"Ini adalah awalnya," gumamnya, pandangan seperti biasanya, tajam.
***
Merasa terawasi, Zhao Yong berbalik. Pandangan menangkap sosok Paman Ming yang berdiri, melihat dirinya dari balik jendela gubuk.
"Mari kita menikmati teh," ujar Zhao Yong.
Dalam sekejap, meja dekat Paman Ming berada memunculkan dua cangkir kecil lengkap dengan teko teh berwarna putih layaknya porselen. Aroma harum bunga pun menguar bersamaan dengan uap yang menghilang, menjadikan hutan bambu yang bergemeresik tenang.
"Teh bagus akan mengeluarkan aroma harum, lembut hingga menenangkan." Paman Ming menyesap tehnya.
"Teh yang baru dipetik, tidak akan mengeluarkan aroma ... Zhao Yong, kau bagai daun teh yang baru dipetik. Tidak ada kekuatan dan tidak ada kuasa akan kehidupan banyak alam. Hentikan selagi belum dimulai. Jangan jadikan dirimu seperti daun teh baru, tidak berguna hingga terbuang ... tersingkirkan oleh ketidakbergunaan itu."
"Paman, teh yang baru dipetik memang tidak beraroma, tapi jika dihancurkan ... dihaluskan maka aromanya akan keluar. Bahkan mungkin lebih kuat dari teh lainnya."
"Maka jangan pernah berpikir untuk mengganggu Alam Roh selama proses penciptaan aroma itu," ujar Paman Ming.
"Sejak dulu Alam Roh dikenal sebagai alam akan pengetahuan, baik pengobatan atau ilmu sihir lainnya. Orang-orang di sana tidak akan tertarik dengan apa yang terjadi di luar." Zhao Yong menyesap tehnya, memandang Paman Ming yang terpaku memandangnya.
"Kuharap kau menepati perkataanmu."
"Aku akan jika tidak ada yang mengusikku."
Gemeresik dedaunan kembali terdengar, memecahkan keheningan akan pembicaraan yang serius. Sementara kebersamaan Yue Hua dan Cheng Yuan berhasil mengundang banyak pasang mata, membuat suasana tidak mengenakkan di antara keduanya.
"Bukankah itu pria yang bersama putri kanselir?"
"Siapa wanita itu? Berani sekali mereka bersama."
"Tidak tahu, tampaknya bukan wanita biasa."
"Jika putri kanselir tahu maka akan terjadi keributan. Lebih baik kita menyingkir saja."
"Benar, lebih baik kita pergi dan menjauh saja."
"Ayo pergi!"
Cheng Yuan meraih tangan Yue Hua, menelusuri jalanan lebih cepat tanpa memedulikan pandangan orang lain. Lebih tepatnya untuk menghindari pandangan orang hingga tiba di suatu tempat, kedai teh pinggiran.
"Aku yakin tidak akan ada yang memandang atau berbicara aneh mengenai kita di sini."
"Kau merasa terganggu dengan orang-orang?" tanya Yue Hua, mendudukkan diri.
"Lantas tidakkah kau?" Mengambil duduk di hadapan Yue Hua, menghadap jalanan.
"Aku tahu hubunganmu dengan Lu Ring tidak biasa jadi ...."
"Apa maksudmu? Aku sama sekali tidak ada hubungan dengannya," potong Cheng Yuan.
"Maksudku, kau berteman sejak kecil dengannya jadi aku tidak berpikir hal-hal aneh. Selain itu, Lu Ring menyukaimu dan Kanselir akan memikirkan cara untuk menjadikan putrinya berpangkat di istana."
"Itu tidak akan ... Huangdi, Huanghou dan aku tidak akan pernah membiarkan hal itu. Bahkan selir pun tidak akan," ujar Cheng Yuan.
"Itu akan menjadi jalan sulit dan panjang untuk ditempuh."
"Karena itu, pertahankan posisimu dan jangan biarkan dirimu kalah. Tetap di sisiku untuk waktu yang lama."
Merasa aneh dengan perasaannya, sebuah perasaan yang belum pernah dirinya alami. Sukses membuat Yue Hua diam memandang pria di hadapannya. Melihat jauh ke dalam mata pria itu, seolah mencari jawaban untuk memastikan dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa pria ini memang serius dengan perkataannya barusan.
Namun, bukan jawaban itu yang didapat melainkan perasaan tulus yang dirasakan oleh Cheng Yuan terhadap dirinya. Sontak, Yue Hua menarik pandangan dari Cheng Yuan dan keduanya bersikap malu-malu, menyesap teh lalu sibuk melihat keramaian sekitar. Tampak sesekali akan bertukar pandang atau lebih tepatnya mencuri pandang.
"Apa yang kau senyumkan?" tanya Cheng Yuan.
"Jika kita saling tidak tahu identitas masing-masing, akan seperti apa terkejutnya kita di hari pernikahan? Hal itu tiba-tiba terpikirkan olehku," jawab Yue Hua, masih tersenyum.
"Tentu aku akan sangat senang ... karena wanita yang kucari datang dengan sendirinya padaku," ujar Cheng Yuan, serius.
Yue Hua berhasil dibuat terdiam lagi. Perasaan aneh dalam hatinya kembali muncul, kali ini membuat degupan kencang layaknya derapan kuda yang berlari di padang rerumputan. Saat itu, Cheng Yuan bangun, mencondongkan tubuhnya ke sisi Yue Hua yang terbelalak. Menatap lekat sambil mengangkat satu lengannya, mendekati wajah. Lebih tepatnya kepala, mengambil daun kecil yang tersemat pada hiasan rambutnya.
"Lihat, bahkan daun saja ingin dekat denganmu." Cheng Yuan tersenyum, menarik dirinya kembali ke posisi awal lalu menyesap tehnya tanpa tahu Yue Hua mendesah gugup.
"Gong Zi, kita akhiri saja pertemuan hari ini. Aku harus kembali dan melanjutkan pembelajaranku," ujar Yue Hua menahan kegugupannya.
"Gong Zi? Bukankah kita sepakat untuk memanggil nama?"
"Ak-aku, lupa." Segera, Yue Hua bangun dan melangkah pergi, membuat Cheng Yuan tertawa kecil dengan tingkah Yue Hua yang dianggapnya lucu.
"Aku akan mengantarmu." Cheng Yuan bangun, menyusul.
Pandangan sontak menjadi serius, Cheng Yuan melangkah dan meraih tangan Yue Hua, menarik dekat ke sisinya. Lebih tepatnya ke belakang dirinya berada.
"Tidakkah kalian malu bersikap manis seperti itu di tempat umum?!"
"Kami tidak melakukan apa pun yang tidak pantas. Selain itu, Yue Hua adalah calon istriku."
"Cheng Yuan, sesuka itukah kau dengannya ...? Lalu bagaimana denganku? Perasaanku?"
"Sudah kukatakan berkali-kali kalau aku tidak menyukaimu. Sampai kapan kau baru akan mengerti?"
"Tidak ... dulu kau sangat peduli dan sayang padaku. Ini semua karena dia! Pasti dia dan ayahnya yang membuatmu menjadi seperti ini sekarang padaku!" teriak Lu Ring.
"CUKUP!"
"Aku tidak akan membiarkan wanita ini bersama denganmu! Tidak akan!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Alohomora : The Three Realms (End)
Fantasía(Sequel Alohomora : The Secret) Kematian merenggut, kehidupan abadi berumur ribuan bahkan sampai ratusan ribu menanti. Namun, kehidupan lalu bagaikan percikan api yang siap berkobar. Kehidupan kacau, keseimbangan pun diuji hingga mendatangkan ujian...