#23; Purple Rain [1/4]

1.2K 144 30
                                    

Kau menghujaniku cinta begitu derasnya..
Namun, aku lupa..
Suatu saat, hujan pun akan mereda..


------

Rasa dingin yang menyusup ke dalam kulit dihiraukannya. Justru cuaca dingin itu yang membuatnya semakin betah memandangi tiap tetes air langit yang jatuh ke bumi. Ia selalu menikmati salah satu fenomena alam ini. Karena setiap tetes air yang menyentuh bumi, selalu mengingatkannya pada bagaimana peristiwa mengerikan itu terjadi padanya. Ah, sepertinya sungguh berlebihan dia memaknainya seperti itu.

Titik-titik kenangan itu muncul bak kereta yang melaju dalam benaknya. Begitu mendengar gemerciknya yang beradu dengan atap rumah, ingatannya langsung bergegas menuju beberapa tahun silam. Di mana hujan menjadi saksi dua orang asing yang mulai berbagi rasa. Di mana hujan memulai perjalanan mereka menjadi sepasang kekasih. Dan hujan pun yang menjadi saksi kerapuhan dirinya.

Ia berpikir definisi hujan miliknya berbeda dengan yang lain. Hujan bukanlah melodi rapuh. Hujan bukan menunjukkan kesedihan. Hujan baginya suatu anugerah yang selalu ditunggu di tengah gurun. Hujan baginya menunjukkan kebahagiaan. Namun, ia lupa dan terlalu terlena. Ia lupa, jikalau tak selamanya langit selalu menimpa bumi dengan hujan. Ia lupa, jikalau terlalu lama berada dalam derasnya hujan, bisa membuatnya terluka. Layaknya, batu yang semakin lama akan hancur karena hujan, begitu juga dengan dirinya.

*****

Pukul dua belas siang, waktunya bagi anak sekolah menengah atas untuk beristirahat. Setelah menutup buku dan memasukan alat-alat tulisnya, ia segera bergegas menuju kantin. Saat ia baru saja keluar, tiba-tiba ada yang menghadang jalannya. Ia berusaha menahan senyum dan memasang wajah tak acuhnya. Namun, tatapan yang menggoda itu meruntuhkan pertahanannya.

"Kamu mau ngapain di sini?" Akhirnya ia yang pertama kali menyapa cowok itu. Karena sejak kedatangannya, cowok itu selalu menatapnya dengan memuja. Tingkah cowok itu membuatnya risih.

"Nyamperin pacar sendiri masa nggak boleh?" Tatapan tengil itu tak diacuhkan oleh cewek di hadapannya. Justru cewek itu sibuk melihat ke arah belakangnya. "Cari siapa sih?"

Setelah memastikan tak ada yang mengikuti pacarnya, ia mengalihkan pandangannya. "Siapa tau ada buntut kamu." Tidak lupa dengan memasang wajah ketusnya.

"Ros, please. Kita udah bahas ini, 'kan?"

Rose berusaha memaksakan senyumnya selebar mungkin. Bagaimana mungkin ia melupakan kejadian yang sanggup menyakiti hatinya. Bahkan bukan sekali dua kali, cowok itu menyakitinya dengan alasan yang sama. Mulutnya memang sudah membuat kesepakatan dengan sang kekasih, tetapi hatinya tidak bisa mengelak jika ia tidak bisa menjadi nomor dua. Namun, siapa dirinya? Ia hanya orang asing yang baru saja datang dalam kehidupan pacarnya. Siapa ia sampai berani menggantikan posisi cewek itu dalam hidup sang pacar. Seharusnya ia dari awal sadar resiko apa yang harus ditanggungnya saat memutuskan untuk menjadi kekasih dari cowok yang bernama Mingyu.

Rose bergegas menuju kantin tanpa mengajak Mingyu. Tanpa diajak pun, Mingyu akan membuntutinya. Tumben sekali cowok itu tidak mengurus cewek yang berstatus sebagai sahabatnya. Dan jika harus mengingatnya lagi, Rose sangat jenuh. Ia tidak pernah siap jika harus berhadapan dengan cewek itu. Karena ia tahu Mingyu akan lebih memilih ia daripada pacarnya sendiri.

"Mau makan apa? Kayak biasanya aja?"

Rose bukan cewek manja yang setiap ke kantin harus dipesankan oleh sang pacar. Jadi, Rose mengabaikan Mingyu dan tetap menuju salah satu kedai di kantin. Ia memesan sepiring siomay dan segelas es jeruk. Lalu segera ia mencari meja kosong. Matanya mencari eksistensi kekasih di antara kerumunan siswa. Kedua sudut bibirnya membentuk senyuman ketika melihat Mingyu berjalan menuju ke arahnya. Saat matanya melihat ada presensi lain di belakang Mingyu, wajahnya tak dihiasi lagi oleh senyuman. Raut bahagianya seketika berganti dengan kesal.

1001 Kisah Munroses ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang