Mini market dekat rumahku adalah salah satu tempat part time wajibku di akhir pekan. Lokasinya dekat jadi aku tidak mengeluarkan uang sepeser pun untuk membayar uang transportasi, di lain hal, si pemilik mini market adalah sahabat Ayahku. Aku pun bekerja di pagi hari hingga sore karena saat malam aku lebih suka bersemedi di kamar, melakukan riset dan menulis kembali naskah yang kemarin sudah ditolak Mrs. Bae.
"Kau sudah punya terlalu banyak uang." Sindirku pada Seokmin yang tiba-tiba datang di penghujung waktu kerjaku. Ia tengah duduk di salah satu kursi makan yang berderet dekat kaca dalam mini market. Tidak jauh dariku yang masih anteng duduk di kasir menunggu pelanggan.
"Tidak... aku dari kampus jadi biaya transportasinya tidak mahal." Kata Seokmin sembari mengunyah Ramyeon yang baru ia beli.
"Dari sini ke kosanmu tetap jauh, Seokmin."
"Iya, sih."
Jangan heran. Aku sudah terbiasa dengan sifatnya itu. Ia terlalu sering melakukan sesuatu secara refleks, tanpa memikirkan efek kegiatan yang ia lakukan.
"Jadi, kau mau aku menemanimu latihan di akademi?"
Seokmin mengangguk. "Kau bilang kalau naskahmu ditolak lagi, kan? Mungkin kalau kau melihatku latihan, ngobrol dengan pelatih dan beberapa aktor, kau bisa mendapatkan ide baru."
Ide yang cemerlang. Kedua mataku pasti berbinar menatap Seokmin yang kembali melahap Ramyeon dengan lahap. Ku tatap jam tangan, mencocokkan waktu dan segala macamnya.
"Jam 5, kan?"
"Iya. Naik kereta bawah tanah biar cepat sampai, bagaimana?"
"Cool. Temani aku ke rumah dulu setelah ini."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
~~~
Bukan hanya dosen dan senior yang menyukai Seokmin. Orang-orang di rumahku pun menyukainya. Mulai dari kedua orangtuaku, nenekku yang tersisa satu dari sisi Ibu hingga Kakakku yang bekerja sebagai IT Analysis--yang jarang keluar rumah dan bersosialisasi. Seokmin seakan tahu caranya bergaul dengan siapa saja hingga bisa dekat dengan kalangan apa pun. Sangking disayangnya oleh keluargaku, saat aku hanya berganti baju dan tas, Seokmin disuguhi beberapa potongan buah oleh Ibuku di meja makan.
Padahal aku hanya berganti baju kurang dari 30 menit.
"Ayo!" Sahutku setelah mengenakan kaos kaki di ruang tengah, melirik Seokmin yang duduk manis di depan meja makan.
"Tunggu sebentar." Kata Ibu sembari memotong buah.
Aku mendesah. "Ibu, Seokmin harus latihan di akademi!"
"Tidak apa-apa, masih ada banyak waktu." Kata Seokmin sembari melihat jam tangannya. Dih.
Ibuku tersenyum puas, beberapa potong buah ia letakkan di atas piring yang ia beri kepada Seokmin. Karena lapar, aku pun mendekat. Saat ingin mencomot satu potong buah, Ibuku tiba-tiba menepuk tanganku pelan.
"Kau ini! Itu buat Seokmin! Kalau mau, potong sendiri!"
Kedua mataku melotot. Ini yang anaknya siapa? Aku atau Seokmin? Sebelum aku misuh-misuh, Seokmin--dengan senyum lebarnya--tertawa. Ia menarik salah satu tanganku, menyerahkan satu potongan buah yang tidak berhasil ku comot. "Dia belum makan, Ibu."
"Oh, ya? Padahal dia sering sekali dapat jatah makanan di mini market."
"Makanan kedaluwarsa." Koreksiku sembari mengunyah buah dengan kesal. Lagipula makanan-makanan itu kadang tidak layak makan. Bagaimana bisa seorang Ibu tidak mengkhawatirkan diriku yang notabene anaknya sendiri. Malah khawatir dengan Seokmin yang jelas-jelas napasnya masih bau mie instan.
"Dekat akademi nanti ada restoran Jajangmyeon enak. Mau ke sana dulu?" Tanya Seokmin tiba-tiba.
Aku menggeleng, melihat jam tangan. "Ayo, takut ketinggalan kereta, nih!"
"Eung... dikit lagi." Dengan cepat Seokmin mengunyah buah yang dipotong Ibuku. Aku pun membantunya, sekalian membayar rasa lapar yang terasa di perut.
Begitu selesai aku segera pamit kepada Ibu dan Nenek yang ada di ruang tengah. Ayahku mungkin tengah bercocok tanam di kebun rahasianya dan Kakakku? Jangan ditanya. Pekerjaannya hanya di dalam kamar. Keluar dari rumah aku dan Seokmin refleks berpegangan tangan, kami berlari kecil menuju halte yang akan mengantarkan kami ke stasiun bawah tanah terdekat. Menuju akademi.
~~~
"Oh! MT Couple!"
Gila. Bukan di kampus. Aku berada di akademi tempat Seokmin belajar akting dan masih ada orang yang memanggilku dengan sebutan demikian? Dunia ini benar-benar sangat kecil.
Aku mendongak, menatap seorang pria yang memiliki mata cukup sipit menghampiriku sembari berkacak pinggang. Rasanya mengejutkan, tapi aku berusaha menahan rasa itu dengan tersenyum semanis mungkin kepada orang yang tiba-tiba mengambil posisi duduk di sampingku tersebut.
"Kak Soonyoung, apa kabar?"
Ya. Kwon Soonyoung. Salah satu senior yang ternyata satu akademi dengan Seokmin. Tidak perlu ditanya, aku yakin ia fokus mengulik koreografi pertunjukan atau mungkin sekarang tengah magang di akademi sebagai asisten koregrafer.
"Baik. Kau menemani pacarmu?"
Kedua mataku meliriknya tajam, tapi ia tidak menyadari itu karena asyik memperhatikan beberapa aktor--termasuk Seokmin--tengah berlatih di hadapan kami. Kutukan MT Couple sepertinya tidak bisa hilang dan keputusanku jujur kepada Seokmin memang tidak salah.
"Kau magang di sini, Kak?" Tanyaku mengubah topik.
Soonyoung mengangguk. Ia tersenyum lebar kepadaku. "Kau sudah menentukan mau magang di mana? Semester depan sisa menghitung bulan lagi, kan?"
"Paling di Teater. Aku tidak mungkin bisa magang di tempat-tempat keren, prestasiku jauh dari Seokmin dan Minghao."
"Ah... kau dekat dengan orang-orang pintar, ya?"
Hahaha... jelas sekali. Seleksi alam yang menyenangkan, tapi juga menyedihkan karena aku menjadi bahan perbandingan sahabatku oleh orang lain, termasuk dosen.
"Oh, iya. Waktu itu yang bikin naskah SingingStars itu kau, ya?"
Aku mengangguk sembari menatap Soonyoung dengan kedua mata melebar. Tidak ku sangka ada orang yang mengingat naskah pertamaku di kampus, naskah yang tidak berhasil menyabet juara pertama dalam lomba naskah per jurusan. Syukurnya ia bertahan di posisi sembilan. Makanya aku tidak menyangka ada yang tahu naskah itu.
"Daripada fokus ke Changgeuk, kenapa kau tidak meneruskan naskah pertunjukan yang seperti itu?" Tanyanya sembari berdiri. Sebentar lagi ia sepertinya harus ikut dalam latihan.
"Hah?"
"Teruskan naskah Singing Stars. Aku punya perasaan yang bagus dengannya." Kata Soonyoung lalu pamit untuk ikut gabung dalam kumpulan para aktor yang tengah berlatih.
Di posisiku yang berada di sudut ruang latihan, para aktor itu tiba-tiba terbayang di imajinasiku sebagai pemain Singing Stars. Pertunjukan yang memperlihatkan seorang anak perempuan yang terbaring di atas kasur, menatap bintang di tengah gelapnya malam yang bernyanyi ditemani awan dan bulan. Menyanyikan harapan segala anak ketika melihat bintang jatuh.