Aku mau kamu, tapi kamu bilang kita adalah sebuah kesalahan..
Tidak seharusnya ada 'kita' di antara kamu dan aku..
Tapi, menurutku mencintaimu adalah kewajaran..
Mungkin kamu benar tentang kita..
Seharusnya aku tidak perlu membangun tinggi menara harapanku..
*****
"Hayo! Lagi ngapain?"
Aku langsung menutup buku kecil karena kehadirannya yang tiba-tiba. Cowok ini selalu membuatku terkejut dengan kedatangannya bak hantu. Aku segera menyudahi aksi tulis-menulisku. Tak satupun kubiarkan orang lain melihat apa yang kutulis.
"Kamu ngapain di sini?" tanyaku menyelidik.
Cowok itu tidak biasanya pergi ke perpustakaan saat menunggu jam mata kuliah selanjutnya. Yang paling sering dilakukan sih mabar bersama teman kelasnya atau pergi ke kantin jika dia berkenan.
"Emangnya nggak boleh? Kamu nih kayaknya nggak suka banget aku ke sini."
"Tumben aja."
Cowok itu mendengus dan menatapku dengan kesal. Aku masih ingin berada di sini hingga jam mata kuliah selanjutnya. Tidak ada lagi percakapan antara kami. Aku juga tidak berniat membuka pembicaraan apapun padanya.
Melirik melalui sudut mataku, ia terlihat seperti merenung. Ia seolah terhanyut dengan pikirannya sendiri. Tumben sekali. Tidak biasanya dia begini. Aku mengalihkan perhatianku dengan bermain ponsel. Membaca pesan-pesan dari grup yang mulai menumpuk karena sengaja aku tidak membukanya.
Aku mendengar hela napas darinya. "Mereka sudah putus."
Jariku yang ingin mengetik pesan balasan untuk Jiho berhenti sejenak. Aku menoleh padanya. Wajahnya seperti sedang menanggung beban berat, kusut dan murung.
"Karena aku," lirihnya kemudian. "Gara-gara aku mereka putus. Seharusnya aku tahu batasan. Nggak seharusnya aku mencuri pacar sahabatku,'kan?"
Binar matanya memancarkan kesedihan dan mulai memerah. Nada suaranya juga terdengar parau dan berat. Ia begitu hancur dan rapuh. Aku tahu beban apa yang sedang dipanggulnya hingga ia dengan berani mengatakan dirinya bak pencuri.
"Gyu, kamu nggak mencuri apapun dari siapapun. Kamu bukan pencuri."
Aku nggak suka dengan kata mencuri yang dia katakan dengan mudahnya. Mingyu bukan pencuri. Ia tidak salah di sini. Nggak boleh ada yang menghakimi tentang sebuah rasa. Nggak ada siapapun yang tahu rasanya akan bermuara di mana.
Mingyu menggusar rambut yang mulai panjang. Lalu pandanganku bertemu dengan sosok itu, sosok yang menjadi penyebab kekacauan. Posisi Mingyu memunggunginya. Wajar jika hanya aku yang menyadari kehadirannya.
Di sini aku adalah orang asing di antara mereka. Jadi, kubiarkan mereka menyelesaikan masalah yang terjadi. Aku bangkit, tapi Mingyu menahan tanganku sembari bertanya, "Mau ke mana?"
Mataku tak hentinya bertemu pandang dengan sosok itu. Ia tetap diam di tempat. Sorot matanya mengandung kesedihan. Sesama perempuan aku bisa merasakannya meskipun hanya melalui sorot mata. Ada beribu kata yang ingin diungkapkannya. Ya, sudah seharusnya ia mengurai jalinan simpul yang kacau. Karena hanya sosok itu yang mampu melakukannya.
Dengan tiba-tiba Mingyu menarik tanganku hingga aku terduduk kembali. Ia menjatuhkan kepalanya di bahuku tanpa aba-aba. Tindakan Mingyu yang tiba-tiba membuatku terpaku sejenak. Pun dengan dia. Ia menatap kita---aku dan Mingyu---dengan pandangan tak terbaca. Entah apa yang terlintas dalam pikirannya, tapi tak lama kemudian ia memutuskan untuk pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
1001 Kisah Munroses ✓
Fiksi PenggemarHanya berisi cerita pendek/random Mingyu dan Rose ❤️