Seokmin suka sekali tersenyum, entah suasana hatinya sedang buruk atau memang baik. Bahkan aku jarang melihatnya sedih. Mungkin itu pula yang menjadikan dirinya disukai oleh banyak orang. Kadang aku jadi khawatir karena takut ia kenapa-kenapa. Tapi kalau sudah mendengar apa yang ia pikirkan, aku jadi tidak khawatir lagi, malah kesal karena apa yang dipikirkannya terkadang tidak masuk akal.
"Makannya pelan-pelan saja." Kata Seokmin tiba-tiba meraih tisu dan melap sisi bibirku yang kotor karena Jajangmyeon. Ia masih tersenyum lebar di sana, tampak menahan tawa melihatku makan.
"Aku makan pelan-pelan." Keluhku merebut tisu dari tangannya dan membersihkan sisi bibirku sendiri. Siapa, sih yang tidak berantakan saat makan Jajangmyeon? Sausnya yang kental memenuhi mangkok dan mie akan selalu tertempel di sisi bibir siapa pun yang memakannya.
"Kau juga makannya pelan-pelan." Sahutku menahan senyum sembari memberikan satu lembar tisu kepada Seokmin. Dia juga tidak ada bedanya denganku.
"Kau tidak mau membersihkannya untukku?" Seokmin terkekeh, memajukan wajahnya, menunjuk kedua sisi bibirnya yang masih kotor.
Ku jitak jidatnya lembut. "Kalau kau punya tangan sendiri, kenapa harus menyuruh orang lain?"
"Biar so sweet."
Misalkan kami tidak berada di tempat umum, aku mungkin akan mencak-mencak kepadanya. Seokmin suka lupa kalau aku tidak lagi ingin disangkutpautkan sebagai kekasihnya di kampus. Jadi aku hanya bisa diam menatapnya tajam.
"Maaf... bagaimana Mingyu?"
"Not bad."
"Dia sudah menghubungimu?"
Aku mengangguk. Ini obrolan yang sangat tidak ku suka. Seokmin belum tahu kalau aku sebenarnya tidak menyimpan hati kepada siapa pun. Bahkan Mingyu, orang yang menjadi korban telunjukku saat itu. Aku tidak tahu bagaimana reaksinya kalau aku memberitahu kenyataan yang sebenarnya terjadi.
"Dia bilang akan mengajakmu nonton konser, kan?" Seokmin bertanya sembari menyelesaikan Jajangmyeonnya. Sedangkan nafsu makanku sudah hilang entah ke mana.
"Iya."
"Kapan?"
"Jumat."
"Jam berapa? Di mana?"
Seokmin tahu aku malas memperbincangkan hal ini, tapi ia tetap bertanya, tetap tersenyum. Aku yakin karena tatapannya berbeda seperti biasa. Bukan tatapan yang menyiratkan kepolosannya. Kali ini kedua matanya menyorotku penuh tanya dan aku merasa terintimidasi.
"Aku tidak tahu. Belum diperbincangkan." Jawabku kemudian.
"Do your best!" Seokmin tiba-tiba mengepalkan kedua tangannya di udara, melafalkan idiom Bahasa Inggris dengan pronun yang lumayan. "Kini kau sudah dapat kesempatan, pergunakan dengan baik."
Pergunakan dengan baik apanya? Aku memutar kedua bola mata, mendorong mangkuk Mieku yang belum habis ke arahnya. "Boleh habiskan?"
"Tentu saja!" Dan dengan lahap Seokmin menghabiskan Jajangmyeon-ku. Seakan lupa dengan apa yang kami perbincangkan.
Lupa akan maksud tatapan intimidasi yang sempat ia berikan padaku.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.