main sama perempuan gak jelas? Iya?"
Jeno tidak membalas. Perhatiannya tertuju pada Chenle yang terbangun karena gaduh yang dibuat tamu satu ini, yang sepertinya dapat Chenle kenali sebagai neneknya.
Chenle memegangi selimutnya, berusaha menyembunyikan diri sebisa mungkin. "...nenek...." Rasa takut membuatnya meringkuk di pojokan dengan suara gemetar.
Ibu Jeno hanya melirik, tidak menyahuti. Tidak ada pertanyaan sama sekali yang muncul dalam kepalanya waktu mendapati anak kecil asing ini mengenalinya sebagai ibu sang papa. "Aku bukan nenekmu! Dan kamu, Jeno, jawab! Jangan diam saja!"
"Ibu kalau mau memarahiku, ya sudah! Tapi jangan jadi ikut membentak Chenle!" Jeno kelepasan meninggikan suaranya. Dia lihat Chenle mulai menangis tanpa suara di sana, dan itu karena ibunya. "Iya, aku yang salah! Tapi aku bisa jelaskan!"
"Kalau begitu, jelaskan!" Telunjuknya terangkat di depan wajah Jeno. "Tergantung dari bisa diterima atau tidaknya penjelasanmu, ibu mungkin akan memukulmu lagi, Jeno!"
Jeno menelan ludah. Dia tahu benar ibunya ini mudah marah, tapi ibunya tidak pernah sampai menampar seperti tadi.
Selain itu, penjelasan yang bisa diterima? Jeno memang punya penjelasannya, tapi dia benar-benar tidak bisa menjamin di bagian soal bisa diterima akalnya atau tidak. Anak dari masa depan? Hah, ini bukan novel fiksi ilmiah!
Baru saja ibunya akan menggertaknya lagi lantaran Jeno tidak mulai menjelaskan seperti yang tadi dia bilang akan lakukan, pintu terbuka lagi dan memunculkan sosok tinggi yang kemudian terlihat bingung dengan keadaan tegang kamar itu. "...eh... Ini kenapa ya?"
"Jaehyun!" Pekik sang ibu waktu melihat siapa yang datang. "Coba, lihat kelakuan anakmu di sini!"
"...ayah...." Jeno menatap ayahnya yang masih tidak mengerti dengan tatapan memelas. "Ini tidak seperti yang ayah dan ibu lihat... "
Ayahnya hanya mengernyit. Apa? Apa maksudnya? Dia tidak melihat apapun yang lain selain Jeno yang terduduk dan istrinya, Doyoung, yang melipat tangan di depan dada. Baru saja dia ingin bertanya untuk memastikan, dia menyadari ada kepala kecil menyembul dari balik selimut yang merapat ke sudut kamar.
"...kakek...."
Jaehyun menunjuk dirinya sendiri, "Kakek?" Karena kata itulah yang diucapkan anak kecil itu dengan mata yang jelas melihat ke arahnya. "Jeno, ini anak siapa?"
"Dia---"
"Dia memanggil Jeno papanya!" Doyoung menyambar. "Tadi Jeno bilang dia adik tetangganya yang dititipkan di sini, tapi aku tadi yakin benar anak ini memanggil Jeno papanya! Silakan, artikan sendiri sisanya!"
Jaehyun melihat ke arah Jeno yang membuang muka, menyesali kenapa ibunya harus menjelaskan sedetil itu pada satu-satunya orang tersisa yang bisa dia harapkan untuk membelanya. Jeno tidak ingin tahu bagaimana sekarang Jaehyun melihatnya.
Doyoung mengerang frustrasi karena Jaehyun tidak berkata apa-apa. Dia ingin Jaehyun marah di sana, tapi Jaehyun justru mendekat ke kasur Jeno dan meminta sosok kecil di sana untuk mendekat sambil memintanya tenang. "Shh... Jangan nangis lagi," katanya. "Sini, sama kakek."
"Jaehyun!" Doyoung menatapnya tidak mengerti. "Kenapa---!!"
"Jangan begitu, sayang. Jeno mungkin ada salah, tapi anak ini tidak." Jaehyun mengusap punggung Chenle dengan lembut, supaya sedikitnya itu bisa membuat Chenle lebih tenang ---walaupun ternyata tangisannya makin pecah. "Kita check in hotel dulu deh. Gimana? Nanti malem pas kepalanya udah dingin semua, kita kumpul terus omongin lagi."
Tidak ada yang membalas. Doyoung hanya meringis keras lalu berjalan keluar dari kamar dengan langkah dihentak. Jeno memanfaatkan kesempatan itu untuk mendekat pada Chenle.
"Le... Shhh, tenang ya?" Jeno menyeka airmata yang meninggalkan jejak di pipi bersih Chenle. "Udah, udah. Jangan nangis lagi."
"Anak ini benar anakmu, Jen?"
Jeno mengatupkan bibirnya. Ternyata ayahnya tetap ingin menanyakannya padanya. "Iya, ayah. Tapi---"
"Anakmu manis," katanya dengan kekehan. Dia tersenyum menenangkan baik pada Jeno maupun Chenle. "Ayah nanya soalnya anak ini imut banget pas nangis tadi, gak mirip kamu."
Ah. Jeno terdiam sebelum akhirnya tersenyum lega. Ayahnya ini benar-benar tau bagaimana caranya membuatnya tenang.
"Manisnya ini pasti dari mamanya ya? Hm? Ayah yakin mamanya sangat manis."
Manis. Iya, Jeno sering memikirkan kata itu tiap melihat Chenle. Dia juga sering bertanya-tanya, kenapa bisa-bisanya dia punya anak semanis ini?
Tapi pertanyaannya itu tidak pernah bertahan lama. Dia selalu menemukan jawabannya setiap dia ingat kalau kata manis itu juga sering muncul dalam kepalanya tiap melihat Renjun tersenyum.
Jeno mengangguk pada Jaehyun, mengiyakan pertanyaannya. Tangannya mengelus lembut pipi Chenle yang basah, "Iya," katanya. "Manisnya Chenle ini dari mamanya."
.
.
.
.Tbc
A/n.
Aku tau kalian pasti bisa bedain mana hal yg irl dan yg harusnya stay di ff. Doyoung orangnya sangat care dan pengertian, tapi di ff ini aku mau pinjem namanya buat jadi sosok yg disegani.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] decathect ; noren
FanficJeno yakin dirinya adalah lelaki baik-baik. Dia selalu mendengarkan kata-kata orangtuanya untuk tidak memperlakukan orang sembarangan. Kalaupun pada akhirnya dia melanggar, dia tau dia harus bertanggung jawab. Makanya waktu tiba-tiba ada anak kecil...