Naura tidak tau nama tempat yang dia pijak sekarang, punggungnya bersandar di pohon berjarak tiga meter ada danau, angin berembus teratur, suasananya nyaman seakan jauh dari hiruk kota. Tak satupun orang di sini, hijau oleh pepohonan di sebrang. Anak rumput basah ikut terasa di kulit, langit biru cerah hadir mempercantik.
Badannya cukup sakit sekedar bergerak, dia merasa benar-benar telah lama duduk di sini. Sendirian, tanpa ada yang menemani. Sampai Naura mendengar derap langkah kaki di belakang, Naura berdiri dengan susah payah, belum sempat berbalik mendadak kedua tangan sudah melingkar di perutnya.
"Hai...."
Tubuh Naura menegang.
Suara serak itu sungguh tak asing, matanya mendadak panas setiap detik hidung Naura mulai basah, hati dan dadanya nyeri. Ada kerinduan yang tidak mampu terucap, ada kemarahan yang tidak mampu tersalurkan.
"R--Raihan...."
"Ya?"
Naura tersenyum pahit, bulir hangat menetes makin lama berganti deras, isakannya terdengar pilu.
"Kenapa nangis?" Pemuda itu meletakkan dagunya ke bahu sang istri, menghirup dalam aroma khas rambut Naura.
"Kamu ... kamu ... beneran nggak merasa ... bersalah gitu?" Naura menghapus air matanya walau sia-sia, dia melepas paksa pelukan Raihan. Berbalik menghadap, Naura tertegun sebentar. Sadar bahwa pakaian keduanya sama. "Ini di surga?"
Raihan terbahak sembari menangkup pipi Naura, tersenyum mengejek setelahnya. "Kamu berharap banget berakhir di surga? Kalau di neraka gimana?"
Biasanya Naura akan kesal saat di mana dia serius, tapi untuk kali ini kenapa itu sulit. Naura ingin Raihan selalu di sampingnya, sedekat ini tanpa ada sekat.
Perlahan dua tangan Naura meraih jemari Raihan, tidak dingin seperti terakhir bertemu. Yang dirinya rasakan kehangatan, Naura mendongak. Seperti biasa Raihan tersenyum dan lesung pipinya terbit. Kepala Naura menunduk, kaki Raihan tidak beralas menyentuh langsung rumput basah, begitu pula Naura.
"Aku mau ikut kamu, please. Boleh kan? Aku gak bahagia ... aku sakit, sinar aku buat siapa? Kamu pergi." Bibir Naura dibuat gemetar, Raihan harus menerima uluran tangannya. Naura tau setelah ini Raihan akan pergi, Raihan perlu pulang. Pulang ke rumah berkumpul bersama Sagas dan Sagara, jika Raihan menolak. Naura memaksa Raihan untuk mengajaknya.
"Kamu sedih aku ikut sedih. Aku rasain perasaan kamu. Sagas dan Sagara butuh kamu, katanya kamu udah janji nggak mau ninggalin mereka."
Naura terdiam.
Ucapan keluar dari mulut Raihan membuatnya seolah tertampar, bagaimana bisa Naura melupakan anak kembar mereka berdua.
"Aku percaya kamu, Yang. Anak kita memerlukan ibunya, figur mama yang baik."
"Kamu beneran nggak bisa kembali?"
Air mata Naura luruh lebih deras, kedua tangannya melingkar di punggung Raihan, Naura menenggelamkan kepalanya di dada Raihan, menangis kencang. Luar biasa menyakitkan, Raihan tidak selemah itu hanya mendapatkan dua tusukan walau merusak ginjalnya, Kak Neon sudah mendonorkan darahnya, Raihan masih bisa hidup dengan satu ginjal atau Kak Neon bisa mencarikan pendonor.
"Aku nggak bahagia...."
"Rai, sekali aja kamu turutin aku. Pulang ya? Kembali... kembali Sagas sama Sagara lebih butuh kamu."
Mata Raihan terpejam, membalas pelukan Naura erat. Bulir hangat ikut menetes di ujung matanya sembari mengelus rambut halus sang istri.
"Maafin, aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Raihan dan Naura [END]
Teen FictionNaura Rafia Hayden memiliki arti bunga dan cahaya. Dulu ia berjanji akan memberikan cahaya kepada orang lain layaknya kunang-kunang dan ingin seperti bunga yang bermekaran. Semuanya berubah sejak kejadian itu! Tawanya berganti menjadi rasa sakit Nam...