56

93 20 1
                                        

Rasanya malas sekali untuk ikut berangkat bersama Minghao ke apartemen Seokmin. Diam-diam aku kesal, mengapa pernyataan suka Seokmin berdekatan dengan waktu ulang tahunnya. Sudah beberapa minggu aku enggan ke mana-mana, hanya di rumah, menyelesaikan naskah dan menonton hujan salju yang mulai menipis. Lepas Seokmin pulang, aku sama sekali tidak membalas pesan-pesannya, pun mendengar penjelasannya. Dan sekarang aku dan Minghao harus ke kosan Seokmin untuk merayakan ulang tahun anak itu.

Aku tidak bisa menolak karena tidak punya alasan yang tepat. Lagipula aku harus bersikap seperti biasa karena Minghao tidak boleh tahu apa yang terjadi.

"Naskahku sisa sedikit lagi." Kataku sambil menonton jalanan yang mulai ramai dengan kendaraan. Salju masih turun, tapi tidak sebanyak minggu lalu.

"Oh... bagus." Balas Minghao di balik kemudi. "Kalau sudah selesai kita bisa ke akademi untuk memperlihatkannya kepada Mia."

"Ya, aku butuh perbaikan. Siapa tahu Mia bisa mengoreksinya untukku."

Minghao mengangguk. Saat mobilnya berbelok ke kawasan gedung tempat kosan Seokmin berada, jantungku mulai berdegup tidak keruan. Aku bingung harus bagaimana di depan Seokmin. Aku takut kalau anak ajaib itu berbicara to the point di depan Minghao soal perasaannya. Aku takut...

"Ayo, turun!"

Napasku tersenggal dan aku buru-buru turun dari mobil. Minghao melirikku heran, tapi ia tidak banyak bicara dan melangkah masuk ke bangunan apartemen setelah meminta izin kepada satpam. Aku mengekorinya di belakang dengan perasaan yang kalut.

"Hai," sapa Minghao begitu pintu kamar Seokmin terbuka. Pria itu tersenyum kikuk saat dirinya dipeluk Seokmin erat seakan mereka belum bertemu setelah sekian lama.

"Hai." Giliranku menyapa saat mereka selesai berpelukan. Seokmin ingin memelukku tapi segera aku bergeser dan melipir masuk ke kosannya sebelum dipersilahkan.

Di dalam kosannya sudah ada Eunha ternyata. Gadis itu duduk di dekat meja makan, tersenyum sambil menaruh ayam goreng ke atas piring. Ia tengah menyiapkan makanan untuk kami dalam rangka merayakan ulang tahun Seokmin. Rasa tidak nyaman yang sudah muncul di dada makin membesar. Aku ingin murka, emosi mengingat Seokmin masih berpacaran dengan gadis itu.

"Kak Sooah! Kak Sooah bawa lilinya?"

Aku tersenyun tipis, menghampiri Eunha dan menyerahkan lilin angka 2 dan 5 kepadanya. Tadi pagi gadis itu mengirimkanku pesan, menitip lilin ulang tahun.

"Kau sudah di sini dari kapan?" Tanyaku sambil duduk di sampingnya.

Eunha tersenyum malu. "Dari semalam."

Oh wow. Aku menahan diri untuk tidak terkejut dengan menggulum senyum. Kalau Eunha berada di kosan Seokmin dari semalam, berarti mereka tidur bersama, dong? Tidak mungkin membiarkan Eunha tidur di sofa atau sebaliknya, kan?

"Mana hadiahku?" Tanya Seokmin tiba-tiba kepadaku.

Kedua alisku naik, sedikit terkejut dengan tingkahnya yang normal seperti biasa. Tidak menampakkan kalau ada sesuatu di antara aku dan dirinya.

"Sooah malas beli hadiah katanya." Minghao terkekeh di samping Seokmin dan aku nyengir.

"Yaa!! Sahabatmu ulang tahun!"

"Aku tidak punya uang." Kataku beralasan.

"Kau, kan sibuk bekerja selama liburan. Tidak ada niatan membelikanku hadiah?"

Aku menggelengkan kepala. "Aku mau nabung untuk hal penting lainnya."

"Aku penting."

Minghao menggelengkan kepala. Ia menepuk pundak Seokmin, menahan tawa.  "Bagi Sooah, yang penting itu nonton pertunjukan musikal, bukan kamu, Lee Seokmin."

Dibalik perasaanku yang tidak nyaman, aku tergelak. Minghao tahu benar apa tujuanku menabung setelah uangku tersita oleh headset sialan milik Kak Seungcheol. Aku mungkin jahat kepada Seokmin, tapi sebenarnya aku berniat membelikannya hadiah kalau kejadian di rumahku beberapa waktu tidak terjadi. Bahkan datang ke acara ulang tahunnya saja aku enggan.

"Pokoknya aku akan menagih hadiahku sampai kapan pun!" Seru Seokmin membuatku mendecakkan lidah. Ku alihkan perhatian ke Eunha yang tidak bisa melepas pandangannya dari Minghao.

Tuh, kan. Perasaan ganjil ini benar.

Lalu ku sentuh lengan Eunha sampai gadis itu terkesiap. Ia seperti pencuri yang tertangkap basah, tapi aku pura-pura tidak menyadari hal itu dan menanyakannya perihal hadiah untuk Seokmin.

"Kau kasih apa ke pacarmu yang cerewet ini?"

"Ada dehh!" Seokmin berseru.

Minghao segera membekap mulut manusia yang hari ini bertambah satu tahun itu dengan erat. Ia melebarkan mata, menatap Eunha penasaran. "Apa hadiahmu, Eunha? Sepertinya manusia satu ini sudah tahu."

Eunha terkekeh. Ia menutup mulut seakan sudah berkompromi dengan pacarnya. Aku, sih, tidak begitu penasaran dengan hadiah Eunha. Hanya ingin membuang fokus yang awalnya mengarah padaku.

"Ayo mulai acaranya!" Minghao melepas bekapan dan mendorong Seokmin duduk di bangku ujung dekat kue ulang tahun.

Eunha duduk di sampingnya, berhadapan dengan Minghao dan aku berada di ujung yang lain. Berhubung kosannya kecil, meja makan pun ukurannya tidak seberapa. Cukup untuk kami berempat.

Minghao tampak senang, aku jarang melihatnya seperti itu sejak ia menyatakan perasaannya padaku. Kalau Seokmin jangan ditanya, mungkin ulang tahun adalah waktu yang paling ditunggunya setiap tahun, ia seperti orang yang terlalu banyak mengkonsumsi gula. Hyperactive.

Sebelum meniup lilin, Seokmin mengatupkan tangan, merapalkan doa dengan bisikan yang tidak bisa didengar siapa pun. Aku bersidekap di seberangnya, Minghao ikut mengatupkan tangan sedangkan Eunha sibuk merekam Seokmin lewat kamera ponsel. Setelah meniup lilin, pria itu bersorak.

"Happy Birthday, Lee Seokmin!!"

Aku menggelengkan kepala. Ia mengucapkan ulang tahun kepada dirinya sendiri.

"Selamat ulang tahun, Lee Seokmin!" Seruku sambil mencolek pipinya menggunakan cream kue. Minghao ikut-ikutan, ia bahkan menggambari wajah Seokmin menggunakan cream seakan wajah sahabat kami itu sebuah canvas.

"Selamat ulang tahun, Lee Seokmin!"

Terakhir adalah Eunha. Aku meraih ponsel yang ada di tangannya, menyuruh gadis itu mendekat ke arah Seokmin. Ku rekam mereka berdua di sana dan secara mengejutkan gadis itu mencium pipi Seokmin dengan lembut.

"Selamat ulang tahun, Kak." Ucapnya malu-malu.

Aku melirik ke arah Minghao yang membuang muka ke arah lain. Ia malu, begitu pun diriku yang menutup mulut. Tidak percaya dengan apa yang terjadi di hadapanku. Dan rasa sesak di dada kembali datang. Aku melipat bibir, tersenyum tipis ke arah layar ponsel yang kini memperlihatkan wajah Seokmin yang lurus menatapku.

Harapku itu hanya ilusi. Tapi tidak. Bahkan saat Eunha memeluknya, Seokmin tidak merubah pandangannya kepadaku. Raut wajahnya kaku sekali sampai aku berharap Minghao tidak menyadari hal itu.

"Nah, sekarang potong kuenya!" Minghao berseru sehingga Eunha melepas pelukannya.

Aku hanya bisa mematung dengan ponsel di tangan yang terus merekam Seokmin. Seakan di dunia kini hanya ada aku dan Seokmin. Kami berpandangan selama beberapa saat, tidak mengindahkan Eunha yang sibuk memotong kue dan Minghao yang terus bersorak.

"Kuenya untuk Eunha, kan, Seokmin!!"

"Kuenya untuk Eunha, kan, Seokmin!!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Singing Stars [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang