[60] Sandiwara

677 75 2
                                    

Jemari Naura mengelus pipi mungil adiknya yang baru berusia 6 bulan di kereta dorong. Awalnya dia ingin menggendong Azka, tapi Azka tertidur pulas dan Naura tentu tak mau mengganggu.

Dia tidak sendirian, Gian mengikuti. Jujur Naura risih, bagaimana jika Raihan tau pasti suaminya itu akan cemburu. Sepertinya ada yang Gian katakan lagi.

"Lo masih temenan sama Lovia?"

"Iya."

Kembali Naura dibuat heran, kali ini Gian jelas banyak bicara padanya. Kenapa mendadak bahas Lovia? Apa yang diungkapkan pemuda itu setelah tadi membahas Raihan.

"Lo percaya yang namanya cinta pertama itu susah di lupain?" tanya Gian. Naura tertegun perlu beberapa detik menjawab ucapan Gian.

"Emang kenapa? Sampai sekarang dan kapanpun aku gak akan lupain cinta pertama." Naura melihat jelas raut wajah Gian yang terkejut. "Cinta pertama aku itu Papa, aku sayang Papa!" lanjutnya.

Gian tertawa, tawa kaku menurut Naura di pendengarannya. Cinta pertamanya sang papa, Naura selalu kagum kerja keras papanya. Luka yang papanya berikan Naura tutupi melihat raut wajah sang papa kelelahan saat pulang kerja. Papa selalu memberikan yang Naura mau, tanpa diminta.

"Gue langsung bicara ke inti. Ini tentang suami lo Raihan dan Lovia. Mereka berdua udah temenan dari SMP, kan?" ucap Gian serius.

Gadis berdress panjang merah maroon tersebut mengangguk. Apa ada yang salah? batinnya.

"Lovia dulu pernah ungkapin cintanya ke Raihan ya walaupun Raihan tolak, gue rasa yang gue bilang ini, lo gak tau sama sekali. Baik hatinya gue bilang ke elo," sambung Gian santai.

Naura menegang sepertinya Gian tetap lah sama dengan Gemina, tidak. Naura tidak boleh percaya begitu saja.

"Terus?" sahutnya.

Gian tersenyum lebar. "Menurut gue selama ini Lovia cuma sandiwara di depan lo. Bisa aja kan Lovia punya dendam sama lo, Kak Ara."

"Enggak ada alasan Lovia dendam sama aku."

"Lo polos atau emang pura-pura nipu diri sendiri ... kalian nikah di satu sisi justru ada yang sakit. Teman lo sendiri Lovia."

Naura hendak menyahut, suaranya tertelan menyadari siapa yang berdiri di belakang Gian, air mukanya memerah. Gadis jangkung itu berlari kemudian tanpa Naura duga, satu tendangan mendarat di punggung Gian.

"DASAR BRENGSEK! LO GAK USAH CEMARIN PIKIRAN NAURA, SAMA MULUT LIMBAH LO ITU, SIALAN!" Lovia berteriak keras, deru napasnya turun naik. Syukur lah Raihan menyuruhnya menyusul Naura.

Naura segera menarik Lovia jangan sampai Gian balas memukul Lovia.

"IYA, EMANG BENAR. RAIHAN CINTA PERTAMA GUE DAN BERUNTUNG GUE DI TOLAK, DULU RAIHAN ITU PENCICILAN, BUAYA, BERANDAL. AKHIRNYA GUE SADAR. HATI GUE MILIH ORANG YANG SALAH."

Lovia berteriak kesetanan, tidak peduli rumah orang lain dipijaknya sekarang. Awal Raihan mengatakan ingin serius dengan Naura, Lovia menentang bagaimana Raihan lebih cocok masuk buku hitam dan Lovia tidak mau Naura kembali masuk jurang gelap setelah dengan Abian.

Fokus Naura terpecah mendengar suara tangis Azka, di sana pengasuh Azka keluar dari ruangan dan langsung membawanya. Wanita bernama Risa itu seakan menolak ikut campur.

"Lov--"

"Bentar, Ra." Lovia menyela menatap rendah Gian yang terbatuk di lantai. "Dan lo bilang tadi sandiwara, sialan? Kalau pun gue sandiwara udah sejak lama gue jauhin Ara dan Raihan!" desisnya geram.

Emosi Lovia benar-benar memuncak, tangannya luar biasa ingin menjambak rambut Gian, mengatur napas Lovia meraih punggung tangan Naura.

"Lo harus mandi pakai tanah dan siram air lebih tujuh kali gue pun juga, biar hati kita bersih." Sebelum pergi Lovia berkata tajam.



******

Lovia mengacak rambut, segala sumpah serapah untuk pemuda itu. Dengan sengaja Gian berniat menghancurkan pertemanannya pada Naura.

"Asal lo tau gue emang pernah punya perasaan sama Rai, itu bagi gue cuma cinta monyet!" jelas Lovia gemas. Lovia semakin kesal melihat Naura yang bergeming kemungkinan Naura percaya ucapan Gian.

"Dan perasaan gue udah lama hilang gitu aja, sekarang gue suka orang lain. Ya, kayaknya orang itu lo kenal banget!"

Naura menoleh. "Siapa?" tanyanya penasaran. Naura mengamati lekat netra Lovia mencari kebohongan di arti tatapan itu, namun Naura dapat kejujuran dan binaran matanya berapi-api.

Lovia berdehem kemudian menarik kursi, bersikap biasa walaupun gagal pipi tirus gadis tersebut seakan terbakar. Untuk pertama kalinya Lovia dibuat gugup hanya karena lawan jenis sekedar menyebut nama.

"Da--danika."

"Hah?"

Naura bangkit dari posisi berbaring di ranjang, ini kedua telinganya masih berfungsi jelas. Danika? Biasanya partner adu mulut Lovia hingga pukulannya.

"Gue jadi makin rendah diri di pasangin sama toh cowok. Haha, mana mungkin Danika mau sama cewek tomboy kaya gue, seleranya feminin dan seksi."

"Tap--"

"Gue mundur alon-alon aja deh, gue bisa cari pacar atau calon suami yang setara sama gue. Ini juga alasan gue sibuk sampai ikut mapala biar perasaan gue sama Danika pudar." Lovia memotong, tersenyum kecut.

Kita tidak tau kapan jatuh cinta, datang tanpa disuruh. Kadang semuanya tidak berakhir bahagia dan Lovia merasa kan hal itu.

"Di depan gue sering adu mulut. Eh, di belakangnya gue berharap lebih. Pengen bilang sekeras-kerasnya itu akal-akalan gue supaya deket sama dia!"

Naura mendengarkan, selama keduanya berteman Lovia jarang membahas cowok, tanpa Lovia tau di balik selimut Naura tengah merekam semua curhatan Lovia tentang Danika. Anggap saja balasan karena Lovia mengatai suaminya.

"Kayaknya kita hati-hati dengan Gian. Adik tiri lo licik!" Pembicaraan Lovia berakhir mengukit kejadian tadi. Yang Naura pikirkan di mana Gian sampai mengetahui Lovia pernah mengutarakan perasannya terhadap Raihan.



****

Tinggal 10 part udah mau tamat, kayaknya gak beda jauh lah sama angka 70. Kita liat dulu ya🙂 makasih yang sudah mengikuti cerita ini

Ramein vote dan komennya. Vote aja nggak papa itu udah buat aku semangat😍 bantuin votenya 1k ya.

Raihan dan Naura [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang