72. Teressa

666 128 16
                                    

Jaga hati, mata, mulut juga jari kalian ~~~
*************************************************

Apa yang terjadi di Paris pada malam itu, mereka lakukan dalam keadaan sadar. Tidak ada pengaruh alkohol sedikit pun. Dan semuanya bisa diingat dengan jelas.

Malam masih menemani keduanya saat jarum jam baru menunjuk angka dua malam. Keduanya sama-sama terjaga dan hanyut dalam pikiran masing-masing. Hanya terdengar suara napas teratur mereka yang saling beriringan.

"Sorry," ucap Tristan setelah terlalu lama membiarkan keheningan memenuhi kamar itu.

"What for?" tanya Teressa dengan suara berbisik.

"I... for everything... for what we did just now... for...,"

"Please! Don't say anything anymore... you make it worst," potong Teressa. Cewek itu mengganti posisinya membelakangi Tristan. Dicengekeramnya erat selimut yang menutupi tubuh telanjangnya.

Tristan beranjak dari posisinya. Ia meraih sweater dan celana yang tergeletak di lantai. Dipakainya kembali sweater dan celana tersebut. Cowok itu menoleh sekilas memperhatikan Teressa.

"Begitu matahari terbit, gue anter elo balik ke hotel. Sekarang... mending elo tidur dulu, gue tidur di kamar lain," ucap Tristan sebelum ia pergi meninggalkan kamar tersebut. Membiarkan Teressa beristirahat dengan tenang di kamar apartemennya. Memberikan ruang untuk cewek itu menenangkan diri.

Tristan menghembuskan napas dengan kasar. Cowok itu memperhatikan keadaan apartemennya yang cukup berantakan karena dipakai untuk merayakan pesta ulang tahun Max. Ia merutuki dirinya berulang kali mengingat kegiatan gila yang telah dilakukannya bersama Teressa.

Kalau Talita tahu apa yang telah dilakukan Tristan pada adiknya, bisa dijamin cewek itu akan menuntut Tristan dan akan melakukan apapun untuk menghancurkan pria itu. Bahkan Tristan pun ingin menghukum dirinya sendiri setelah melakukan hal gila itu. He just took Teressa's virginity. F*ck!

Sedangkan Teressa, membiarkan air mata membasahi wajahnya. Cewek itu berulang kali mencaci maki dirinya sendiri yang dengan gila membiarkan apa yang selama ini sudah dijaganya secara cuma-cuma dengan kesadaran penuh.

"I am a sinner. What have I done?" gumam Teressa berulang kali disela tangisnya.

Saat matahari terbit, Tristan benar-benar mengantar Teressa kembali ke hotelnya. Tak ada percakapan apapun di antara mereka. Keduanya sama-sama diam dan membiarkan kecanggungan menjadi pemisah untuk mereka.

"Jangan berkomentar apapun. Satu kata yang keluar dari mulut elo, akan buat gue semakin menyesal dan menyalahkan diri gue sendiri. Please...," ucap Teressa sebelum turun dari mobil itu.

Tristan pun menuruti permintaan Teressa. Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Hanya pandangannya yang memperhatikan Teressa turun dari mobil dan masuk ke dalam gedung hotel. Dan setelahnya, mereka kembali menjadi orang asing yang hanya sekedar tahu nama masing-masing. Hingga satu bulan sejak kejadian itu, Tristan pulang ke Jakarta dan menemui Teressa. Secara spontan dan tiba-tiba, benar-benar tak terduga oleh Teressa.

"Let's get married," ucap Tristan langsung tanpa basa-basi. "Aku butuh pelarian. Dan kamu bisa jadi tempat pelarian untuk aku,"

"Cukup sekali aku jadi penghibur kamu," sahut Teressa.

"Kamu masih berhubungan dengan pacar kamu? Aku berani bertaruh, kalian pasti putus setelah kamu kembali dari Paris waktu itu. Kamu... pasti nggak akan mau membiarkan cowok itu tahu apa yang sudah kamu lakukan di Paris bersama aku. Bukan hanya cowok itu, kamu pasti menyembunyikan kejadian di Paris dari semua orang. Karena itu lah... aku mengusulkan untuk melanjutkan apa yang sudah terlanjur kita lakukan di Paris,"

Girls ! [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang