"Hah? Chenle tidak mau makan?"
"Iya... Padahal dari tadi perutnya bunyi. Artinya dia sebenarnya lapar, kan? Tapi dia tetap tidak mau makan walaupun aku paksa."
Renjun terus menghela napas di tengah pembicaraan telfonnya dengan Jeno yang sedang tidak di rumah sejak beberapa hari lalu karena kepentingan kerja. Bagaimana tidak? Bahkan sampai sekarang dia sudah merasa pegal terus bolak-balik maju-mundur pun suara perut keroncongan masih bisa didengarnya sangat jelas.
Ada yang lapar di sana, dan itu adalah Chenle yang sejak pulang sekolah langsung merebahkan diri di sofa ruang TV dan tidak bergerak sedikit pun. Dia lapar, sepertinya karena dia tidak makan siang, dan paginya juga dia tidak sarapan. Sekarang sudah mendekati malam, dan dia tidak mau juga makan walaupun Renjun sudah marah-marah.
"Coba tanya deh ada apa? Mungkin di sekolah hari ini dia ada masalah," begitu kata Jeno, yang mana Renjun langsung sanggah bahwa itu sudah dia lakukan bahkan sebelum dia memutuskan untuk menelfon. Dia juga sudah telfon wali kelasnya, tapi katanya tidak ada yang aneh selain Chenle hari ini memang terlihat lemas.
"Gurunya juga sudah menawarkan untuk beli makan untuknya saking lemasnya dia, tapi dia tetap menolak. Aku sudah bilang sih kalau misal Chenle begitu lagi, aku minta supaya cepat hubungi aku, tapi—...."
"Kamu mintanya baik-baik kan?"
Huh. Jeno khawatirnya salah tempat. "Iya, baik-baik kok. Oh, iya. Kamu pulang hari ini kan? Sekalian beli kue deh. Sepertinya kalau dicekoki kue, Chenle mau makan."
"Dicekoki... Iya, iya. Tapi coba paksa makan yang lain dulu ya soalnya aku pulangnya tengah malam."
Sesi laporan untuk Jeno sudah selesai. Sekarang Renjun siap berhadapan lagi dengan Chenle, yang ternyata memang masih di sofa. Dia benar-benar tidak berpindah sedikit pun dari posisi pertamanya.
Renjun berkacak pinggang sebelum memulai ceramahnya, "Lee Chenle! Peringatan terakhir! Bangun, makan, mandi, lalu ganti baju! Sekarang, makan sendiri atau mama suapin! Pilih!"
Dari gundukan bantal yang sudah berantakan, terdengar suara menggerutu, yang sudah pasti asalnya dari Chenle, "Ihh... Lagi sedih kok malah dimarahin sih...."
"Ya makanya kan mama dari tadi juga sudah tanya, kamu ada masalah apa di sekolah?? Kan kalau kamu tidak cerita, mama tidak akan mengerti!"
"Aku jelaskan juga mama tidak akan mengerti jadi buat apa!"
Renjun sulit percaya ini. Ya, Chenle saat ini sudah di tahun akhir sekolah menengah pertama, atau singkatnya SMP. Dia sekarang memang sedang pintar-pintarnya membalas omongan orangtua, dan tadi juga kalian bisa lihat bagaimana dia ternyata masih menyimpan tenaga untuk membalas ucapan Renjun, mamanya sendiri.
Renjun coba menenangkan emosinya sebelum kembali menghampiri Chenle, kali ini tanpa teriak-teriak, "Le, cerita dong ada apa. Kalau ada yang membuatmu tidak nyaman di sekolah, ceritakan saja. Kita cari solusinya bareng-bareng. Ya?"
Chenle tidak menjawab apa-apa, sampai perutnya lagi-lagi akhirnya jadi yang menjawab.
"Tuh. Perut kamu tuh sampai minta diisi begitu. Cerita yuk? Sambil makan. Mama suapin ya?"
"...mama janji tidak akan ketawa?"
Renjun mulai bersorak dalam hati. Akhirnya Chenle menunjukkan tanda-tanda dia mulai menyerah. "Iya, janji! Tidak akan ketawa."
"...benar?" Chenle menatap penuh harap. "Kalau ingkar janji, nanti tenggorokannya lumutan."
Eh, buset. Nyumpahinnya sadis juga. Tapi ya sudahlah ya. Renjun juga tidak ada rencana ingkar janji atau apapun itu, "Iya, janji! Ayo, cerita!"
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] decathect ; noren
FanfictionJeno yakin dirinya adalah lelaki baik-baik. Dia selalu mendengarkan kata-kata orangtuanya untuk tidak memperlakukan orang sembarangan. Kalaupun pada akhirnya dia melanggar, dia tau dia harus bertanggung jawab. Makanya waktu tiba-tiba ada anak kecil...