45. Sheila

432 96 13
                                    

Sheila jelas kaget mendapati Teressa pulang sendiri naik taksi dan bukannya diantar oleh Barra. Bahkan cewek itu langsung memeluk erat Sheila begitu melihat Sheila yang membukakan pintu.

"Teressa? Are you okay?" tanya Sheila yang jelas bingung dengan keadaan cewek itu. Teressa melepaskan pelukannya. Cewek itu tersenyum tipis.

"Kok udah pulang? Barra mana? Kenapa pulang sendiri?" tanya Sheila lagi tanpa henti.

"Aku memutuskan untuk pulang lebih dulu," jawab Teressa.

"Okay...," respon Sheila. Dia paham kalau ada sesuatu yang terjadi.

"Reina? Apa udah sembuh?" tanya Teressa sembari berjalan masuk menuju kamar tamu.

"Demamnya sih sudah turun. Sekarang lagi istirahat di kamar," jawab Sheila yang mengekori Teressa ke kamar tamu.

"Hei... kok udah pulang?" tanya Reina dengan suara serak.

"Kepikiran kamu," canda Teressa.

"Dih, alesan...," sahut Reina pura-pura ngambek.

"Umm... aku rencana akan pulang besok," tutur Teressa mengutarakan rencananya untuk pulang secepatnya ke Jakarta. Reina dan Sheila saling tatap.

"Bukankah kita seperti memiliki telepati? Aku dan Reina baru saja membahas untuk kembali ke Jakarta besok," sahut Sheila.

"Kenapa?" tanya Teressa jelas kaget mengetahui kedua cewek itu berencana untuk mengakhiri liburan mereka.

"Well... pekerjaan sudah mulai menumpuk dan harus segera aku selesaikan. Karena itulah... aku mempercepat masa cutiku. Dan... Reina ingin pulang ke Semarang karena merindukan orang tuanya," jelas Sheila.

"Lalu Teressa? Kenapa ingin pulang?" tanya Reina penasaran dengan alasan cewek itu.

"Merindukan suami atau menghindari Barra?" timpal Sheila iseng.

Teressa memilih untuk mengabaikan pertanyaan tersebut. Cewek itu menyibukkan diri dengan mulai membereskan barang-barangnya. Membuat Reina dan Sheila saling melirik satu sama lain. Jelas sekali ada sesuatu yang terjadi.

"Teressa? Something's wrong, right? Mind to share it with us?" tanya Sheila hati-hati. Cewek itu berjalan mendekati Teressa dan membawanya untuk duduk di tepi tempat tidur. Reina pun segera berpindah posisi mendekati Teressa.

Cewek itu mendesah pelan. "Apa ini sebuah keegoisan... kalau aku menginginkan Barra?" tanya Teressa dengan suara berbisik.

"Bukankah... egois itu adalah sifat dasar manusia?" timpal Reina.

"Teressa...," Sheila meraih satu tangan Teressa. "Aku nggak bisa memberikan solusi apapun untuk menyenangkan kamu. Tapi... satu hal yang aku tahu, kita nggak akan pernah bisa memaksa hati untuk memilih siapa. Hati kita selalu tahu kemana ia harus berlabuh,"

"Menurutku, itu bukanlah sebuah keegoisan saat apa yang kamu inginkan adalah apa yang hati kamu benar-benar inginkan,"

"Dulu, kamu memang memilih untuk menerima lamaran dari suamimu. Kamu berharap bahwa apa yang kamu lakukan bisa mengalihkan hati kamu dari Barra. Tapi nyatanya nggak gitu, kan? Karena hati kamu tidak memilih suamimu,"

"Tapi... tapi...," Teressa mengurungkan niatnya untuk mengucapkan sesuatu. Keraguan seketika menyelimuti dirinya.

"Teressa... apa sekarang, kamu mulai ada rasa untuk suami kamu?" tanya Reina yang sedikit tak yakin dengan tebakannya. Teressa menggeleng cepat.

"Nggak... nggak boleh ada rasa apapun selama perjanjian ini berlangsung... nggak boleh sama sekali... karena percuma... percuma saat semuanya berakhir," jawab Teressa dengan terbata. Sangat jelas kalau cewek itu sedang menahan tangisnya. Sheila dengan segera memeluk tubuh Teressa.

Girls ! [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang