31

96 23 0
                                    

"Cepat keluar!"

Kak Seungcheol menatapku dengan tajam, ia membuka pintu menggunakan kaki sangking malasnya berdiri dari kursi tempat ia bekerja seharian. Sudah dua jam aku di sana, baringan setelah bercerita tentang Minghao yang akhirnya mengungkapkan rasa sukanya kepadaku kepada Kak Seungcheol. Bukannya merasa kasihan, Kakakku satu-satunya itu malah tertawa terbahak-bahak saat aku bercerita tentang diriku yang berlari dari Studio Seni Rupa setelah Minghao berkata seperti itu padaku. Ia bahkan menghentakkan meja komputernya beberapa kali. Merasa geli di sekitar perutnya.

"Kak..." Aku meringis. "Besok bagaimana?"

"Ya, tidak bagaimana-bagaimana." Kata Kak Seungcheol. Ia menunjuk keluar pintu, memintaku untuk kembali ke kamarku.

Napasku terhela panjang sembari bangun dari kasurnya. Langkahku berat sekali, seperti ada batu besar yang harus ku angkat di pundak. Memang ada. Batu berupa beban pikiran tentang apa yang harus ku lakukan saat bertemu Minghao besok di kelas. Tentang apa yang harus ku jawab soal perasaannya kepadaku.

"Dia tidak memintamu jadi pacarnya, kan? Kalau dia cuma bilang 'menyukaimu', ya, terima-terima saja. Toh, kalian tidak akan bisa berteman tanpa rasa suka itu." Kak Seungcheol berkata dari balik komputer. Ia sama sekali tidak melihat ke arahku yang berantakan.

"Tapi, kan--"

"Jangan lupa tutup pintunya."

Lagi-lagi aku menghela napas. Ku tutup pintu kamar Kak Seungcheol dengan kencang sampai ia memekik dari dalam kamar. Masa bodoh. Kakak sepertinya tidak berguna kalau tidak bisa menenangkan adiknya yang tengah porak poranda.

~~~

Aku baru sadar Minghao menghubungiku berkali-kali. Bukan hanya telepon, ia juga mengisi kolom chat dengan berbagai permintaan agar aku bisa mendengar penjelasannya. Tapi apa yang mau dijelaskan dari pernyataan itu? Bukannya sudah sangat jelas kalau ia menyukaiku? Meski kemarin aku bertanya-tanya mengapa ia bisa menyukaiku, sekarang rasanya aku tidak sanggup untuk mengetahuinya. Kebenaran memang sangat sulit diterima daripada kebohongan.

Selain Minghao, ternyata Mingyu juga mengirimiku pesan. Ia memberitahu soal keadaan Minghao yang sedikit stress karena sikapku yang langsung kabur dari Studio itu. Juga menjelaskan tentang mengapa Minghao menyuruhnya untuk datang ke gedung jurusanku--yang ternyata ingin memberitahu soal perasaanya kepadaku agar Mingyu berhenti mengajakku berkencan. Sebuah alasan yang makin membuatku pusing.

Sepertinya kolom chatku dicek Minghao berkali-kali, karena sekarang ia menelponku. Tentu saja aku gelagapan. Jantungku berdegup tidak keruan, seakan disuruh maju tiba-tiba oleh dosen untuk menjelaskan materi yang tidak ku pahami. Aku pun tidak bisa menolaknya, ia pasti sudah mencak-mencak, bisa dilihat dari pesan yang ia kirimkan daritadi.

"H-hai." Sapaku kikuk.

"Sooah, aku di luar." Kata Minghao dari balik telepon.

Kedua mataku terbelalak. Dengan cepat aku mengambil jaket dan berlari menuju jendela, mengintip sosok Minghao yang tengah berdiri di depan pagar, berkacak pinggang dengan ponsel di telinga.

 Dengan cepat aku mengambil jaket dan berlari menuju jendela, mengintip sosok Minghao yang tengah berdiri di depan pagar, berkacak pinggang dengan ponsel di telinga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Singing Stars [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang