7. Teressa

981 163 15
                                    

"Kamu nggak akan mau kalau aku melihat tubuhmu," sebuah suara membuat Teressa membeku di tempatnya. Kedua bola matanya membulat sempurna. Jemarinya yang tadinya hendak membuka kancing kemeja sontak memegang erat kain yang menutupi bagian dadanya itu. Ia bisa merasakan hawa ruangan yang mendadak jadi dingin padahal ia belum menghidupkan pendingan ruangan.

"Seharusnya kamu nggak sembarangan melepas pakaian meski tinggal sendiri di rumah ini. Karena kamu nggak akan pernah tahu kapan aku kembali kan, nyonya Teressa Haryadi...," lanjut orang itu lagi yang membuat Teressa memejamkan kedua matanya erat sembari meredam emosinya. Cewek itu kemudian membalikkan badan setelah merasa cukup tenang untuk berhadapan langsung dengan suaminya.

"Bukankah seharusnya... masih dua minggu lagi?" tanya Teressa jelas bingung menemukan suaminya yang sudah berada di rumah mereka.

"Apa aku nggak boleh pulang ke rumah kapan pun aku mau?" Tristan balas bertanya. Teressa membasahi bibir bawahnya yang terasa kering. Pada sofa yang berada di ruang keluarga itu, tampak sosok Tristan yang sedang duduk dengan kedua mata menatap datar Teressa.

"Tentu saja boleh," jawab Teressa dengan suara yang sangat pelan. Tristan beranjak dari posisinya dan membuat Teressa melangkah mundur. Tampak jelas sorot ketakutan dari kedua bola mata Teressa. "Kenapa nggak bilang kalau pulang hari ini? Aku kan bisa jemput...,"

"It's surprise, Teressa...," Pria itu berhenti di tengah jalan. Mengurungkan niatnya untuk mendekati Teressa. "Darimana?" tanya Tristan.

"Coffee shop...," jujur Teressa.

Tristan mengangkat sebelah alisnya. Pria itu menatap heran pada Teressa. "Coffee shop? Sendirian?"

Teressa menggeleng pelan. "Ada dua orang yang menemani aku. Semuanya perempuan. Yang satu seorang konsultan publik bernama Sheila dan satunya lagi seorang model bernama Reina Wijaya," jujur Teressa lagi. "Mungkin mas Tristan mengenal Reina Wijaya,"

"Apa aku harus mengenal seorang model bernama Reina Wijaya?" tanya Tristan.

"Tidak," cicit Teressa. Cewek itu menundukkan kepalanya.

"Dan lagi... terdengar cukup menarik bagaimana seorang konsultan publik dan seorang model bisa berteman dengan menantu keluarga Haryadi...," komentar Tristan. Teressa menelan ludahnya. Jemarinya saling bertautan dan ia bisa merasakan telapak tangannya yang berkeringat.

"Apa aku... apa... aku nggak boleh berteman dengan mereka?" tanya Teressa dengan suara terbata. Tristan kembali melangkahkan kakinya mendekati Teressa dan membuat istrinya itu tersudut hingga punggungnya membentur dinding. Pria itu berdiri menjulang di depan Teressa yang hanya bisa menundukkan kepalanya semakin dalam. Tak peduli dengan ketakutan Teressa, Tristan mengulurkan tangannya dan menyentuh pipi istrinya itu. Diusapnya dengan lembut pipi mulus Teressa. Lalu jemari Tristan mengangkat dagu Teressa hingga kedua bola mata coklat itu kembali menatap ke arahnya.

"Kamu boleh berteman dengan siapa pun... selama mereka tidak memberikan dampak buruk bagi menantu keluarga Haryadi. Kamu paham kan, Teressa?"

Teressa mengangguk pelan tanpa bisa mengucapkan apapun. Tristan menyunggingkan sebuah senyum. Lalu pria itu mengecup kening Teressa juga kedua pipi mulus istrinya.

"Bernapas Teressa... aku nggak mau kamu kehabisan napas cuma karena aku mengecup kening dan pipimu," bisik Tristan menyadari Teressa yang menahan napas juga memejamkan mata. Setelahnya pria itu pergi meninggalkan Teressa.

Teressa jatuh terduduk karena kedua kakinya tidak mampu menopang tubuhnya lebih lama. Ia bisa merasakan tubuhnya gemetaran. Dengan cepat cewek itu menarik napas berulang kali. Seharusnya ia masih punya waktu dua minggu untuk merasakan kebebasannya. Sialnya, Tristan memutuskan untuk mempercepat kepulangannya ke Indonesia. Dan Teressa tahu, sandiwara yang harus ia lakukan setelah ini akan semakin berat.

Girls ! [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang