57. Filosofi Bunga Matahari

1.1K 151 122
                                    

Yuk! Pencet tombol vote sebelum membaca.

Dan tinggalkan komentar, ya!

Terima kasih dan Selamat Membaca.

***

Pulang sekolah saat hari jumat menjadi kebahagiaan tersendiri bagi para siswa. Apalagi kalau tidak ada jadwal ekstra sama sekali.

Di kelas XI MIPA 5 sendiri baru saja diadakan jumat bersih. Lantai-lantai baru saja dipel menggunakan pembersih lantai. Bayangkan, ketika rasa wangi yang menguar terhembus oleh kibasan pendingin ruangan yang sedang di mode air-flow.

Rasanya, membuat Richard ingin berlama-lama saja, tidak ingin meninggalkan kelas ini.

Lain dengan Richard, Ola malah dibuat bingung sendiri melihat tingkah Nuca yang sedari pagi tidak berhenti menatap layar ponselnya.

"Masih belum dibales juga?" tanya Ola pada Nuca.

Nuca menggeleng lemah. Pasrah melihat dua puluh pesan dan delapan panggilan teleponnya belum dijawab juga oleh Lyodra.

"Galaunya mulai aktif, ya, Bun," sindir Richard, cengengesan.

"Shuuut. Bisa diam tidak?" tanya Ola sambil menahan tawanya. Ia kemudian memasang wajah sok prihatinnya ke arah Nuca.

Ya, hari ini gadis yang sering mengaku bahwa dirinya adalah seorang peri, tidak bisa berangkat ke sekolah karena sedang sakit. Pagi tadi, Nuca memang seperti biasa menjemput Lyodra. Namun, belum bertemu dengannya, Bunga sudah lebih dulu menitipkan surat izin.

Terakhir bertemu, saat kemarin Lyodra menolak ajakannya dengan kondisi sedikit kacau. Nuca jadi khawatir jika dia dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.

"Ya elah, Nuc. Baru sehari aja lo nggak denger suaranya udah kek gini? Gue yang lima menit aja, nggak bisa tahan dengerin ocehannya yang cerewetnya minta ampun," ejek Richard.

"Udah, lah, nikah aja kalian berdua," celetuk Richard yang kini berbaring di atas lantai.

Nuca tetap geming. Ia bingung harus melakukan apalagi.

"Gue udah bilang apa dari tadi, Nuc?!?!?! Tanya Kak Tiara atau tanya sama Tante Bunga, Nuc!!" usul Richard, geram.

"Canggung, lah. Lagian juga udah dikasih tau kalau dia emang lagi sakit."

"Yaudah kalau udah tau sakit, yaudah. Nggak usah diganggu." Richard mengubah posisinya menjadi duduk. "Percuma lo uring-uringan kek gini. Nanti juga anaknya bales sendiri," ucapnya mendadak jadi penasihat.

"Ya khawatir aja kalau dia kenapa-napa. Masalahnya...," potong Nuca. Ia tersadar jika dirinya juga tidak bisa terang-terangan menjelaskan apa yang membuat dirinya resah.

"Jalan terakhir... lo pergi ke rumahnya, bawa seserahan, terus lo nikahin, deh, si Lyo! Gedek banget gue sama lo. Dari dulu Lyo.... terussss Lyo... terus! Udah kayak permen karet ketemu sendal aja lo! Nempel.... terus nggak pernah pisah!" rewel Richard, tak tahan sekaligus mulai bosan mendengar lingkup permasalahan Nuca.

"Lagian juga udah biasa, kan, dia kayak gitu. Mungkin lo nya aja yang terlalu berlebihan, mungkin juga dia lagi banyak butuh istirahat," ucap Richard lagi, menenangkan. "Udah, sih, ngapa. Nggak usah dipikirin! Belum tentu juga dia lagi mikirin lo!"

Nuca hanya melirik singkat ke arah Richard. Bola matanya yang mengkilap tajam seolah meminta agar bibirnya berhenti berbicara.

Richard yang menyadari itu pun tersenyum kecut. "Jangan kek Ziva aja lo yang apa-apa langsung mutung," sindirnya pahit.

Peri dan Sayap - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang