"Terima kasih sudah menjaga Chenle hari ini, kak Ten!" Kata Renjun sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Ten yang terlihat sudah mengantuk juga hanya membalas sekenanya. "Ya, sama-sama. Anakmu itu ramai sekali aku jadi tidak ada bosan-bosannya walaupun ini sudah hari kelima dia di sini," katanya lalu menoleh pada orang yang berdiri sedikit di belakangnya. "Ya kan, Taeyong? Chenle banyak membantumu juga."
Orang yang dipanggil Taeyong itu tertawa datar, paham apa yang dimaksud Ten soal membantu. "Yah, tapi harusnya kamu jangan membuatnya pergi bersamaku membelikan makanan ke luar karena kamu mengidam, sayang. Kasihan dia kelelahan."
"Memang kenapa? Kalau tidak begitu nanti kamu nyasar sendirian."
"Masa aku nyasar di lingkungan rumah sendiri sih...."
Renjun jadi sedikit bingung bagaimana cara menengahi pembicaraan suami-istri di depannya ini. Dia ini memang bukan orang yang pandai basa basi.
"Tapi tadi Om Taeyong sempat salah belokan!! Beneran, aku nggak boong!!" Tapi beda lain halnya dengan Chenle yang masih sangat polos. Dia bisa ikut komentar tanpa peduli apakah itu sopan atau tidak.
Renjun sibuk mengingatkan Chenle untuk menjaga omongan, mumpung Chenle sudah dia genggam tangannya. Renjun khawatir Chenle benar-benar sudah merepotkan keluarga Lee ini lebih dari yang sudah dijanjikan.
"Nah, tuh kan? Kalau Chenle tidak ikut pergi denganmu, pasti es krimku akan datang terlambat. Aku tau kamu ini buta arah." Ten tersenyum penuh kemenangan karena jelas Chenle berada di pihaknya. Taeyong hanya bisa menyisir rambutnya ke belakang dengan jari, berusaha sabar, mengingat istrinya ini tengah mengandung.
Tak lama, Renjun pamit dengan Chenle yang terus melambaikan tangan lebih lama dari hari kemarin-kemarin karena dia baru akan kembali ke sana minggu depan.
Di jalan, Chenle berkali-kali hampir ketiduran sehingga Renjun harus menggendongnya di punggung.
"Ma, dingin." Chenle berbisik dari balik punggung Renjun yang sempit waktu sedang menunggu pintu lift apartemennya terbuka.
"Sabar ya. Sebentar lagi." Begitu balasnya dengan suara rendah. Jujur saja, dia juga lelah. Barang bawaannya hari ini sedikit lebih banyak dari biasanya, ditambah lagi Chenle di punggungnya. "Nanti sampai kamar, cuci kaki, cuci tangan, sikat gigi, masuk selimut. Oke?"
Chenle bergumam mengiyakan dengan suara terbenam baju yang dikenakan Renjun. Dia sedikit terlihat keberatan dengan cuci mencuci, tapi mau bagaimana lagi.
Begitu lift terbuka, Renjun langsung bergerak cepat menuju kamarnya. Sedikit sulit mencari-cari kuncinya dengan Chenle dalam gendongan, sehingga mau tidak mau Chenle harus turun.
"Di mana ya...." Renjun mengobok-obok isi tasnya. Kebiasaannya yang selalu menyimpan kuncinya asal-asalan itu memang merepotkan tiap dia buru-buru. Dia sendiri juga tau kebiasaan buruknya ini harus segera diperbaiki, tapi mungkin yah, lain kali juga tidak apa-apa.
Renjun segera membuka pintu kamarnya begitu berhasil menemukan kuncinya di bagian dasar tas, terhimpit buku-buku yang dibawanya. "Eh, kamar mandi dulu!" Pekiknya pada Chenle yang berhamburan ke atas tempat tidur. "Kamu nih, sudah dibilangi padahal...."
Chenle hanya balas tertawa sebelum menurut untuk ke kamar mandi. Dia juga sempat pura-pura menggerutu, "Aku malasss."
"Kalau tidak bersih-bersih dulu, kamu tidur di depan lift, mau?"
"Jahatttt."
Tidur di depan lift? Tidak mungkin Renjun akan menyuruh Chenle melakukan itu. Kalaupun pada akhirnya Chenle benar-benar jatuh tertidur di tempat tidur begitu masuk kamar, selelah apapun Renjun, dia pasti akan tetap setidaknya mengganti baju Chenle.
Chenle tidak menghabiskan waktu lama di kamar mandi. Dia benar-benar hanya mengikuti apa yang Renjun suruh sebelumnya. Cuci kaki, tangan, sikat gigi... Lalu langsung masuk ke balik selimut.
"Ganti baju dulu ih...."
"Besok papa masih sibuk juga, ma?"
Renjun yang tadi hendak menyingkap selimut yang menutup tubuh kecil Chenle itu membatalkan niatnya. "Papa?"
"Hm-hm." Chenle mengangguk. "Mama waktu itu bilang papa sibuk kan? Makanya papa tidak pernah menjemputku seminggu ini."
Oh. Iya. Renjun hampir lupa ---atau malah sebenarnya memang sudah lupa kalau Chenle pernah bertanya ke mana papanya, dan karena Renjun sedang tidak ingin bicara banyak, dia jadi asal menjawab bahwa papanya, Jeno, sedang sibuk sehingga sulit dihubungi.
"...iya, papa masih sibuk." Renjun menghindar dari tatapan mata Chenle yang entah kenapa terasa menusuk. "...sangat sibuk...sampai tidak bisa ke sini lagi."
Ah, andai Renjun melihat bagaimana wajah Chenle berubah masam mendengar omongan semacam dia tidak akan bertemu lagi dengan papanya di sana.
"Kenapa papa tidak bisa ke sini lagi?" Pertanyaannya berganti baru. "Aku mau ketemu papa. Mama memangnya tidak mau ketemu papa?"
Mau. Aku mau. Renjun menjawab dalam hati.
Sejujurnya dia benar-benar tidak nyaman ditanyai begitu oleh Chenle yang menurutnya tidak mengerti apa-apa. Kalau sudah seperti ini, yang jadi masalah bukan soal mau atau tidak dari pihak Renjun, melainkan dari Jeno.
Tapi tidak juga. Renjun tau benar dia juga yang sengaja tidak membalas pesan dari Jeno untuk bertemu. Renjun mau bertemu, tapi tidak dengan keadaan hatinya yang seperti itu.
"Besok ketemu papa ya, ma?"
Renjun menelan ludah mendengar kata-kata Chenle yang mungkin diucapkan setengah sadar, melihat sekarang Chenle sudah terlelap. "...besok?"
.
.
.Tbc.
A/n. Sepertinya decathect mulai kehilangan pembaca tapi tidak apa apa 🤓✊ akan kubuat mereka yg pergi menyesal 🙈
Tapi ada juga si pembaca baru hwhw halooow!! Semoga betah di book ini 🙈
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] decathect ; noren
FanfictionJeno yakin dirinya adalah lelaki baik-baik. Dia selalu mendengarkan kata-kata orangtuanya untuk tidak memperlakukan orang sembarangan. Kalaupun pada akhirnya dia melanggar, dia tau dia harus bertanggung jawab. Makanya waktu tiba-tiba ada anak kecil...