12

129 24 3
                                        

Seokmin dapat fans. Mahasiswi baru yang diajarinya beberapa hari yang lalu di organisasi vokal jurusan. Harusnya aku senang, tapi sejak Seokmin pulang aku merasa tidak tenang. Semacam bete, tapi aku tidak paham mengapa. Apakah sebentar lagi aku akan datang bulan? Biasanya aku terkena mood swing kalau sudah waktunya. Namun rasanya terlalu cepat dari jadwal yang ku hitung.

Bolak-balik aku berganti posisi tidur. Entah apa yang ku khawatirkan, tapi aku selalu membayangkan Bagaimana Seokmin akan bersikap di depan maba itu. Membayangkan seperti apa wajah si maba yang menyukai Seokmin secara terang-terangan--karena ia langsung memberikan surat itu kepada Seokmin, katanya.

Frustasi, aku terduduk di atas kasur. Menatap selimutku dengan kosong. Ada sekitar 5 menit aku seperti itu, pikiranku rasanya runyam.

Perlahan aku meraih ponsel di samping bantal, melihat-lihat media sosial sampai aku mendapati postingan Minghao yang diunggahnya beberapa menit lalu. Foto dirinya tengah berlatih di ruangan berkaca banyak. Ah... aku, kan, ingin menghubungi Minghao.

Sebelum menelpon, aku menanyakan waktunya dulu--takut aku mengganggunya latihan. Ternyata tidak, bahkan Minghao duluan yang menelponku.

"Kenapa?" Tanyanya tanpa berbasa-basi. Aku jadi sewot sampai bibirku maju beberapa centi.

"Kau, ya... tidak bilang kalau ditunjuk jadi performer di akhir tahun nanti." Kataku dengan nada yang tinggi, seakan kesal karena ia tidak bercerita apa-apa kepadaku soal kabar itu. Padahal, aku kan ingin mengucapkan selamat kepadanya.

"Untuk apa? Nanti kau malah membandingkan dirimu lagi denganku."

Skakmat. Aku heran kenapa bisa memiliki sahabat seperti Minghao. Mulutnya setajam silet dan aku selalu tersakiti dengan kata-katanya. Anehnya aku masih menjadi temannya, bahkan sekarang tengah menelponnya, malam-malam. Tapi kata-katanya juga membuatku sadar, ternyata aku terlalu banyak mengeluh di depannya sampai ia enggan menceritakan hal bahagia kepadaku.

"Maaf." Ucapku.

"Hmm... kenapa belum tidur?"

"Nggak tahu. Aku daritadi coba tidur, tapi nggak bisa." Jawabku lirih. Ku dengar di seberang sana Minghao menghela napas panjang.

"Mau jalan-jalan sampai pagi?"

"Tidak!" Seruku cepat. "Aku baru pergi konser bareng Mingyu. Kakiku tidak sanggup berjalan."

"Jangan diartikan secara harfiah. Maksudku, keliling kota, naik mobil atau kau mau ke tempat biasa?"

Aku tetap menggelengkan kepala, walau tawaran akhirnya sangat menggiurkan. Malam-malam ke 'Tempat Biasa' pasti sangat menyenangkan, apalagi hari ini langitnya cerah. Aku dan Minghao pasti bisa melihat banyak bintang di sana. Sayangnya aku tidak mau merepotkan Minghao. Ia pasti lelah setelah berlatih seharian.

"Kau tidak istirahat?"

"Ini lagi di jalan pulang. Cepat putuskan! Mau keluar atau tidak sekarang!?"

"Tidakkk." sahutku mantap. Lagi-lagi Minghao menghela napas. "Serius?" Tanyanya memastikan.

"Serius. Fokus di jalan, oke? Teleponnya ku matikan saj--"

"Jangan." Minghao menahanku. "Biar aku ada teman di jalan." Katanya membuatku urung menekan tombol merah untuk mematikan telepon.

"Okeyy... omong-omong, kau latihan dari pagi? Kau masih hidup, kan?"

"Memangnya siapa yang teleponan denganmu sekarang?" Suara Minghao terdengar kesal, aku jadi tertawa mendengarnya. Cukup menyenangkan punya teman yang selalu serius, apalagi saat menggoda mereka. Ada kepuasan setiap mendengar rutukan mereka yang kesal padamu.

Singing Stars [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang