81. Teressa

632 115 21
                                    

Selalu ada yang mengingatkan kita pada satu kejadian yang memilukan hati. Sekuat apapun kita mencoba untuk melupakannya, satu kenangan itu akan tetap di sana menjadi bayang-bayang yang menakuti tiap kali malam menjadi sepi. Lalu yang bisa kita lakukan hanya menyesali sekaligus menangisi apa yang sudah terjadi itu.

Entah malam yang ke berapa, yang jelas Teressa kembali terisak tiap kali otaknya memutar rekaman gumpalan darah yang mengalir dari selangkangannya. Sulit bagi Teressa untuk memejamkan mata karena kenangan itu selalu memaksa dirinya untuk terus terjaga. Satu penyesalan yang dipenuhi rasa bersalah itu terus menghantui diri Teressa.

Bukan hanya itu saja, hubungan dirinya dan Tristan pun semakin memburuk. Suaminya itu sering kali pergi ke rumah sakit lebih awal dari biasanya lalu pulang saat malam sudah terlalu larut. Atau juga semakin sering pergi ke luar kota untuk menghadiri banyak seminar kedokteran. Intensitas pertemuan mereka bisa dihitung dengan jari dan interaksi di antara mereka semakin jarang. Keduanya sama-sama saling menghindar.

Teressa semakin sering menghabiskan waktu di rumah Bunda atau rumah Mama. Baik Bunda ataupun Mama tak ada yang menaruh curiga karena menurut keduanya memang lebih baik Teressa berada dalam pengawasan mereka daripada harus berada di rumah sendirian. Bunda dan Mama masih trauma dengan kejadian yang menimpa Teressa.

"Teressa...," suara Mama mengalihkan menarik perhatian cewek itu. Mama menghampiri Teressa yang duduk sendirian di ruang keluarga. Dipelukanya erat tubuh Teressa sembari mengelus punggung cewek itu.

"Sudah... jangan diingat lagi... ikhlas, Teressa...," bisik Mama lembut.Dibiarkannya Teressa menangis dalam diam. Instuisi seorang ibu memang tidak pernah salah. Entah kenapa, Mama terbangun dan langsung menuju ruang keluarga. Dan tepat saja, beliau menemukan sosok Teressa yang tengah menangis sendirian.

"Sudah yah sayang... nggak boleh ditangisi terus...,"

Teressa melepaskan pelukan Mama. Dengan cepat ia menghapus sisa air mata di wajahnya. Mama mengelus wajah putrinya itu.

"Mama paham kalau Teressa sangat sedih... tapi Teressa nggak boleh terus-terusan sedih dan menangis seperti ini... kamu bisa sakit kalau kayak gini terus... Teressa harus kuat, harus tabah... Tuhan nggak akan kasih sebuah kesedihan kalau nggak diganti dengan kebahagiaan nantinya,"

"Tapi rasanya sakit banget, Ma... rasanya di sini sesak sekali... Teressa nggak bisa lupain kejadian itu," isak Teressa sembari memukul dadanya yang terasa sesak. Mama segera menangkap kedua tangan cewek itu lalu menggenggamnya erat.

"Mama tahu... rasanya pasti menyesakkan sekali... dan Mama nggak suruh Teressa untuk melupakannya... mama cuma mau Teressa tetap menjalankan hidup dan jangan cuma menyesali apa yang sudah terjadi... ada mama, papa, juga suami kamu yang akan selalu support kamu,"

Teressa kembali terisak begitu mengingat suaminya. Bahkan mengingat status dirinya sebagai seorang istri lebih meyesakkan lagi untuk Teressa. Cewek itu benci dengan semua sikap dingin Tristan, bagaimana pria itu menatap dirinya dengan sorot kecewa, juga cara Tristan yang terus berusaha menghindarinya. Teressa ingin menghentikan semua sandiwara ini dan mengakhiri semua rasa sakit pada batinnya.

"Kamu perlu istirahat, sayang... mama temenin yah," ucap Mama. Beliau beranjak sembari membawa Teressa kembali ke kamar. Ditemaninya putri bungsunya itu beristirahat malam itu.

***

"Tristan?" suara Mama menyambut Tristan yang baru saja menginjakkan kaki memasuki rumah mertuanya tersebut. Wajah pria itu nampak lelah karena harus mengejar penerbangan pertama dari Bali menuju Jakarta.

"Mama...," ucap Tristan. Pria itu menyambut tangan Mama lalu menciumnya.

"Ambil penerbangan pertama yah? Wajah kamu kelihatan lelah sekali... ayo duduk dulu... sarapan, mama baru saja selesai buat sup makaroni kacang merah,"

Girls ! [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang