Kalimat yang keluar dari mulut Minghao membuat tenggorokanku tercekat. Padahal aku sudah siap untuk turun begitu mobilnya berhenti di depan rumah. Aku sebenarnya lelah sekali, kakiku sudah nyeri karena menggunakan high heels terlalu lama. Tapi gara-gara kalimat itu aku jadi segar.
"Buat apa?" Tanyaku berusaha santai meski aku mewanti-wanti kalau Minghao ingin bertemu Kak Seungcheol karena sketch book miliknya tertinggal.
"Kemarin aku melupakan sesuatu di kamarnya."
Sial.
"Em... apa, tuh? Bagaimana kalau dititip di aku saja? Lusa akan ku bawakan ke kampus." Ku beri ia tawaran menarik. Kalau ia bertemu Kak Seungcheol bisa tamat riwayatku. Pasalnya Kak Seungcheol pasti akan menggodanya, lagipula Sketch book itu sudah ada di tanganku.
"Aku harus mengambilnya sendiri." Kata Minghao bersikeras. Tidak seperti biasa, kali ini ia membuang tatapannya ke arah lain, seakan tidak berani melihat mataku yang berusaha membujuknya untuk tidak bertemu Kak Seungcheol.
"D... Kak Seungcheol sepertinya lagi keluar. Ia hari ini sedang ngumpul dengan teman-temannya di Hongdae." Jelasku penuh dengan kebohongan. Semoga Minghao percaya karena ia sering menyadari kalau aku berbohong kepadanya.
Ku dengar Minghao menghela napas. "Kau serius?"
Aku menganggukkan kepala. "Ya! Apa kau mau menunggunya pulang? Kau tahu sendiri, kan? Dia itu kalau sudah bertemu temannya bisa pulang sampai pagi. Dia suka sekali minum di luar kalau sudah weekend."
"Ah... dia sering keluar untuk minum? Ku pikir dia anak rumahan."
Hampir saja aku mengacaukan kebohonganku dengan menepuk jidat. Kak Seungcheol memang anak rumahan. Aku bisa menghitung jari kapan saja ia keluar rumah dalam setahun belakangan. Walau begitu, ada satu hal yang merupakan fakta dari omonganku tersebut. Fakta yang menyatakan Kakakku suka minum bersama temannya. Tapi karena dia anak rumahan, minumnya selalu di belakang rumah yang memang cocok dijadikan tempat nongkrong dan piknik.
"Memang!" Aku berseru. "Tapi beberapa minggu ini sahabatnya dari LA datang berkunjung. Jadi dia jabanin keluar demi sahabatnya itu. Siapa, ya? Josh... ah! Joshua Hong! Ya! Ya... Kak Joshua!"
"Kak Joshua yang pernah kau taksir dari SMP?" Tanya Minghao sembari membulatkan mata.
"Ah..."
Aku yang awalnya tersenyum riang--berusaha meyakinkan Minghao dengan kebohonganku, jadi mengerucutkan bibir. Kenapa Minghao masih ingat dengan cerita bertepuk sebelah tangan itu? Aku jadi malu.
"Y... ya."
"Pantas saja. Aku ingat kau selalu bercerita tentang Kak Seungcheol yang selalu menginap di rumah sahabatnya itu sampai lupa waktu." Jelas Minghao yang syukurnya bisa ku bohongi kali ini. Terima kasih Tuhan! Ternyata tidak salah aku bercerita tentang aibku sendiri kepadanya.
"M-makanya." Ucapku. "Karena Kak Joshua, akhir-akhir ini ia jadi suka keluar rumah. Untung saja kerjaannya tidak terbengkalai. Ya, meski aku tidak paham apa yang sebenarnya ia kerjakan di kamarnya."
"Okelah. Nanti saja aku menemuinya kalau begitu."
Senyumku merekah lebar, dengan sigap aku membuka sabuk pengaman dan buru-buru keluar dari mobilnya agar Minghao bisa cepat pergi dari hadapanku. "Terima kasih!" Kataku padanya sembari menunduk agar bisa melihatnya di balik kaca mobil yang setengah terbuka.
"Aku yang seharusnya bilang terima kasih, Sooah."
"Kalau begitu sama-sama." Ucapku kemudian.
Minghao menganggukkan kepala. Aku sudah tidak sabar ingin melihatnya pergi dari hadapanku--agar aku bisa berbincang dengan Kak Seungcheol soal sketch book yang ditinggalkannya. Tapi sayangnya, Minghao masing anteng, mobilnya belum kunjung bergerak dari sana.
"Aku masuk dulu, ya." Kataku berniat untuk berbalik.
"Sooah!" Panggil Minghao yang otomatis menahan langkahku.
"Ya?"
"Aku serius. Hari ini dress-mu bagus sekali. Kau jadi lebih cantik." Katanya dengan kikuk sampai ia harus menggaruk tengkuknya.
Rasanya air liurku susah sekali untuk ditelan. Aku pun jadi ikutan kikuk. "Hm... terima kasih. Aku balik dulu, ya."
"Y-ya... istirahat, ya. Salam untuk orang di rumah." Kata Minghao sebelum ia benar-benar pergi dari hadapanku.
Begitu mobilnya sudah hilang dari pandangan, aku menyentuh dadaku yang bergetar hebat. Sepertinya aku memang harus menjaga jarak dengan sahabatku itu. Waktu yang sangat tepat karena ia memang sudah sibuk dengan urusan festival. Entah mengapa aku jadi yakin kalau ia memiliki rasa kepadaku. Padahal keyakinan itu sudah kuusahakan hilang dari pemikiran.
Bahkan sampai sekarang pun aku masih mencoba untuk memikirkan ribuan alasan logis kalau Minghao tidak benar-benar menyukaiku. Sayangnya, alasan-alasan itu terpatahkan begitu aku mengingat kembali apa saja yang sudah ia lakukan kepadaku.
Aku jadi sangsi, apakah selama ini aku terlalu buta?
~~~
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kak Seungcheol menatapku heran dari ujung kaki hingga ujung kepala. Dress yang ku kenakan belum sempat terganti karena pikiranku tertuju pada Sketch book yang baru saja ku letakkan di samping mouse Kak Seungcheol.
"K-kenapa?" Tanya Kak Seungcheol kikuk.
Aku menghela napas panjang di hadapannya. Sembari melipat kedua tangan di depan dada aku duduk di sisi kasur Kak Seungcheol dan dengan cekatan ia menggerakkan kursi agar bisa berhadapan denganku. "Minghao?"
Tepat sasaran. Aku mengangguk dan menghela napas lagi.
"Kau kalah taruhan?"
Menyebalkan. Bukannya khawatir melihat adiknya begini, Kak Seungcheol malah menyeringai. Di tangannya sudah tergenggam sketch book milik Minghao yang ia buka secara sembarangan, tampak puas karena bisa memenangkan taruhan.
"Aku tidak tahu siapa yang menang." Kataku lirih. "Tadi dia ingin menemuimu untuk mengambil sketch book itu dan saat aku menawarkannya untuk memberikannya besok di kampus, dia malah menolakku habis-habisan."
"Yang artinya dia tidak mau rahasianya terbongkar."
"Oke. Aku saja yang kembalikan." Kata Kak Seungcheol dengan penuh semangat. Aku paham mengapa ia semangat, pasti ia berniat menanyakan langsung perasaan Minghao kepadaku--untuk memastikan dirinya menang taruhan atau tidak.
"Oh, iya, tadi aku bohong kalau kau sedang keluar karena Kak Joshua datang ke Korea." Kataku berniat kembali ke kamar.
"Hah?"
"Pokoknya kalau dia tanya soal Kak Joshua, bilang saja dia memang lagi ada di Korea, oke?"
Sebelum Kak Seungcheol mencecarku dengan berbagai tanya, aku segera melangkah keluar dari kamarnya. Malam ini aku harus beristirahat, besok aku harus bekerja kembali pagi-pagi untuk mengumpulkan uang. Uang yang sepertinya bukan menjadi tiket teater, melainkan headset keluaran teranyar untuk seorang manusia bernama Choi Seungcheol.