"Astaga, Teressa! Aku pikir kamu sudah tidur!" pekik Reina yang kaget melihat Teressa masih terjaga saat ia membalikkan badannya.
"I can't sleep," bisik Teressa.
"Is there something bothering you?" tanya Reina. Teressa hanya menganggukkan kepala pelan. Cewek itu tampak menerawang jauh menatap langit-langit kamar.
"Is it... about Barra?" tanya Reina hati-hati.
"I'm not sure," jawab Teressa terdengar ragu.
"I saw him kissing you," jujur Reina.
"You did?" Teressa menatap Reina dengan wajah panik.
"We did. Sheila and me,"
"Oh no...," Teressa memejamkan kedua matanya erat.
Reina pun segera meraih tangan Teressa lalu menggenggamnya pelan. "Hei... we pretend like we saw nothing,"
"It's not about that... Aku... seharusnya itu nggak terjadi," sahut Teressa. Cewek itu menggigit bibir bawahnya berusaha menahan tangis. Reina mengelus lengan Teressa berusaha menenangkan cewek itu.
"Can i ask you something?" tanya Reina pelan. "About you and Barra...,"
"He used to be my bestfriend...," sahut Teressa langsung paham dengan arah pertanyaan Reina. Sebuah senyum nanar tersungging di wajah Teressa. Cewek itu menatap sendu langit-langit kamar.
"Kamu pasti pernah dengar kata orang yang bilang 'cinta karena terbiasa'... that's what happened to us. Karena terlalu sering menghabiskan banyak waktu bersama, Barra yang selalu kasih kenyamanan buat aku, Barra yang selalu ada buat aku, Barra yang entah bagaimana caranya selalu memahami diri aku... pada akhirnya buat aku jatuh cinta sama dia. And we have mutual feelings," tutur Teressa pelan mulai berbagi cerita tentang dirinya dan Barra.
"Kita tidak memutuskan untuk pacaran kayak kebanyakan orang pada umumnya, yang saling suka lalu menciptakan status baru dengan nama 'pacaran'. No, we didn't. We stayed as bestfriends... but, we had promise to take our relationship into more serious level, which was marriage,"
"Keluarga aku cukup mengenal Barra dengan baik. Mereka tahu aku dan Barra adalah sahabat. Bahkan, mereka sempat berpikir kalau aku dan Barra akan membawa persahabatan kami ke jenjang pernikahan,"
Teressa menghembuskan napas pelan. Sebulir air mata yang tanpa bisa dicegah meluncur membasahi pipi mulus cewek itu. Dengan cepat, Teressa menghapus air mata tersebut. Reina pun dengan siaga mengelus lengan Teressa untuk menenangkan cewek itu.
"Kadang... apa yang sudah kita rencanakan dengan baik, tidak semuanya dapat terwujud. Selalu saja ada kejadian tak terduga yang mengalangi, bahkan sampai menggagalkan semua rencana itu,"
"Barra memutuskan untuk melanjutkan study ke Melbourne. Everything was still alright. Kita masih komunikasi. Barra masih suka balik ke Jakarta atau aku yang liburan ke Melbourne,"
Lagi. Teressa menjeda ceritanya. Cewek itu kembali menghela napas pelan.
"Kalau nyesek, nggak usah dilanjutin lagi...," ucap Reina tak enak hati melihat kesedihan Teressa.
"No, it's okay. Aku butuh orang yang mau mendengarkan cerita ini. Udah terlalu lama aku nyimpen cerita ini sendirian,"
"I'm here. I'll listen to your stories...,"
"Thank you, Reina...,"
"Lalu? Pasti ada satu titik masalah yang membuat kamu dan Barra pada akhirnya lost-contact yang menyebabkan semua keadaan kacau?" tebak Reina. Teressa menganggukkan kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Girls ! [COMPLETED]
General Fiction3 wanita dipertemukan secara tak sengaja. 3 wanita dengan cerita mereka. 3 wanita dengan masalah menyangkut satu hal yang sama : CINTA. . . BIJAKLAH DALAM MEMILIH BACAAN !! . . . kehaluan lainnya dari author . Vote and Comment sangat dipersilahkan