"Butuh teman?"
"SIAPA?!"
"Sssttttt!"
***
"Paman? Apa yang ...?"
"Guniang? Kau baik-baik saja?" tanya WanWan dari luar.
"Tidak apa-apa, kau boleh pergi."
Merasa aman, Yue Hua berjalan ke arah pintu. Menautkan kail besi, mengunci rapat, kemudian melihat Paman Ming dengan heran.
"Bagaimana Paman bisa masuk?"
"Mudah bagiku, kurasa aku tidak perlu menjelaskan hal itu. Bukankah kau bosan?"
"Ohhh ... tapi, barusan Paman berhasil membuat jantungku hampir berhenti."
Paman Ming duduk yang diikuti oleh Yue Hua, matanya kembali terbelalak saat melihat meja kosong secara tiba-tiba terisi dengan beberapa camilan kue lengkap dengan teh.
"Paman, apa mungkin kau seorang abadi?" ujar Yue Hua, jelas kagum dan terpukau.
"Kau bisa menganggapnya begitu, karena itu jangan takut, aku pasti akan melindungimu dari orang-orang jahat itu."
"Apa ... seorang abadi boleh ikut campur urusan manusia?"
"Kau bukan hanya manusia, bukankah kau sudah berjanji akan menganggapku sebagai orang terdekat?"
"Benar ... tap ...."
"Baiklah, mari bicarakan hal lainnya," potong Paman Ming.
Dirinya bangun sambil melihat sekitar, membuka jendela kamar. Segera Yue Hua bangun dan menutup jendela. Khawatir akan ada yang melihat.
"Paman, jangan buat aku dihukum pada hari pertamaku."
"Tempat ini tidak buruk, jika kau berhasil menjadi Taizifei dan para penjahat itu tersingkir ... maka aku bisa tenang."
"Apa maksudmu, Paman?"
"Tidak ada, mari mengobrol bersama," ajak Paman Ming.
Tidak lagi ada kata bosan atau kesepian, sekarang hanya ada tawa yang perlahan berubah serius melingkupi wajah keduanya. Tampak Yue Hua lebih terbuka saat dengan Paman Ming, hal itu terkadang membuat Paman Ming terdiam dengan pandangan rindu. Bahkan, terkadang kaca-kaca air akan menggenangi pandangannya.
***
"Guniang! Bangunlah ... Guniang!"
Kening berkedut, memunculkan garis-garis halus dengan mata tertutup yang bergerak-gerak. Perlahan terbuka lesu, mencoba membiasakan pantulan cahaya luar yang masuk sebelum akhirnya terbuka sepenuhnya.
Gawat! Paman!
"Guniang, apa yang kau cari?" tanya WanWan.
Paman bukan orang biasa, hampir saja aku lupa.
"Jam berapa sekarang?" tanya Yue Hua, tampak kelegaan perlahan memenuhi dirinya.
"Ini sudah malam, sudah tiba waktunya makan malam."
Aku tertidur lumayan lama.
"Guniang, aku akan membawa masuk makan malammu."
"WanWan, bisakah aku makan di luar kediaman saja."
"Di taman?"
Yue Hua mengangguk yang disambut dengan senyuman oleh WanWan. Senyum yang mengizinkan permintaan Yue Hua hingga semua siap.
Tepat di bawah pohon rindang depan kediaman, terdapat meja batu bulat lengkap dengan empat kursi batu mengelilingi. Meja yang sudah terisi banyak makanan, mungkin sekitar 12 belas piring lauk dalam ukuran kecil lengkap dengan nasi yang tersaji.
"Banyak sekali, bagaimana bisa aku memakan sebanyak ini?"
"Guniang, silahkan."
"Apa kalian sudah makan?" tanya Yue Hua, melempar pandangan satu per satu pada pelayan lainnya.
"Kami para pelayan tidak diizinkan makan jika Tuan yang kami layani belum makan," jawab WanWan.
"Ahhh ... ternyata begitu. Bagaimana kalau kau makan bersamaku, kalian juga," ujar Yue Hua pada WanWan serta dua pelayan lainnya.
"Kami tidak berani, bagaimana bisa kami makan makanan milikmu, Guniang."
"Aku tidak akan memberi tahu siapa pun, selain itu tidak ada siapa pun di sini jadi jangan khawatir."
"Tapi ...."
"Sudahlah, jangan berpikir lagi. Kemarilah, kalian juga kemarilah," ajak Yue Hua, menarik mereka duduk.
Berakhirlah hari pertama Yue Hua dalam istana dengan mengobrol bersama para pelayan, membangun hubungan baik dengan mereka. Ada kalanya Yue Hua melihat ke arah gerbang kediaman, mungkin merindukan rumah atau mungkin seseorang.
"Guniang, apa kau merindukan Taizi?"
"Dari mana kau tahu aku dan Taizi pernah bertemu?" tanya Yue Hua, penasaran.
"Bukan hanya itu, bahkan semua orang dalam istana tahu bagaimana Taizi sangat menyukaimu," jawab WanWan.
"Apa?!" Kaget, tersenyum canggung dengan sebelah tangan memegang lehernya.
"Rumor di istana sangat cepat tersebar, karena itu kita harus selalu berhati-hati. Bahkan hal baik bisa berubah buruk. Yang salah bisa menjadi tidak salah atau sebaliknya," jawab WanWan.
WanWan melihat sekitar lalu mendekatkan diri pada Yue Hua, tepatnya telinga Yue Hua.
"Terutama orang-orang yang bekerja untuk Kanselir, jumlah mereka sangat banyak. Karena itu berhati-hatilah dalam setiap tindakan." WanWan menarik diri, tampak serius.
"Terutama dirimu, Guniang. Kau akan menjadi sasaran empuk bagi Kanselir, Lu Guniang atau Huangtaihou sekalipun," tambah WanWan.
"Hal ini tentu aku tahu."
Yue Hua menengadah, memandang bulan yang bersinar indah perlahan tertutup awan, desiran angin menerbangkan dedaunan kering. Menambah rasa dingin yang menjalar ke seluruh tubuh tanpa Yue Hua ketahui sepasang mata mengawasi dirinya dari kejauhan sebelum akhirnya pergi, meninggalkan kegelapan.
![](https://img.wattpad.com/cover/232207575-288-k593493.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Alohomora : The Three Realms (End)
Fantasy(Sequel Alohomora : The Secret) Kematian merenggut, kehidupan abadi berumur ribuan bahkan sampai ratusan ribu menanti. Namun, kehidupan lalu bagaikan percikan api yang siap berkobar. Kehidupan kacau, keseimbangan pun diuji hingga mendatangkan ujian...