54

92 21 1
                                        

Aku berjongkok di depan boneka salju buatan Seokmin. Kedua tanganku bergerak memuluskan perut gembul si boneka salju, menahan dingin yang membuat bibirku gemeteran sejak keluar dari rumah yang super hangat. Seokmin tampak riang di hadapanku, ia tengah membuat kepala boneka salju itu, mengambil ranting yang terdapat di halaman rumah dan menancapkannya di tengah gumpalan salju, menjadikannya sebagai hidung super panjang dan kering.

 Seokmin tampak riang di hadapanku, ia tengah membuat kepala boneka salju itu, mengambil ranting yang terdapat di halaman rumah dan menancapkannya di tengah gumpalan salju, menjadikannya sebagai hidung super panjang dan kering

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kau ke sini naik apa!? Kenapa tidak di kosan saja!" Aku protes, mengerucutkan bibir sambil bernapas pelan. Dingin ini sangat menyiksa sampai oksigen di sekitarku menipis.

"Aku ingin main salju!"

"Kenapa tidak main di dekat kosanmu, sih?"

"Mana ada!" Seokmin mengeluh. "Nanti aku dikira orang gila!"

"Terus sekarang kau tidak gila!?"

Seokmin terkekeh. Ia menggelengkan kepala lalu menaruh gumpalan salju ke atas badan boneka. Aku tidak tahu ia mendapatkan kancing darimana untuk menghias wajah boneka salju agar memiliki dua mata. Entah mencabut kancing jaketnya sendiri atau memang sudah menyiapkan dari kosan. Aku tidak heran karena Seokmin memang anak ajaib.

"Kalau bermain di halaman rumah sendiri tidak akan gila, kok." Katanya membuatku mendecakkan lidah.

"Rumahku, bukan rumahmu!"

"Tapi, kan, kau ikut membuat boneka salju!"

Aku hanya bisa menghela napas panjang. Kalau bukan karena Kak Seungcheol dan dirinya, mana mungkin aku keluar dari rumah hanya untuk membuat boneka salju? Umurku juga sudah terlalu tua untuk bermain-main seperti itu. Dan yang lebih penting adalah aku harus kembali mengingat judul naskah yang sempat terbesit di benakku beberapa menit yang lalu.

"Kalau begini kau tidak bisa pulang, Seokmin. Salju makin tebal." Kataku mengingat Seokmin tinggal jauh dari lingkungan rumahku.

"Aku nginep, kok."

Ajaib, kan? Yang punya rumah siapa, yang memutuskan siapa. Ia bahkan belum minta izin kepadaku sang pemilik rumah, meski aku yakin kedua orangtuaku tidak akan mempermasalahkan kehadirannya. Malah, Ibu akan senang karena bisa mengajak Seokmin masak bersama. Ibuku juga suka khawatir di musim dingin begini, Seokmin yang tinggal jauh dari keluarganya hanya bisa berada di kosan, makan-makanan yang tersisa di lemari karena akses keluar jadi sedikit tersendat.

"Kenapa kau tidak pulang ke rumah?" Tanyaku heran.

"Malas. Lagipula aku masih harus latihan di akademi."

"Oh iya. Casting februari, jadi?"

Seokmin mengangguk. "Kau temani, kan?"

Selama beberapa saat aku diam memandangnya. Entah aku harus bertanya soal Eunha atau tidak, soalnya aku takut terlalu dekat dengan Seokmin di kala ia sudah punya Eunha. Apalagi untuk casting, ia pasti membutuhkan orang yang lebih dekat dengannya saat ini. Bukan aku.

"Temani, kan?" Seokmin menahan tawa setelah melempariku dengan bola salju.

"Yaa!!"

Seokmin berlari di tengah tebalnya salju di halaman depan rumahku. Aku yang murka sudah menggenggam salju, membentuknya menjadi bola dan siap melemparinya.

"Lee Seokmin!" Pekikku mengejarnya.

Halaman rumahku tidak luas, jadi aku bisa dengan mudah mengejar Seokmin yang kini berada di hadapanku. Lalu ku lemparkan bola salju itu dengan kencang, yang mengenai bahu Seokmin hingga bola salju itu hancur di sana. Takut ia membalas, aku pun segera berlari ingin masuk ke dalam rumah. Tapi langkahku terhenti karena Seokmin sudah memelukku dari belakang, ia menarikku menjauh dari teras sambil tertawa kencang.

"Yaa!! Lee Seokmin! Lepaskan!" Pekikku dengan tawa yang sama kencangnya dengannya. Perutku jadi super geli karena tingkah kami yang seperti anak kecil.

"Haha!"

Ku rasa badanku mati rasa saat Seokmin menghempasku ke atas salju. Kini aku bisa melihat Seokmin tertawa di sampingku, ia terduduk menunjukku yang menatapnya kesal.

Masa bodoh dengan tetangga kalau mereka melihat dua mahasiswa bermain salju seperti anak kecil di halaman rumah, masa bodoh dengan Kak Seungcheol yang mungkin akan mengata-ngataiku karena mendengar tawa kami menggelegar sampai ke dalam rumah. Demi pembalasan dendam, aku menarik lengan Seokmin seolah meminta bantuannya untuk berdiri. Begitu badanku sudah sedikit imbang, ku dorong dada Seokmin, menjerembabkannya di atas salju.

Aku ingin tertawa melihat wajah Seokmin yang terkejut, tapi tanganku di tariknya hingga kami sama-sama terbaring di atas salju.

"Gila, kau!" Aku segera duduk, membersihkan salju di sekujur jaket agar tidak mencair dan merembes meski jaketku waterproof.

Seokmin tersenyum lebar. Ia masih berbaring di atas salju, menatap ke atas langit seakan melihat sebuah pemandangan yang indah. Padahal langit warnanya kelabu.

"Asyik, ya." Sahutnya riang.

"Cepat bangun, Lee Seokmin! Nanti kau demam lama-lama berbaring di situ!"

Tapi Seokmin tidak peduli. Ia masih diam di sana, menatap langit lalu menatapku yang heran dengan tingkahnya. Aku menggelengkan kepala, menghela napas panjang lalu menarik lengannya kuat-kuat. Seokmin terkekeh saat aku berhasil membuatnya terduduk. Kami berhadapan sekarang, sama-sama saling menatap.

"Aku heran mengapa bisa berteman denganmu." Kataku sambil mendecakkan lidah.

Senyum Seokmin lebar sekali. "Karena aku keren!"

"Aneh!" Koreksiku.

"Aneh dan keren."

"Terserahlah." Ucapku menyerah.

"Sooah," Seokmin memanggil saat aku berniat berdiri dan masuk ke dalam rumah. Aku gemetaran karena hawa dingin yang mulai menusuk tulang, udara di sekitarku pun rasanya mulai menipis. Aku ingin makan Ramyeon jadinya.

"Ayo! Aku ingin makan Ramyeon!" Keluhku sambil menarik lengannya.

Tapi Seokmin menggulum senyum. Ia balas menarik lenganku dengan cukup kuat hingga tubuhku ikut tertarik ke arahnya. Bahkan kepalaku hampir tertimpuk wajahnya kalau aku tidak segera menumpu tangan di sisi Seokmin. Aku bahkan sudah menutup mata, siap kalau kepalaku menghantam hidungnya yang bangir.

"Sooah," panggil Seokmin, kini lebih terdengar seperti bisikan karena bibirnya berada di samping telingaku.

Refleks aku berbalik, mendapati wajah Seokmin di hadapanku. Dekat sekali sampai napasnya mengenai wajahku. Lantas kedua mataku melebar, aku ingin mundur tapi Seokmin tiba-tiba menahan pinggangku dan yang ku tahu setelahnya adalah bibirku terasa dingin seperti es. Ada benda yang menempel di sana, benda empuk nan dingin.

Aku membelalakkan mata setelah sadar apa yang sebenarnya terjadi. Kedua tanganku bergegas mendorong dada Seokmin, tapi tangannya yang melingkar pada pinggangku mengencang. Bibirnya menempel makin kencang di bibirku.

"S--"

Seokmin seakan baru tersadar. Ia melepas pinggangku, menatapku dengan kedua mata sayu.

"M-maaf." Ucapnya sambil memegang bibir.

Lidahku kelu sekali. Tapi maaf itu tidak bisa ku terima. Tanpa bicara sepatah kata aku segera berdiri dan masuk ke dalam rumah tanpa membersihkan salju yang menempel. Meninggalkan Seokmin yang masih mematung di halaman rumah bersama pikirannya yang tidak bisa ku telaah sama sekali.

Mengapa ia menciumku!?

Mengapa ia meminta maaf dengan tatapan sayu?

Apakah aku adalah Eunha di pikirannya!?

Singing Stars [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang