Kota Chang'an - Alam Manusia.
Kain merah halus, berkilap licin layaknya sutra membentang meja kecil persegi panjang. Di atasnya terbaring indah hiasan rambut lengkap dengan pernak-pernik yang berkilau, berjejeran seolah meminta untuk dipilih layaknya para wanita yang siap untuk dipilih oleh raja.
Bukan hanya hiasan rambut saja, tapi di sisi lain meja, tersusun berbagai jenis botol-botol kecil putih bulat seukuran genggaman tangan orang dewasa, dalamnya berisi pewarna pipi lengkap dengan pewarna bibir lainnya. Bahkan, terdapat pensil alis melengkapi.
Dari balik cermin, terlihat bayangan cantik Yue Hua. Alis mata tipis dan rapi, pipi dengan rona kemerahan dengan bibir merah nyala. Bagian rambut terangkat sepenuhnya layaknya permaisuri-permaisuri kerajaan lengkap dengan hiasan keemasan berbentuk bunga. Sementara pakaian berwarna merah sepenuhnya pada bagian jubah luar yang mengekor, merekah layaknya burung merak pada lantai dengan corak tanaman sulur yang merambat berwarna emas. Sementara bagian dalam berwarna putih polos, bagian pinggang terlilit kain hitam, memunculkan kesan rampingnya tubuh.
"Hua'er, mulai hari ini kau akan masuk dan tinggal di istana. Ingat, untuk selalu menjaga diri baik-baik," ujar ibu.
"Jangan khawatir, aku akan. Jika waktu memungkinkan, aku pasti akan mampir ke sini."
Tok tok tok!
"Tandu sudah tiba, waktunya berangkat ke istana," beritahu ayah.
Dengan bantuan ibu dan ayahnya, Yue Hua bangun dan berjalan selangkah demi selangkah hingga di luar gerbang. Memeluk kedua orang tuanya secara bergantian, terutama ibu yang tak kuasa lagi menahan tangis.
Setelah puas mengucapkan perpisahan, Yue Hua dibantu oleh pelayan istana menaiki tandu kuda. Saat hendak menaiki tangga, dirinya menoleh kembali pada kedua orang tuanya dengan mata berkaca-kaca sambil melangkah masuk ke dalam tandu.
Air mata tak terbendung lagi begitu tandu berangkat, dirinya hanya menangis sejadi mungkin seolah bertekad setiba di istana tidak akan menangis. Sementara di luar sana, tampak Lu Ring berdiri di antara keramaian yang melihat keberangkatan tandu istana. Kiri dan kanan jalanan dipadati orang-orang seolah sedang melihat parade.
Jangan senang dulu, kau hanya memasuki istana belum menikah. Lihatlah, akan kubuat kau keluar dari istana dengan penuh air mata darah.
Puas melihat, dirinya memutuskan pergi meninggalkan keramaian dengan senyum licik, sementara Paman Ming memerhatikan dari seberang jalan dengan tidak suka. Namun, pandangannya berubah seketika saat melihat tandu. Pandangan khawatir seorang ayah terhadap anak.
Jangan khawatir dan jangan takut. Aku akan melindungimu, tidak seperti dulu yang kehilanganmu begitu saja. Bagiku, kau tetaplah putriku, Yue Hua.
Yue Hua mengusap air mata, membuka tirai jendela seolah merasa terpanggil. Senyuman, benar sebuah senyuman tersungging di wajahnya yang lembap. Menangkap sosok Paman Ming yang tersenyum ke arahnya hingga sosok tersebut hilang. Sontak Yue Hua heran, dirinya terus melihat ke arah Paman Ming tadi berada dan ke sekitar, mencari sosok Paman Ming hingga tandu bergerak menjauh.
Apa aku salah lihat?
Dirinya menggeleng-geleng, menepuk-nepuk kedua pipinya. Tidak lagi terlihat air mata, hanya ada keyakinan untuk menguatkan mental akan kehidupan barunya dalam tempat paling dingin dan kesepian, tempat dengan banyak masalah, tapi diperebutkan keberadaannya.
Benar, itulah daya tarik dari tempat yang dipanggil istana. Meskipun banyak masalah, rintangan bahkan nyawa taruhannya. Akan tetapi, tidak mengurangi minat orang-orang untuk memasuki tempat itu. Baik bagi mereka yang secara sukarela ataupun yang terpaksa karena suatu keadaan, layaknya Yue Hua yang saat ini telah memasuki istana.
Kuda meringkik, tandu berhenti dan suara di luar tampak sepi. Lebih tepatnya tenang. Saat itulah, Yue Hua menarik napas dalam-dalam, melepaskan kepalan erat tangannya lalu perlahan membuka mata.
Merasa siap, dirinya keluar. Menengadah melihat papan nama bertuliskan 'Kediaman Tan Hua'."Tan hua?" gumamnya.
"Taizi sendiri yang memberikan nama kediaman ini, Guniang."
"Kau ...?"
"WanWan memberi hormat pada Yan Guniang."
Hal itu diikuti oleh semua pelayan, mereka menundukkan kepala tidak berani melihat langsung Yue Hua yang melihat mereka semua.
"Hamba akan menjadi dayang pribadimu, Guniang."
"Mari saling menjaga, WanWan," ujar Yue Hua, tersenyum.
"Sudah menjadi tugasku ... silahkan masuk, Guniang."
Yue Hua melangkah, matanya mengitari area sekitar dengan WanWan yang mengekor tepat di belakang.
Tak kusangka Cheng Yuan dengan sendirinya memberi nama kediaman ini, padahal terakhir kali kami bertengkar dan setelahnya tidak pernah bertemu lagi. Apa aku bersikap berlebihan padanya? Jelas tahu dirinya tidak salah ... tampaknya, aku harus minta maaf karena sudah melampiaskan kekesalanku terhadap Lu Ring padanya.
Ruangan dari kediaman ini dipenuhi dengan nuansa warna cokelat kayu-kayuan. Mulai dari lantai, tiang serta ruas-ruas jendela dan pintu. Pada bagian awal ruangan akan ditemui ruang khusus menyambut tamu lengkap dengan meja dan kursi berwarna hitam, bagian sekitar dihiasi dengan lukisan pemandangan yang menggantung pada dinding, guci-guci porselen baik berupa guci kosong atau yang berisi tanaman bunga hidup.
Pada ruangan berikutnya yang hanya dibatasi dengan sekat berupa pintu geser, dapat dilihat ruang untuk bersantai. Terdapat rak buku, meja dan kursi lengkap dengan alat musik guzheng serta papan weiqi. Sementara ruang yang paling belakang adalah kamar pribadi Yue Hua, lengkap dengan ranjang, meja cermin dan kursi serta berbagai kotak perhiasan dan barang dandanan lainnya.
"Guniang istirahatlah dulu, jika membutuhkan bantuan panggil saja."
"Terima kasih, WanWan."
WanWan keluar, meninggalkan Yue Hua yang terduduk diam di depan cermin. Melihat sekitar lalu mendesah. Tampak sudah merasa bosan.
Baru saja tiba sudah merindukan rumah ... jika di rumah aku pasti sudah menyelinap keluar.
"Hufff ...!"
"Butuh teman?"
"SIAPA?!"
"Sssttttt!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Alohomora : The Three Realms (End)
Fantasy(Sequel Alohomora : The Secret) Kematian merenggut, kehidupan abadi berumur ribuan bahkan sampai ratusan ribu menanti. Namun, kehidupan lalu bagaikan percikan api yang siap berkobar. Kehidupan kacau, keseimbangan pun diuji hingga mendatangkan ujian...