"Huangtaihou, sudah kukatakan kalau wanita ini akan sangat keras kepala. Bagaimana, jika menghukum dengan cara lain saja? Hmmm ... mungkin, menarik kuku-kuku jarinya."
***
Suara tak asing disertai kikikan, keluar dari salah satu ruangan, tepatnya ruangan besar layaknya aula di belakang ibu suri duduk saat ini. Namun, tidak ada rasa penasaran yang terpancar dari Yue Hua untuk mengetahui siapa suara itu.
"Kemarilah, duduk di sampingku," ujar ibu suri, senyum.
"Aku akan memukulnya sendiri. Huangtaihou, bisakah kau mengizinkanku?"
"Untuk apa membuang energimu pada wanita ini? Simpan dan kita nikmati saja pertunjukan ini, bagaimana?"
"Baik! Aku sangat senang melihat pertunjukan," jawabnya, riang dan antusias.
"Pukul dia! Jangan berhenti selama dia tidak mengaku salah!" teriak ibu suri, lantang.
Tongkat kembali dilayangkan, Yue Hua memejamkan mata, kembali mengatup keras rahangnya hingga pukulan didapat lagi dan lagi. WanWan yang melihat hanya bisa menangis, memohon ampun, sementara Yue Hua sama sekali tidak mengeluarkan suara apa pun selain erangan kecil, sama seperti sebelumnya.
Paman Ming yang baru saja tiba, seketika mengubah dirinya dalam bentuk tidak terlihat, transparan. Melangkah dan menghentikan layangan tongkat kayu, menghantam pelayan pria hingga terjungkal menyembur darah. Sontak, kejadian barusan membuat kebingungan, tapi Lu Ring tidak puas dan memerintah pelayan pria satunya lagi untuk lanjut memukul.
Tongkat kembali dilayangkan, Paman Ming berpindah cepat layaknya angin, mengulurkan tangan, meraih tongkat yang hendak menghantam Yue Hua. Hingga ...!
"Hentikan!"
"Cheng Yuan!" panggil Lu Ring.
"Taizi, di mana sopan santunmu?"
"Lalu di mana sopan santun Huangtaihou terhadap Yue Hua?"
"Taizi!"
"Huangtaihou jangan lupa, Yue Hua adalah wanitaku, wanita yang diberikan Huangdi padaku. Atas dasar apa Huangtaihou berani menghakiminya?!"
"Dirinya sudah melakukan kesalahan dengan makan bersama dayang!"
"Sesuai peraturan istana dalam! Huanghou adalah orang yang bertanggung jawab," tekan Cheng Yuan.
"Taizi!" teriak ibu suri, semakin geram.
"Cheng Yuan, berani sekali kau melawan Huangtaihou demi wanita ini." Lu Ring tak terima, menunjuk marah Yue Hua.
"Kau diam! Jangan kau pikir aku tidak tahu bahwa kau dalang semua ini."
Cheng Yuan segera membantu Yue Hua bangun, menggendong layaknya pengantin, Yue Hua yang lemah menahan kesakitan fisiknya."WanWan ... juga para pelayan," gumam Yue Hua.
"Yuan Feng, bantu mereka."
Sebelum melangkah pergi, Cheng Yuan memandang tajam ibu suri dan Lu Ring, pandangan penuh kebencian dan tentunya amarah lengkap dengan kekesalan.
"Taizi, pikirkanlah baik-baik. Sisi mana yang terbaik untukmu, jangan menyesal pada akhirnya," tekan ibu suri.
"Kuharap kediaman Huangtaihou tidak akan melakukan kesalahan lagi. Tahu akibatnya jika terulang," ujar Cheng Yuan, tegas. Namun, nyatanya mengarah pada suatu ancaman.
Lu Ring mencoba menahan amarahnya, menggigit bibirnya dengan cukup keras, sementara ibu suri hanya menatap tajam kepergian Cheng Yuan beserta lainnya. Begitu pula dengan Paman Ming yang memandang tajam, penuh benci keduanya. Tak tahan, Paman Ming memandang teko teh yang seketika melayang, pecah di udara, menggores kecil wajah Lu Ring tepat di bagian pipi kanannya.
Sedikit merasa puas, Paman Ming memutuskan pergi. Menghilang bagai angin hingga muncul kembali di kediaman Yue Hua. Sesaat dirinya menanti, gusar. Mata terus memerhatikan gerbang yang tak kunjung memunculkan siapa-siapa.
Namun, beberapa saat setelahnya, sosok yang dikhawatirkannya pun tiba, mengikuti arah gerak Cheng Yuan yang terburu-buru masuk dalam kamar, melihat tabib yang sedang memeriksa kondisi Yue Hua, terbaring tak sadarkan diri.
"Bagaimana?"
"Yan Guniang baik-baik saja, hanya butuh istirahat dan merawat luka, maka semua akan baik-baik saja," jawab tabib.
"Syukurlah ... syukurlah."
Tabib memberikan sebotol kecil obat seukuran genggaman tangan orang dewasa, memberi tahu cara pemakaiannya, kemudian pergi meninggalkan Cheng Yuan yang saat ini sedang menghapus keringat dan memandang khawatir Yue Hua.
"Taizi, biarkan hamba saja yang mengoleskan obatnya," ujar WanWan.
"Kau yakin baik-baik saja?"
"Hamba baik-baik saja, terima kasih Taizi sudah menanyakan."
"Baiklah, oleskan obat ini pada lukanya." Memberikan botol obat pada WanWan.
Cheng Yuan keluar, begitu pula Paman Ming. Menunggu di luar selama sesaat hingga permaisuri datang, menanyakan keadaan Yue Hua dengan raut serius.
"Dia baik-baik saja, Huanghou tidak perlu khawatir."
"Huangtaihou pasti sangat marah dengan tindakanmu." Kekhawatiran jelas melingkupi sepasang mata permaisuri.
"Aku tidak takut, aku tidak akan membiarkan hal seperti ini terjadi lagi."
Permaisuri menepuk pundak putranya, kemudian masuk ke kamar, melihat kondisi Yue Hua hingga malam datang bersamaan dengan angin yang menggoyangkan api lilin.
"Taizi, kembalilah. Serahkan Yan Guniang padaku," ujar WanWan.
"Kau istirahatlah, aku akan menjaganya malam ini."
Cheng Yuan menghapus keringat, menyuapi air dan terus memeriksa suhu tubuh Yue Hua, membandingkan dengan suhu tubuhnya sendiri. Semua perhatian itu turut membuat Paman Ming yang masih memantau tersenyum dan tenang, memutuskan pergi setelahnya.
"Tidak ... jangan pukul lagi ... jangan!"
"Yue Hua, tidak apa-apa. Semua sudah berlalu." Menggenggam erat sebelah tangan Yue Hua, menenangkannya.
"Cheng Yuan, kaukah itu?" Membuka mata, perlahan-lahan.
"Kau akhirnya sadar, syukurlah." Tersenyum tenang, membantu Yue Hua bangun, menyenderkan punggung yang terluka dengan sangat hati-hati pada sisi ranjang.
"Terima kasih," ujar Yue Hua, sangat lemah.
"Maaf sudah terlambat, harusnya aku datang lebih awal."
"Itu bukan salahmu, tapi aku yang tidak berhati-hati, juga ... maaf, maaf sudah marah padamu sebelumnya."
"Maksudmu, kejadian terakhir kali di kota?"
"Hmmm ...!" Yue Hua, mengangguk kecil.
"Aku bahkan sudah melupakannya," ujar Cheng Yuang, senyum sambil menyematkan rambut Yue Hua yang turun ke daun telinganya, lembut dan dengan penuh tatapan hangat.
"Tetap saja aku harus minta maaf, kurasa aku sangat kekanak-kanakan waktu itu."
"Mungkin kau terlalu menyukaiku," canda Cheng Yuan, terkekeh.
"Kau ...!" Memukul ringan dada Cheng Yuan, seketika pula kepalan kecil dan lemah itu tertahan, tergenggam hangat oleh Cheng Yuan, memandang serius dengan dalam sepasang mata cantik Yue Hua lalu mendekap hangat. Merasakan dan saling mendengar suara degupan, merasakan kenyamanan bersama orang terkasih.
Aku pasti akan melindungimu ... hidup bahagia denganmu, mohon siapa pun di sana, wujudkan permintaanku satu-satunya ini. Biarkan aku hidup, berkeluarga dan tua bersama wanita ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alohomora : The Three Realms (End)
Fantasy(Sequel Alohomora : The Secret) Kematian merenggut, kehidupan abadi berumur ribuan bahkan sampai ratusan ribu menanti. Namun, kehidupan lalu bagaikan percikan api yang siap berkobar. Kehidupan kacau, keseimbangan pun diuji hingga mendatangkan ujian...