Ini kisah tentang Lyodra Margalova Kayreen, gadis berkulit putih pucat yang sukanya banyak tanya. Ini juga kisah tentang Giannuca Diradja Rilasso, laki-laki yang mengecap dirinya sebagai sayap pelindung untuk perinya, Lyodra.
*
Sudah siap baca cerit...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Bertemu dengan Nuca adalah rasa syukur luar biasa."
"Bertemu dengan Lyodra adalah pelajaran hidup luar biasa."
***
Jakarta, 17 Agustus 2007
PRITTTTTT
Suara siulan yang cukup keras dari ujung balai membuat aktivitas di tengah lapangan terpaksa dihentikan. Bapak berumur tiga puluh tahunan yang diketahui bernama Edi menarik paksa seorang bocah perempuan yang kini tengah mengikuti lomba balap karung-yang sedang berlangsung di tengah lapangan komplek. Semua orang yang berada di sekitar mau tak mau langsung menoleh ke arah sumber suara dan menjadikannya pusat perhatian. Edi terus membawanya menjauh dari kerumunan lalu berjalan pelan menghampiri seseorang yang berada di bawah pohon beringin.
"Maaf, Pak. Anak saya itu sering mimisan kalau kecapekan. Biar anak itu saja yang menang," kata Edi sambil menunjuk bocah laki-laki yang ada di depannya.
"LYODRA NGGAK MAU PULANG, LYO MAU TERUS LOMBA, PA. BIAR DAPET PIALA!" rengek bocah yang bernama Lyodra.
Bapak berkumis tipis yang menjadi Kepala Panitia acara ini hanya tersenyum canggung. "Iya, Pak Edi. Tidak apa-apa, kok," katanya.
Edi menggendong Lyodra sampai ke depan rumah. Ada rasa kesal saat putri bungsunya ini masih terus meronta-ronta ingin kembali ke perlombaan. Jelas saja Edi manampik. Bukan karena Edi tidak pengertian pada anaknya yang butuh hiburan sejenak dari aktivitas, tetapi ini demi kesehatannya. Kalau dibiarkan saja, ia hanya takut putrinya itu malah jadi anak yang selalu menggampangkan semua hal, seperti Bunga, istrinya.
"Kalau Papa bilang enggak, ya, enggak. Tadi, kan, Papa sudah bilang kalau Lyo ke sana cuma boleh lihat Kak Tiara yang mau lomba nyanyi. Kalau Lyo mimisan lagi gimana? Lyo mau disuntik lagi?" ancam Edi, alisnya hampir bertautan. Edi itu memang tipe orang yang tegas dan keras kepala. Lebih tegas lagi jika yang membuat masalah adalah putri pertamanya, Tiara. Sikapnya memang terkadang berat sebelah, karena menaruh semua perhatiannya untuk Lyodra seorang. Mungkin, karena keadaan Lyodra lah yang membuat Edi jadi seperti ini.
Bocah berkulit putih pucat itu cepat-cepat menggelengkan kepalanya. "Enggak mau, Pa. Lyo nggak mau disuntik...," elaknya pelan.
"Makanya kalau dibilangin Papa itu yang nurut! Lyo, kan, bisa main boneka, sempoa atau baca buku. Itu bahkan lebih bermanfaat ketimbang panas-panasan lomba balap karung!"
Lyodra mengangguk lemah lalu menoleh ke arah kakaknya yang sedang menertawainya tanpa suara saat dirinya dimarahi oleh Edi.
"Papa, Kak Tiara nakal," adu Lyodra dengan bibir yang semakin maju. "Lyo nggak suka," ucapnya kembali terisak.
Bocah bernama Tiara itu membelalakkan matanya. Edi sontak menoleh ke arah Tiara kemudian mendecak pelan. "Tiara ... jangan bikin adikmu nangis lagi!" tegasnya.