"Aula kediaman Huanghou ... Huangtaihou juga di sana," jawab WanWan serius.
Pandangan Yue Hua juga berubah serius, perasaan tidak enak seolah menjalar. Dirinya melihat ke arah Paman Ming berada tadi kemudian berdiri, pergi meninggalkan kediamannya.
***
Sesampainya, Yue Hua ditemani WanWan memberi hormat dan salam. Berdiri menghadap ibu suri dan permaisuri, menunggu hal apa yang ingin disampaikan. Bahkan, Paman Ming berdiri tepat didekat Yue Hua, tentu tanpa diketahui Yue Hua sendiri.
"Bawa mentor itu masuk," titah permaisuri.
Bayang-bayang terlihat dibarengi suara langkah kaki yang mendekat. Bayang yang merupakan sosok Ny. Min. Saat itu, Yue Hua memejamkan mata. Tahu akan ke mana permasalahan kali ini mengarah.
"Katakan, apa yang terjadi kemarin?" tanya ibu suri.
"Yan Guniang, dia ... pergi bersama Taizi di tengah-tengah sesi pembelajaran," jawab Ny. Min, gemetar.
"Benarkah begitu, Yan Guniang?" tanya ibu suri.
"Salahku telah melakukan itu," jawab Yue Hua pasrah.
"Huanghou, kau dengar itu."
"Dia belum lama berada di istana, belum begitu tahu mengenai peraturan."
"Ini istana bukan kediaman pribadinya. Apalagi dia adalah calon Taizifei, harus jadi contoh dan panutan banyak orang."
"Huangtaihou, kurasa hukuman berat tidak diperlukan. Teguran saja sudah cukup," ujar permaisuri.
"Bolos di tengah pembelajaran lalu pergi bersama dengan pria, berpelukan dan bermesraan! Apa itu pantas?!" tegas ibu suri.
"Pria itu Taizi bukan orang lain," ujar Yue Hua.
"Selama pernikahan belum berlangsung, kau dan Taizi adalah orang asing. Tidak pantas bersikap seperti itu!" teriak ibu suri.
"Pelayan! Bawa cambuk!" teriak ibu suri lagi.
"Kita bisa menyelesaikan hal ini tanpa harus menggunakan kekerasan." Permaisuri mencoba menghentikan.
"Huanghou, sebagai orang yang bertanggung jawab dalam istana dalam sepertimu. Kuharap kau bersikap adil, tunjukkan bahwa dirimu layak dalam tugas ini," tekan ibu suri.
Permaisuri terdiam, melihat Yue Hua lalu memejamkan mata sesaat seolah berpikir. Tampak salah satu tangannya tergenggam erat sebelum akhirnya membuka mata, diikuti embusan napas panjang setelahnya.
"Sesuai aturan istana dalam, Yan Guniang dihukum cambuk sebanyak 50 kali," ujar permaisuri lemah dengan mata berkaca-kaca.
"Tidak! Guniang! Guniang!" teriak WanWan.
Kedua pengawal menahan WanWan yang meronta, Yue Hua bersujud memandang ibu suri yang menyeringai puas. Saat itulah, Lu Ring melangkah masuk. Melihat Yue Hua dengan pandangan penuh kemenangan tepat di samping ibu suri.
Ini belum seberapa, akan kupastikan kau tidak akan betah dalam istana ini lalu memilih keluar dengan kakimu sendiri.
***
"Buka! Buka pintunya! Buka!" Menggedor-gedor kuat, panik jelas menyerang dirinya yang khawatir.
"Aku adalah Taizi! Beraninya kalian mengurungku seperti ini!" teriaknya dengan napas memburu, mengepal erat kedua tangan.
"Buka! Buka!"
"Pergi ke sana hanya akan menambah masalah baginya. Pikirkan kembali, jangan biarkan perasaanmu membutakan!" tegas Yuan Feng.
"Buka! Kubilang buka!"
"Aku melakukan ini demi kebaikan kalian berdua."
"YUAN FENG!!!"
"Taizi, tenangkan dirimu dan pikirkan baik-baik perkataanku. Mana yang terbaik ... pergi atau tidak."
"Aku tidak bisa membiarkan dia terluka karenaku, ini semua salahku ... akulah yang harusnya dihukum! Akulah orangnya!" teriak Cheng Yuan.
Beda halnya dengan kediaman Cheng Yuan yang penuh dengan suara teriakan memohon. Saat ini, aula kediaman permaisuri malah tampak ribut oleh angin kencang yang datang bersamaan dengan awan hitam. Gemuruh mulai bersaut-sautan, sontak membuat setiap orang yang melihat keheranan akan perubahan tiba-tiba ini.
"Apa yang kalian tunggu! Cambuk dia!" teriak Lu Ring.
Cambuk mulai dilayangkan. Akan tetapi, bertepatan dengan itu pula, cahaya putih silau layaknya petir menyerang pelayan yang memegang cambuk. Sontak, membuat semua orang dalam aula ketakutan.
Paman, kaukah yang melakukan ini? Jika benar maka hentikan ... atau aku tidak akan pernah ingin menemuimu lagi.
Paman Ming yang mendengar isi hati Yue Hua, hanya menggeleng tidak percaya akan apa yang didengar barusan dengan mata berkaca-kaca. Memandang penuh kebencian ke arah Lu Ring dan ibu suri, mengepal kedua tangannya dengan garis wajah menegang.
Namun, semua pandangan benci seketika berubah saat melihat Yue Hua, kepalan tangan perlahan lemah dan lepas, gemuruh di langit beserta angin dan awan gelap menghilang. Tak lama, tergantikan dengan suara cambukan memenuhi aula beriringan dengan suara tangis WanWan yang memanggil Yue Hua. Untuk kedua kalinya, Yue Hua kembali menanggung hukuman hingga dirinya tak sadarkan diri.
***
"Guniang ... Guniang kau sudah sadar?"
Suara cicitan burung memenuhi telinga, cahaya terang perlahan masuk menampilkan perwujudannya. Melihat samar-samar sosok WanWan yang khawatir sebelum akhirnya terlihat jelas. Menampilkan suasana dalam kamar yang tak asing.
"Wanwan ... berapa hari sudah berlalu?"
"Dua hari, sudah dua hari," ucap WanWan menangis.
Yue Hua menggerakkan tubuhnya, tampak ingin bangun. Segera, WanWan membantu dengan Yue Hua yang mengernyit akibat luka cambukan di punggungnya yang belum juga sembuh. Saat dirinya terduduk, tampak bercak darah menempel pada pakaian putihnya.
"Aku akan menyiapkan makanan lalu memanggil tabib," ujar WanWan yang segera pergi.
Sosok Paman Ming seketika muncul didekat jendela, memandang Yue Hua prihatin dengan botol putih seukuran genggaman tangan dibawanya.
"Biar aku obati, menghilangkan sepenuhnya."
"Paman, tidak perlu ... orang-orang akan curiga jika lukaku tiba-tiba saja sembuh."
"Kau akan menahannya? Bahkan diriku masih marah melihat kau yang dihukum. Sekarang, kau bahkan memintaku untuk tidak mengobatimu!"
"Paman, kumohon, jangan lakukan itu."
"Harusnya dari awal sudah kulakukan tanpa harus menunggu izinmu," ujar Paman Ming, marah.
"Paman, kau jelas tahu aku tidak suka jika terlalu ikut campur urusan pribadiku."
"Kau sungguh keras kepala ... dan parahnya lagi, aku pun tidak bisa mengabaikan ucapanmu."
Paman Ming kemudian pergi, menghilang begitu saja dari hadapan Yue Hua. Tak lama, WanWan pun kembali dengan beberapa makanan beserta seorang tabib. Memeriksa keadaan Yue Hua, membuat WanWan tersenyum dengan hasilnya.
Sementara di sisi lain, dalam suatu kediaman. Terlihat Cheng Yuan duduk berhadapan dengan seorang pria dengan aura kuat, berusia sekitar 30an akhir. Pria yang tak lain adalah Raja Kerajaan Yi, ayahnya.
"Kenapa pagi begini menemuiku?"
"Ada yang ingin kuminta, harap Fuqin mengabulkannya."
"Katakan."
"Pernikahanku dengan putri Tn. Yan ... harap segera dilakukan," ujar Cheng Yuan mantap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alohomora : The Three Realms (End)
Fantasy(Sequel Alohomora : The Secret) Kematian merenggut, kehidupan abadi berumur ribuan bahkan sampai ratusan ribu menanti. Namun, kehidupan lalu bagaikan percikan api yang siap berkobar. Kehidupan kacau, keseimbangan pun diuji hingga mendatangkan ujian...