Chapter 38

56 17 152
                                    

Gemuruh langit beserta angin kencang berhasil mengundang hujan. Setiap orang disibukkan dengan persiapan pemakaman. Hanya saja karena cuaca buruk, pemakaman akan dilakukan keesokan harinya. Fokus untuk hari ini hanya mengadakan upacara, doa serta penghormatan terakhir dari semua anggota keluarga kerajaan juga para menteri istana, dengan tubuh ibu suri yang terbaring dalam peti lengkap dengan gelar anumerta yang terpampang jelas dalam ruangan yang penuh nuansa putih termasuk orang-orang yang datang berkunjung.

Pandangan marah ditunjukkan sepenuhnya oleh Lu Ring, Yue Hua yang sadar hanya berpura-pura tidak melihat, fokus untuk memberikan penghormatan setulus mungkin bersama dengan Tn. Yan. Sesaat Yue Hua menyempatkan diri memerhatikan gelar anumerta, berdiri diam tampak tenggelam dalam dunia pikirannya. Mungkin, kembali ke masa saat ibu suri menghukumnya. Namun, terlihat dari binar matanya tidak ada kebencian selain duka. Tanpa dirinya ketahui, Paman Ming memerhatikan tepat di sampingnya.

"Terima kasih sudah hadir, kuharap hal ini tidak menyita waktu berhargamu dalam menyiapkan pernikahan putrimu, Tn. Yan," ujar kanselir datar.

"Kerajaan yang mengurus semuanya, mana ada waktu sibuk bagiku."

"Benar juga, Huangdi secara pribadi yang memilih putrimu. Tidak mungkin akan membiarkanmu kerepotan," ujar kanselir dingin, terkesan menekan dan menyindir.

"Kudengar, putrimu sempat sakit, tapi tampaknya sekarang dia sangat sehat ... sama sekali tidak terlihat sakit sedikit pun," tambah Lu Ring sinis.

"Benar, putriku benar-benar sehat. Tidak perlu bagimu khawatir, terima kasih atas kepedulianmu, Lu Guniang."

Lu Ring mengepal kedua tangannya dengan cukup erat, pandangan kemudian beralih pada Yue Hua yang mendekat. Tampak, Lu Ring mengeraskan rahang. Bahkan, urat-urat leher terlihat menegang.

"Kanselir ... Lu Ring," sapa Yue Hua.

"Mari kita pergi," ajak Tn. Yan.

Yue Hua memberi hormat, melangkah pergi mengikuti ayahnya. Saat itulah, Lu Ring tak kuasa lagi menahan amarah, bergerak mengambil guci porselen putih lalu memecahkan pada dinding. Sontak, Yue Hua berbalik memandangnya yang mendekat dengan menghunuskan pecahan porselen tajam, lurus pada Yue Hua yang diam mematung.

"TIDAK ...!"

Teriakan kanselir sama sekali tidak mengurungkan niatan Lu Ring, mata dipenuhi kaca-kaca bening dan keinginan kuat untuk menyingkirkan.

"MATI SAJA KAU ...!!!"

"HUA'ER!"

Yue Hua hanya memejamkan mata, mengepal kedua tangan, mengeraskan rahang dan lehernya, bahkan lupa caranya bernapas.

TING!

BRUKK!!

"Aaahhhh ...!"

"Lu Ring!" teriak kanselir mendekati putrinya.

Merasa tidak ada yang terjadi, perlahan Yue Hua membuka sepasang matanya. Melihat, Lu Ring yang terduduk di lantai dengan tangan berlumuran darah tepat di hadapannya, mungkin berjarak sekitar satu meter dari dirinya berada.

"Kau baik-baik saja?" tanya Tn. Yan khawatir, terus menatap putrinya yang masih syok.

"Kau ... makhluk apa kau sebenarnya?" tanya Lu Ring sambil membangunkan dirinya.

Beberapa pasang mata dalam ruangan juga melihat Yue Hua, pandangan heran yang dilemparkan oleh semuanya.

"Ilmu apa yang kau pelajari?" tanya Lu Ring lagi.

"Apa maksudmu?" tanya balik Yue Hua.

Lu Ring segera melempar sisa pecahan porselen dari lantai ke arah Yue Hua. Saat itulah keanehan terjadi, membelalakkan mata Yue Hua serta mata orang lainnya yang menyaksikan, takjub sekaligus takut.

Tampak pecahan porselen tidak dapat menembus, menancap dalam suatu benda aneh setidaknya bagi manusia yang melihat. Tepatnya berupa air kental layaknya jeli menyelubungi Yue Hua.

Paman, kaukah itu?

Yue Hua mengulurkan sebelah tangan, menyentuh benda aneh atau mungkin lebih tepatnya perisai yang melindungi dirinya. Sontak, perisai menghilang, menjatuhkan pecahan porselen dengan meninggalkan suara dentingan kuat pada lantai.

"Makhluk terkutuk!" teriak Lu Ring.

"Hentikan tuduhanmu," tekan Tn. Yan.

"Pasti dia, pasti dia yang membunuh Huangtaihou!"

"Aku tidak!" teriak Yue Hua.

"Tidak ada yang tahu penyakit apa yang diderita. Sehari sebelum sakit, Huangtaihou tampak sehat, sangat sehat. Tapi, keesokannya tiba-tiba jatuh sakit. Pasti dia! Dialah pelakunya!" tuduh Lu Ring keras.

"Kanselir, mohon didik putrimu!" tekan Tn. Yan.

"Jika dipikir-pikir, kematian Huangtaihou memang mencurigakan. Selain itu, putrimu memang memiliki alasan kuat jika ingin membunuh."

"Kanselir!"

"Tn. Yan, kurasa putrimu memang memiliki dendam pada Huangtaihou. Dua kali, dirinya dihukum secara tegas. Bukankah begitu, Yan Guniang?" tanya kanselir.

"CUKUP!"

Diam, hanya itu kata yang menggambarkan suasana saat ini setelah mendengar suara ketegasan tak asing barusan. Setiap orang memberikan hormat, membukakan jalan bagi raja, permaisuri serta putra mahkota.

"Ini adalah masa berkabung, bisa-bisanya kalian malah menuduh!" teriak raja.

"Tuduhan tersebut tentu memiliki alasan. Semua orang di sini menyaksikannya," ujar kanselir.

"Benarkah? Tapi kenapa aku merasa, tuduhanmu dan putrimu hanya bentuk untuk menghentikan pernikahan. Apa setakut itu dirimu ... takut akan tersingkirkan dari posisimu sekarang?"

"Huangdi, mohon selediki putri Tn. Yan."

"Mohon selidiki!" tambah Lu Ring.

"Sebelumnya kalian menuduh kasus kebakaran ada hubungannya dengan putriku, gagal menyingkirkannya. Lantas, sekarang kasus ini? Kanselir, kau sungguh berani!" tekan Tn. Yan.

"Aku hanya pejabat, tidak ada maksud untuk menjatuhkan siapa pun. Yang kuinginkan adalah kebenaran dan menangkap mereka yang mencoba menyakiti anggota keluarga kerajaan. Bukankah itu, salah satu tugas kita, Tn. Yan?" ujar kanselir sinis.

"Kita saat ini sedang dalam masa duka, bisakah membicarakan hal ini setelah pemakaman besok?"

"Huanghou, justru kita harus membahas hal ini sebelum pemakaman. Huangtaihou, pasti akan tenang setelahnya," jawab kanselir menatap permaisuri tidak suka.

"Baiklah, mari kita selidiki. Istana sudah banyak kerjaan, kurasa tidak akan masalah menambah satu kasus lagi," sindir raja.

"Tapi! Jika ketahuan tuduhan kanselir pada Yue Hua salah, maka bersiaplah dengan resikonya," tambah raja dengan sedikit menekan nadanya.

"Huangdi!" panggil Cheng Yuan.

Permaisuri segera menahan, menggeleng menatap Cheng Yuan yang tak terima dengan keputusan raja yang menerima tawaran kanselir. Hal yang sama juga dilakukan Yue Hua, mengangguk sekali seolah menerima hasil keputusan. Memberikan tatapan penuh keyakinan bahwa dirinya tidak salah, tidak ada hubungannya dengan kematian ibu suri. Saat itulah, Cheng Yuan diam dan tersenyum kecil untuk menenangkan Yue Hua.

"Baik, aku terima," jawab kanselir yakin dan mantap.

Raja kemudian berpaling, menatap gelar anumerta yang berdiri gagahnya lalu memberikan penghormatan selayaknya, diikuti oleh permaisuri serta Cheng Yuan di saat angin dingin bertiup, membuat Paman Ming keluar melihat arah angin yang datang. Menengadah ke langit malam tanpa bintang dengan wajah tak tenang.

Akhirnya, tiba waktu untuk mereka.

Alohomora : The Three Realms (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang