[23] Melemah

813 90 5
                                    

Naura mencengram kuat pinggiran meja, rasanya sudah lama dia tidak merasakan sakit ini, yang luar biasa sakitnya. Naura memang harus menahan nyeri ini apalagi ketika mendengar derap langkah kaki kemudian pintu kamarnya di buka lebar.

"Kenapa plastik minyak ada di lantai? Kamu pengen bunuh adik kamu, hah?! Riani hampir saja jatuh gara-gara kamu, Ara." Darel memasuki kamar dengan wajah memerah.

"Ara gak ngerti, Pa. Ara belum ... keluar kamar pagi ini," sahutnya bergetar. Naura menggigit bibirnya kuat, nyeri di dadanya semakin menjadi. Kedua tangan Naura berusaha tak memegang dadanya.

Naura ingin sekali berlari keluar kamar, ketakutan menyelimutinya. Namun, Darel tidak membiarkan hal itu.

"Kamu harus terima hukuman saya, jika saya terlambat Riani bisa keguguran." Darel menatap dingin sembari melepaskan ikat pinggang yang melingkar di celana atasnya.

Gadis pucat itu jatuh terduduk di lantai, telapak tangannya menyatu.

"Seharusnya kamu memang tidak pernah hadir di keluarga Hayden, kamu lahir adalah suatu kesalahan. Mama kamu jalang yang selalu menggoda saya!!!"

Plak

Pukulan itu mendarat tepat dipunggung Naura.

"Menikahi Liana karena saya terpaksa, dia bahkan hamil di luar ikatan pernikahan. Saya tidak pernah mengharapkan kamu lahir."

Naura mengulum bibir, air matanya mengalir deras. Hal paling tidak disukainya saat di mana sang mama selalu dihina, pandangan sebelah mata. Naura ingin sekali membela mamanya, tapi dia kalah.

Badannya terasa sakit, hatinya lebih nyeri. Luka itu semakin menganga lebar, Naura tidak mungkin membiarkan Darel menumpahkan seluruh amarah itu padanya. Dengan gerakan cepat Naura berbalik badan, tak lama dia menahan napas tepat ujung ikat pinggang itu mengenai wajahnya.

Plak

Naura memekik, bergerak mundur sembari memegang pipi. Naura terlalu bingung bagian mana yang harus dia tutupi.

"Kalau aku kesalahan Papa ... bunuh aku sekarang, buat apa ... aku bertahan ... semua-nya Ara cape..." Naura bersandar di kaki kursi mengatur napasnya yang mulai sesak.

Darel terdiam cukup lama, kebiruan di wajah putrinya itu terlihat jelas tapi sayangnya sama sekali tidak ada belas kasih atau bersalah. Bibir pucat itu yang terus berucap sakit, Darel berjongkok.

"Pemikiran kamu sangat bagus, jika saya membunuh kamu maka kamu pasti akan puas karena saya di penjara. Pembalasan kamu sangat rapi," ucap Darel.

"...Kenapa papa gak percaya sama Ara?" tanyanya. Naura tersenyum pahit dengan tangan gemetar meraih lengan Darel. "Aku sayang banget sama Papa, kali ini aja ... Papa peduli."

Naura menunduk, tubuhnya merapat pada Darel yang kembali bergeming. Air bening itu menetes ke paha Darel membasahi celananya.

"Setiap Ara ngomong kenapa selalu salah dipendengaran papa? Ara tau alasannya pasti karena Papa benci Ara, tapi sekali ini aja Papa pedu---"

"Apa kamu bisa memperbaiki semuanya? Hah?!" Darel menyela sambil tangannya berada di atas bahu Naura. "Saya harus bertanggung jawab atas kehamilan Liana."

Naura terisak perlu beberapa saat dia menyahut. "Walaupun kaya gitu aku tau papa cinta sama Mama, kalau Papa gak cinta seharusnya Papa ninggalin Mama. Benar, kan, Pa?"

Mama pernah mengatakan jika namanya diberikan oleh Darel dan arti dari namanya membuat Naura bahagia pada masa itu atau lebih tepatnya hingga sekarang. Cahaya dan bunga. Naura menyukai semua bunga termasuk bunga matahari begitu pula mendiang sang mama.

Naura mengeratkan pegangannya pada lengan Darel, air matanya yang berusaha dia tahan berakhir sia-sia. Justru air mata inilah saksi pedihnya.

"Papa ... aku nyerah." Sebelah telapak tangan Naura memegang dada kirinya. Benar, seharusnya dia memilih berbalik dan tinggal bersama Lovia, mendengarkan perkataan Raihan karena jika kembali itu seperti memberikan luka yang lebih menyakitkan. Naura membunuh adiknya? Itu hal paling menyakitkan.




*****

Darel membanting pintu kamar coklat itu, air mukanya kaku. Langkah kaki Darel hendak menuruni tangga terhenti bagaimana istrinya itu berjalan ke arahnya di bantu Mbak Anis.

"Kamu pasti udah puas kan nyiksa Naura? Kapan kamu sadar, Mas! Naura itu anak kandung kamu, putri satu-satunya. Darah daging kamu!" teriak Riani.

"Jangan berteriak di depanku seperti itu, Riani. Justru karena anak itu dia hampir buat kamu celaka!" balasnya.

Riani menggeleng heran. Suaminya benar-benar keras kepala, susah payah Riani menahan air bening di sudut matanya. "Bukan salah Ara, Mas. Plastik minyak itu gak sengaja dijatuhin Mbak Anis! Gak ada yang salah di sini, NGERTI?"

Darel mendekat kemudian meraih pergelangan tangan Riani secara paksa, menyeretnya menuju kamar.

"Aku beneran menyesal udah nikah sama kamu, Mas. Sepertinya istri kamu ini sinting!" Raung Riani.

"Jaga ucapan kamu!"

"Istri kam--- Argh..." Belum sempat wanita itu melanjutkan ucapannya, pergerakannya berhenti mendadak begitu pun Darel yang langsung menoleh kaget, matanya melebar tak percaya.

Riani meringis kesakitan sambil memegang perut buncitnya, bibirnya berubah pucat setelah menunduk kedua kaki jenjang itu sudah mengalir darah.

"Mas..."

"Riani, kamu baik-baik aja, kan?"

"Pe-perut aku sakit ... arghh." Riani menarik ujung kaos Darel menyadarkan tubuhnya. "Berdarah, Mas."

Berikutnya Riani menjerit ketakutan, warna merah kental itu sama sekali tidak berhenti di tambahi pinggangnya terasa nyeri.

Darel dengan sigap menahan tubuh itu, raut wajahnya penuh kecemasan. Keringat dingin mengalir di kening Riani.

"Maaf, kamu bertahan ya. Kita ke rumah sakit sekarang." Darel menggendong istrinya itu yang matanya mulai tertutup rapat sementara kedua kakinya terus mengalir darah.

Raihan dan Naura [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang