Jantung hati mempunyai sihir sendiri, yaitu cinta.
*****
“Kamu nggak salah sih bersikap kayak gitu. Tapi, apa nggak berlebihan kamu marah sama dia sampe berhari-hari kayak gini?”
Aku terdiam. Tidak tahu harus menjawab bagaimana pertanyaan Jiho. Aku sendiri tidak yakin kemarahanku sama Mingyu hanya karena itu. Bahkan aku masih mempertanyakannya, meskipun aku meyakini kemarahanku merupakan hal yang wajar.
Aku hanya menceritakan ketika ketiga sahabat itu saling jatuh cinta sampai di mana Mingyu melibatkanku. Sisanya, aku tidak memberi tahu Jiho lebih banyak lagi. Minggu-minggu ini menjadi minggu tersibukku karena sedang UTS. Selama seminggu ini pula, aku tidak pernah bertemu Mingyu. Pesan-pesannya pun tidak terlihat dalam ruang chat-ku.
Sebelum pulang, aku dan Jiho terlebih dahulu pergi ke kantin. Tiba-tiba, hari ini aku ingin mie ayam yang ada di kantin teknik. Sebenarnya teman-temanku lebih sering pergi ke kantin teknik karena pilihan makanan yang beragam dan juga tempatnya yang luas. Anggap aja hari ini sebagai perayaan berakhirnya UTS karena semenjak UTS aku belum pernah ke sini lagi.
“Aneh aja sih. Kalau kamu nggak suka dengan idenya dia ya nggak masalah. Cuma kalau udah berlarut kayak gini, kamu yakin cuma itu aja?”
Setiap aku menceritakan suatu hal, Jiho selalu memberi sudut pandang yang baru. Yang kadang pemikirannya juga membuat aku bertanya-tanya seperti sekarang misalnya. Aku yakin sekali kemarahanku pada Mingyu hanya karena waktu kejadian di perpusnas itu. Aku tidak terlalu suka Mingyu melibatkanku. Padahal kenal dengan mereka———Jungkook dan Eunha———saja tidak.
“Menurut kamu?” tanyaku balik padanya. Aku tidak mau pusing-pusing memikirkan hal yang belum pasti. Mengerjakan soal dan tugas take home untuk UTS saja sudah sangat menyita waktu dan tenagaku. Aku hanya ingin mengistirahatkan otakku untuk sekarang.
“Jangan-jangan kamu suka sama Mingyu.”
Mendengar hal itu keluar dari mulutnya, aku langsung mencubitnya. Selain pemikirannya dia yang sering berbeda, anak satu ini juga kadang tidak masuk akal. Dia berkata dengan suara yang bisa aja didengar orang lewat. Kantin ini kan kawasan Mingyu. Mingyu anak jurusan Teknik Informatik dan Komputer, sementara aku jurusan Desain Grafis. Apalagi cowok itu bukan termasuk mahasiwa kupu-kupu sepertiku. Teman-temanya ada di mana-mana. Aku khawatir jika gosip dari mulutnya Jiho ini menyebar luas.
“Jangan kenceng-kenceng.”
Suasana kantin sangat sepi. Dapat dihitung dengan jari mahasiswa yang duduk di sini. Sepertinya untuk anak teknik, jam ujian mereka belum selesai. Hari ini aku hanya mengumpulkan tugas take home dan satu mata kuliah ujian langsung. Belum selesai waktu ujian, teman-temanku sudah keluar terlebih dahulu. Ya, sepertinya mereka sudah terlalu muak dengan serangkaian UTS ini.
“Yaelah, Ros. Takut amat. Anak-anak di sini udah pada tahu kali kalau kamu deket sama Mingyu. Ya, siapa sih yang nggak kenal Mingyu di kalangan anak teknik. Kalian juga sering makan di sini bareng, ‘kan?”
Menurutku, Mingyu termasuk dalam kelas social butterfly. Kadang aku iri dengan kemampuan Mingyu yang dapat nyaman masuk di lingkaran pertemanan mana saja. Sangat mudah berbaur. Jadi, ya walaupun mereka tidak kenal dekat dengan Mingyu, setidaknya mereka tahu wajah dan namanya.
Tahun ini, Mingyu terpilih menjadi Ketua Himpunan Jurusan dengan wakilnya adalah Eunha. Saat Mingyu memberi tahuku jika yang menjadi wakil ketua himpunannya Eunha, aku merasa itu adalah kesempatan Mingyu atau ujian baginya. Entahlah. Bertemu setiap hari apalagi dalam organisasi yang sama seolah menguji perasaannya.
Sudahlah. Sepertinya aku terlalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan kenapa kisah Mingyu menjadi rumit seperti sekarang.
“Jadi, gimana? Kamu beneran suka kan sama dia?” tanya Jiho kembali.
Aku hanya menggeleng ketika mendengar kesimpulan Jiho. Kembali melanjutkan aksi makan mie ayamku. Jika menanggapi Jiho, tidak akan ada habisnya. Cewek itu akan terus bertanya sampai asumsi di kepalanya dibenarkan oleh sang lawan. Jadi, aku lebih baik diam seperti biasanya.
“Terus aja kamu denial, Ros.”
Lagi, aku mengabaikan Jiho dan meminum es teh susu. Kita sudah selesai makan dan bersiap untuk pulang. Tapi, biasanya kita masih menghabiskan waktu duduk di sini sampai bosan. Hanya sekadar ngobrol ringan saja.
“Boleh gabung nggak?”
Tiba-tiba suara itu datang tanpa permisi. Tubuhnya yang menjulang berdiri di sampingku. Kedatangannya dari arah belakangku. Pantas saja, aku tidak bisa melihatnya. Jiho juga sedari tadi sibuk dengan ponselnya. Jika menyadarinya, ia pasti sudah memberi tahuku.
“Baru aja diomongin udah dateng. Kayaknya kalau jodoh nggak ke mana sih.”
Aku ingin menyumpal mulut Jiho detik ini juga.
“Kalian ngomongin aku?” tanya Mingyu lagi.
Kakiku di bawah meja sudah menyenggol kaki Jiho untuk tutup mulut dan jangan berbicara yang tidak-tidak pada Mingyu. “Nggak kok, Gyu. Jiho aja kamu dengerin.”
“Aduh, nggak mau jadi orang ketiga deh di sini. Nanti makin rumit. Aku ke sekre dulu ya, gaes.” Sebelum pergi, Jiho menepuk bahu Mingyu, “Oh iya, Gyu. Tolong sadarin Rose dengan perasaannya, ya.”
Aku bangkit untuk mengusir Jiho dari ini sebelum semakin lama cewek itu berbicara lebih ngawur lagi. “Jiho, mulut kamu bener-bener ya! Udah sana kamu pergi.”
“Duh, yang udah nggak sabar untuk berduaan ya. Mau selama apapun marahnya, yang namanya kangen emang nggak bisa dilawan.”
Aku sangat lelah meladeni Jiho yang iseng begini. Dia tahu betul sebenarnya bagaimana perasaanku pada Mingyu. Yang jelas kita hanya berteman.
“Jiho mulutnya belom pernah dikasih boncabe ya!”
Setelah mengatakan itu, Jiho berlari dan masih sempatnya dia meledekku. Jiho ini sosok nyata yang menguji kesabaranku saat mode kumatnya on. Aku kembali duduk ke tempat semula. Mingyu sudah duduk dengan santai di kursi di mana Jiho duduk tadi.
“Aku baru tahu kamu bisa bercanda juga.”
“Apa?”
Aku pura-pura tidak mendengar. Juga aku akan melupakan kelakuan Jiho di depan Mingyu tadi. Anggap saja, aku tidak pernah melihatnya.
“Ya, enggak apa-apa. Cuma aku baru lihat sisi kamu yang kek gini sekarang. Kamu lucu kalau lagi salah tingkah ya.”
Aku benar-benar tidak mengerti perkataan Mingyu. Namun, aku akan mengabaikannya. Tidak akan kuladeni dia.
“Kamu ngapain ke sini?” tanyaku sembari meneguk minuman. Es teh susu ini sudah menjadi langgananku tiap ke sini.
“Tadinya sih mau makan. Tapi, aku liat kamu di sini. Jadi, aku mau gabung sama kalian. Eh, Jiho malah pergi.”
“Kita udah selesai makannya kok.”
Kalau tidak ada Mingyu, aku yakin masih di sini bersama Jiho atau beberapa menit kemudian kami memutuskan untuk pulang. Jiho juga tidak mungkin ke sekretariat himpunan setelah jam kuliah berakhir. Gara-gara Mingyu aku masih terjebak di sini.
Mungkin aku tidak betul-betul marah pada Mingyu. Mungkin juga kemarahanku kemarin hanya aku tidak suka Mingyu membawa namaku. Hanya itu saja. Ya, kurasa.
“Kalau gitu, aku juga nggak bisa membohongi perasaanku. Aku menyukai Rose. Aku sayang sama dia.”
KAMU SEDANG MEMBACA
1001 Kisah Munroses ✓
FanfictionHanya berisi cerita pendek/random Mingyu dan Rose ❤️