Chapter 58

41 11 126
                                    

"Orang yang menyuruhku tidak lain adalah ... Huangtaihou sendiri," lanjutnya.

Kanselir memejamkan mata, sementara menteri lainnya kembali bisik-bisik. Termasuk pula Cheng Yuan yang mengalihkan pandangan pada kanselir.

"Awalnya, Huangtaihou memintaku untuk mencelakai Yan Guniang, tapi ...! Tidak tahu kenapa malah mengenai Huangtaihou. Taizi! Diriku tidak tahu-menahu apa yang terjadi! Mohon selamatkan hidupku!" teriak cenayang yang seketika membungkukkan tubuhnya.

"Taizi! Cenayang ini berbohong! Bermaksud mengacaukan kerajaan, mohon Taizi tidak percaya!" teriak kanselir.

"Taizi, diriku mengatakan sejujurnya! Tidak berani berbohong sedikit pun! Bahkan Kanselir, Kanselir tahu betul akan hal itu!"

"Taizi! Dia hanyalah cenayang, apa kau percaya dengan perkataannya?!"

"Cukup!" teriak Cheng Yuan. "Kanselir, kita masih punya saksi lainnya untuk didengarkan. Setelahnya, kita semua akan tahu kenyataannya seperti apa."

Cheng Yuan mengalihkan pandangan pada dua saudara WanWan. Tampak bocah laki-laki yang berusia sekitar 11 tahun dan gadis kecil 8 tahun, bersujud sambil berpelukan.

"Katakan, tidak perlu takut. Aku tidak akan menghukum kalian."

"Kami benar-benar tidak tahu apa pun, yang aku tahu bahwa WanWan Jiejie bekerja dalam istana sebagai dayang. Sisanya kami benar-benar tidak tahu apa pun, mohon Taizi ampuni kami!" Mohon si bocah berkali-kali.

"Untuk ukuran gaji seorang dayang, apa mungkin bisa membelikan pakaian sutra lengkap dengan ornamen lainnya seperti yang dikenakan dua anak ini?" tanya Cheng Yuan, mengalihkan pandangan pada para menteri.

"Taizi, itu mungkin bagi dayang pribadi jika sudah bekerja lebih dari 2 tahun, tidak mungkin bisa jika hanya dalam hitungan hari," jawab salah satu menteri.

"Adik kecil, katakan ... seringkah saudari kalian memberikan hadiah mewah pada kalian?" tanya Cheng Yuan.

"Belum pernah, WanWan Jiejie baru memberikan kami hadiah mahal beberapa hari sebelum dirinya tertangkap," ujar bocah lagi.

"Jiejie memberiku perhiasan cantik juga," tambah gadis kecil.

"Perhiasan? Apa yang sekarang kau kenakan itu?" tanya Cheng Yuan.

Gadis kecil mengangguk-angguk, menarik lepas gantungan giok hijau berukir burung merak pada bagian lingkar pinggangnya. Mengulurkan tangan, menunjukkan pada semua orang.

"It-itu ... bukankah itu milik Huangtaihou?" tanya salah satu menteri yang hadir, terkejut.

Segera Kasim Chen mendekat, mengambil giok lalu menyerahkan pada Cheng Yuan yang sontak tersenyum.

"Gadis kecil, apa saudarimu memberikan ini langsung padamu?"

"Tidak, WanWan Jiejie memberikanku pita rambut."

"Itu aku yang menemukannya di kamar WanWan Jiejie, tepat di bawah ranjangnya," tambah si bocah.

Cheng Yuan menunjukkan giok pada semua orang, tidak ada yang menyangkal bahwa giok tersebut palsu. Pasalnya, baik dalam istana atau bahkan kalangan rakyat sekalipun, sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa burung merak adalah simbol ibu suri. Hanya dirinya yang boleh menggunakan lambang tersebut, sama halnya dengan lambang naga yang hanya boleh digunakan oleh raja dan putra mahkota saja. Tentu, ini menjadi bukti kuat bahwa Tn. Yan dan keluarganya tidaklah bersalah.

"Kanselir, apa kau mengaku salah sekarang?"

"Taizi!" Kanselir bersujud.

"Kau tahu dan berkomplot, tapi kau malah menuduh dengan memutarbalikkan kenyataan! Menjadikan pejabat handal dan setia mati dengan cara tak terhormat! Merugikan kerajaan dan memandang rendah hukum kerajaan!" teriak Cheng Yuan murka.

"Kanselir, haruskah aku mengatakan hukum apa yang harus kau terima?" tambah Cheng Yuan, menekan ucapannya.

"Taizi, aku tahu kau membenciku bahkan semakin membenciku ketika menyingkirkan wanitamu. Benar, aku memang telah memandang rendah dirimu, itu adalah kesalahan terbesarku ....

"... Baik! Aku akui kekalahanku dan menerima hukuman, tapi ...! Aku minta satu hal darimu, bisakah kau mengabulkannya?"

"Beraninya kau!"

"Taizi!" teriak kanselir dengan tangan gemetar.

Keduanya saling bertukar pandang, diam dengan mata penuh dengan kemarahan. Tampak sedang bicara yang kemudian berakhir menurunkan ketegangan di antara keduanya, lebih baik, setidaknya saat ini tampak begitu.

"Katakan!"

"Klan keluargaku akan musnah. Lu Ring, biarkan dia hidup ... hanya itu yang kuminta."

"Mengingat hubungan masa kecil kami ... baik, akan kulakukan."

"Terima kasih, Taizi!" Hormat kanselir, menitikkan air mata.

Tak lama, pengawal masuk dengan membawa rantai. Memborgol tangan dan kaki kanselir, membawanya keluar lengkap diiringi dengan suara gemerincing. Terdengar pula suara tangisan Lu Ring yang terus memanggil-manggil kanselir, memenuhi area halaman depan aula sebelum akhirnya terganti dengan suara dayang yang memanggil Lu Ring dengan panik. Sudah dipastikan bahwa Lu Ring telah kehilangan kesadaran.

Sementara dalam aula, kini dipenuhi suara-suara menteri yang tak menyangka akan kenyataan yang sesungguhnya. Lain halnya dengan Cheng Yuan yang justru terdiam, menatap ke arah luar aula. Jauh di matanya jelas terlihat suatu kelegaan. Bahkan, Yuan Feng ikut tersenyum setelah menyadari akan hal itu, memandang ke arah yang sama dengan pandangan Cheng Yuan. Sinar mentari cerah, berkilau layaknya emas seolah mewakili hati Cheng Yuan atau bahkan lebih tepatnya mewakili kebahagiaan akan enam alam.

***

Pada suatu tempat yang dipenuhi gumpalan putih di sekitar, tepat di baliknya berdiri bangunan tinggi menjulang ribuan anak tangga, cahaya bersih menyinari dengan cerahnya. Setiap bangunan, tangga serta atap dipenuhi dengan unsur warna putih dan keemasan. Terlihat, orang-orang menaiki anak tangga dengan senyum menghiasi.

"Aula Istana Langit," pukau seseorang.

"Dewi, acara akan segera dimulai. Silahkan," ujar salah satu penjaga pintu, mengarahkan orang yang dipanggilnya dewi masuk ke dalam.

Setiap orang yang masuk akan terpanah dengan indahnya aula yang menjulang tinggi, bagian langit-langit atap berlukiskan naga emas yang terbang di langit putih berawan. Tiap dinding, meja dan alas duduk pada sisi kiri dan kanan berwarna keemasan pula. Lantai marmer putih, berkilau bahkan jelas memantulkan bayangan layaknya cermin. Di sanalah, terdapat singgasana naga, terpampang megah dalam balutan keagungannya.

"Tian Di tiba!!!"

Setiap dewa dan dewi yang hadir bangun dari duduknya, mata setiap dari mereka dipenuhi senyuman memandang ke arah masuknya Long Jun dengan jubah kebesaran, jubah putih keemasan yang membentang, menampilkan ukiran naga meliuk pada kedua sisinya yang berakhir duduk pada singgasana.

"Tian Di selamat! Enam alam akan makmur dan damai dalam tanganmu!" teriak semua dewa-dewi yang hadir secara bersamaan.

"Sebelum itu, mari kita akhiri sesi terakhir dari penobatan!" Long Jun menggemakan suaranya, lantang dan mantap.

Alohomora : The Three Realms (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang