Di sisi lain, tampak rombongan Cheng Yuan telah memasuki desa yang dituju. Debu dan asap memenuhi udara, tangisan orang-orang kesakitan, rumah hancur berantakan dengan noda darah mengering di sekitar lengkap dengan bau amis dan busuk. Menciptakan udara pengap serta mata berair menyaksikannya. Membuat Cheng Yuan memelankan laju kuda.
"Tuan tolong kami! Tuan."
"Selamatkan kami."
"Tuan! Tuan!"
"Kita harus pergi," ujar Yuan Feng.
"Bagaimana dengan mereka?"
"Ingat, kita kemari untuk mencari tahu apa yang terjadi kemudian melaporkan ke istana. Sisanya, Huangdi yang akan memutuskan setelah pernikahanmu," jawab Yuan Feng.
Cheng Yuan mempercepat laju kuda, menyusuri jalanan berdebu, berusaha seolah-olah tidak melihat dan menutup telinga akan suara rengekan orang-orang. Namun, pandangan semakin dan semakin memutih di hadapannya. Bahkan, kuda meringkik keras, tidak berani maju bersamaan dengan orang-orang desa yang berlarian, bersembunyi.
Tidak tahu apa yang terjadi, Cheng Yuan beserta prajurit lainnya hanya menarik keluar pedang, mengacungkan ke depan dengan mata elang mereka, terkesan memicing akan sesuatu tak tampak dari balik kabut.
Samar-samar hanya terlihat bayangan gelap, dari wujud tampak mirip dengan manusia umumnya. Kepala, kedua tangan dan kaki. Namun, semakin dilihat akan menemukan keanehan. Beberapa bayangan tampak tidak memiliki kaki, melainkan tubuh yang memanjang hingga mengekor ke belakang layaknya ular.
"Apa sebenarnya mereka?" gumam Cheng Yuan.
"Pergilah! Mereka bukan lawan kalian!"
Sempat teralihkan oleh teriakan, Cheng Yuan kembali memfokuskan pandangan di hadapannya. Saat itu, kakek yang sempat meneriaki menghampiri. Memperingati untuk segera pergi, tangan gemetar dengan binar mata yang ikut bergetar saat melihat kabut yang semakin mendekat.
Kuda meringkik, mengangkat kedua kaki depan setingginya seolah berusaha menjatuhkan penunggang. Mengamuk ketakutan akan hal yang dirasakan bahaya. Bahkan beberapa kuda melarikan diri.
"Hati-hati!"
Teriakan Yuan Feng sontak membuat semua mata kembali fokus, gemetar melihat bayangan kecil yang kini meliuk-liuk di permukaan tanah, bukan satu atau sepuluh melainkan banyak, sangat banyak hingga terlihat permukaan tanah gelap lengkap dengan suara desis yang kian mendekat.
"Semuanya! Menghindar ...!" teriak Cheng Yuan.
BRUK!
SIISSSSTTT ....
SISSTT ...!
"Bawakan api!" teriak Yuan Feng.
"AAAHHH ...!"
"AAHHH!"
BRUK!!!
Obor api diberikan, mengibas-ngibas mengusir dan beberapa lagi melibas mati ular-ular dengan pedang. Mengumpulkan rombongan Cheng Yuan, menutup jalan kabur mereka. Anehnya, ular-ular tidak bergerak, hanya mendesis menunjukkan taring bisanya seolah menunggu perintah penyerangan lebih lanjut.
"Shehan!"
Ular-ular terbakar habis, teriakan tadi seolah mantra membunuh. Namun, tidak tampak sosok seseorang di sekitar. Begitu Cheng Yuan melihat kembali ke arah kabut, tidak terlihat apa pun lagi. Baik kabut ataupun bayangan.
"Apa yang terjadi barusan?" tanya salah satu prajurit.
"Mereka adalah siluman, itulah yang kutahu," jawab kakek.
"Suara yang memanggil 'Shehan', apa Kakek tahu siapa orangnya? Kalau tidak salah, sesaat aku hanya melihat seberkas cahaya terang," ujar Cheng Yuan.
"Tidak ada yang tahu siapa sosok itu, tidak ada yang pernah melihat wujud aslinya."
Cheng Yuan menengadah, melihat kembali ke arah cahaya yang dilihatnya. Sementara dalam istana, Yue Hua terduduk pada tengah-tengah ruangan, aula utama yang sepi. Tampak tegang dari postur tubuhnya yang duduk tegak pada kursi kayu, kedua tangan terkepal erat di atas paha. Namun, matanya tidak bergetar sama sekali, memandang lurus ke depan, memperlihatkan sosok ayahnya, Tn. Yan.
"Kembalilah, persiapkan dirimu dengan sidang akhir besok di hadapan semua menteri juga Huangdi."
"Fuqin, aku khawatir hal yang akan dilakukan kanselir. Bagaimana jika ... jika ...."
"Yan Guniang tidak perlu khawatir, cukup hadiri sidang besok dan katakan yang sejujurnya. Huangdi, percaya denganmu," ujar Kasim Wang.
"Yakin tidak akan ada masalah?" tanya Yue Hua, memandang ayahnya lekat.
"Masalah kebakaran serta Huangtaihou, semua sudah kuselidiki. Bahkan, Huangdi tahu benar mengenai kasus ini. Tidak ada yang mengarah padamu, tidak ada saksi ataupun bukti." Tn. Yan menghampiri, menggenggam kedua tangan putrinya yang terkepal erat.
"Jangan khawatir, tidak akan terjadi apa pun padamu," tambah Tn. Yan menenangkan.
Mata berkaca-kaca, Yue Hua menghela dengan sedikit gemetar. Perlahan bangun, mengangguk mengerti bersamaan dengan senyumnya.
"Kau akan menikah, jangan menangis terlalu banyak dan jangan biarkan orang lain melihatnya, terutama musuhmu," ujar Tn. Yan.
"Aku mengerti."
Setelahnya, Yue Hua pergi meninggalkan aula dengan Tn. Yan yang terus mengawasi. Binar matanya tampak tak seyakin sebelumnya, terlihat sedikit kekhawatiran dan ketidaktenangan. Hal itu dipertegas kembali oleh desahannya.
"Kenapa begitu khawatir jika penyelidikanmu tidak menemukan apa pun yang bisa menjatuhkan kalian," ujar Kasim Wang.
"Justru karena semua terlalu mudah, membuatku khawatir. Kanselir, aku sudah mengenalnya bertahun-tahun. Dirinya bukanlah orang yang mudah dikalahkan, tapi kenapa sekarang semua tampak berjalan sempurna?"
Tn. Yan kembali mendesah, mengalihkan pandangan ke arah luar. Debu berterbangan bersamaan dengan helaian daun, mengikuti angin siang. Panas dan terik dengan langit biru sepenuhnya lengkap dengan pelangi yang mengelilingi matahari.
***
"Cheng Yuan!"
"Yue Hua!"
"Hufff! Huff! Huff ...!"
"Kenapa perasaanku tidak enak?" gumamnya dengan napas berat juga memburu.
Merasa sesak, Cheng Yuan keluar kamar. Tidak terlihat siapa pun di halaman depan selain debu berterbangan. Bahkan, saat dirinya keluar ke jalanan. Tidak ada siapa pun selain kekosongan.
"Yuan Feng!"
Ke mana semua orang desa pergi?
Dirinya melangkah, mengedarkan pandangan ke sekitar. Namun, saat dirinya hendak kembali ke rumah, tampak tidak bisa. Dirinya tidak bisa menemukan rumah yang ditempati tadi seolah menghilang begitu saja. Bahkan, saat dirinya berjalan sejauh mungkin, pada akhirnya kembali ke jalanan yang sama. Hal itu terus terjadi berulang-ulang hingga tubuh terasa lemah, tak bertenaga.
"Kau sedang terjebak dalam segel siluman, ikuti suaraku dan lakukan apa pun perkataanku."
"Siapa kau? Dari mana aku bisa memercayai perkataanmu?"
"Aku adalah cahaya yang kau lihat sebelumnya."
"Cahaya ...? Kaukah yang mengusir para siluman tadi?"
"Jangan bicara lagi dan cepatlah keluar dari dunia itu."
Berakhirlah Cheng Yuan mengikuti setiap arahan, melangkah perlahan. Tidak lagi terlihat dirinya kembali pada jalan yang sama. Melainkan keluar dari desa, masuk ke hutan hingga dirinya berdiri di atas jurang.
"Terjunlah, dirimu akan kembali setelah kau mati di sana. Itulah cara kerja segel siluman ini."
Tidak tahu apa aku harus percaya, tapi satu hal yang kuyakini ... bahwa dunia ini memang aneh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alohomora : The Three Realms (End)
Fantasy(Sequel Alohomora : The Secret) Kematian merenggut, kehidupan abadi berumur ribuan bahkan sampai ratusan ribu menanti. Namun, kehidupan lalu bagaikan percikan api yang siap berkobar. Kehidupan kacau, keseimbangan pun diuji hingga mendatangkan ujian...