[18] Jagoan

1.1K 115 8
                                    

Naura tidak bisa menahan gugup, ketika laki-laki itu merapikan rambutnya. Tidak ada jarak lagi, maksudnya awal tidak saling mengenal. Naura selalu bersikap ketus, mendirikan tembok kokoh sudah hancur.

Dia percaya ucapan Raihan jika keduanya mengenal lama, sahabat kecil yang kembali dipertemukan dan Raihan menyuruh Naura untuk mengingat persahabatan mereka dulu.

"Udah?"

"Iya, makasihnya dulu dong!"

"Makasih."

"Gak pakai sayang."

Raihan terbahak mendapati pipi gadis manis itu dibuat memerah, tatapannya kemudian fokus pada rumah mewah bergaya eropa di hadapannya kini.

"Lo masuk duluan, gue parkir motornya di sebrang. Sebenarnya gue gak mau lo masuk lagi ke rumah neraka ini," ucap Raihan.

Naura hanya bisa terdiam sebentar sampai Raihan membawa motor besarnya ke sebrang jalan dekat pohon mangga. Dengan langkah pasti Naura menuju halaman rumahnya itu.

Sesuai dugaan, gerbang rumah sang papa terbuka pasti ada yang baru saja datang. Entah itu siapa! Naura mengira teman Riani, namun ternyata bersamaan dia hendak membuka pintu rumah seseorang dari dalam lebih dulu membukanya.

"Bagus ya baru sekarang pulang! Kamu kemana?!" Bentakan itu seketika mengisi pendengaran. Naura dibuat kaget, termundur pelan menghindari tangan Darel yang hendak menamparnya.

Apa yang dilakukan Naura justru semakin meluapkan emosi, Darel menatap dengan mata memerah, urat di bagian leher kulit keriputnya terlihat menonjol.

"Sini kamu!"

"Ara ... pergi, Pa."

Naura menyahut gemetar sembari kepalanya tertunduk, dia menggigit bibir kuat menatap lantai beberapa detik.

"Kamu tau harusnya berterima kasih pada saya, Riani, dan adik kamu itu. Ini kenapa?! Kening di kamu perban, cih!" Darel menarik pergelangan tangan Naura menyeretnya ke dalam rumah.

Naura terbanting ke arah sofa kali ini dia tidak bisa menghindar ketika tangan besar itu berakhir di pipinya.

Plak

"SAYA UDAH BILANG JANGAN PERGI KE MANAPUN! NURUT SAMA SAYA, APA GAK CUKUP! SAYA UDAH URUS HIDUP KAMU!" bentaknya.

"Sakit, Pa. Ini penyebabnya Gemina dia pukul Ar---"

"Sekarang kamu nuduh adik kamu, Gemina justru khawatir karena kamu gak pulang semalaman. Kamu bisanya bikin susah orang lain," desis Darel geram.

Seakan tidak punya hati Darel menarik rambut hitam putrinya itu, kepala Naura mendogak menatap nanar plafon rumah. Naura perlu Raihan ... kemana Raihan? Selama itukah sebatas memarkir motor.

Derap langkah kaki terdengar Naura yang pasrah perlakuan kasar Darel dan rintihan  kesakitannya sekedar sia-sia berharap sosok itu Raihan, namun yang dia lihat adalah pelaku atas kepalanya yang diperban kini telah dilepas Darel.

"Kak Ara jahat banget, kenapa nuduh? Gemi tau Kak Ara belum nerima kami di keluarga Hayden bukan berarti jelekin aku di depan papa." Gadis berambut sebahu itu menghampiri, bawah matanya terlihat bengkak semua orang tau jika gadis itu sehabis menangis.

Naura memegang erat ujung sofa, tidak. Jangan sampai dia melawan atau menyangkal perkataan Gemina, adik tirinya itu bermuka dua.

"Papa pasti percaya aku, kan?" Gemina menepis lembut tangan Darel yang masih menarik rambut hitam Naura, bagaikan sosok penolong dia langsung memeluk Darel. "Kasian Kak Ara. Cukup, Pa."

"DASAR KELUARGA BANGSAT!"

Teriakan melengking itu membuat ketiganya menoleh, Naura bernapas lega. Benar-benar bersyukur Raihan datang. Dengan jemari terkepal Raihan berlari kemudian berdiri di depan Naura, rahangnya mengeras ketika ekor matanya melirik rontokan rambut dan luka di kening Naura kembali mengeluarkan darah.

"Dasar iblis, kalian tau sesusah apa gue obatin lukanya?! Gue suka rambut Ara, rambutnya gue ikat rapi tapi sekarang karya gue kalian rusak!" bentak Raihan.

Berikutnya Gemina menjerit kesakitan, semua penghuni rumah yang baru datang setelah mendengar suara teriakan bersahutan itu dibuat kaget, speechless. Gerakan santai Raihan menendang kaki Gemina.

Darel melotot baru saja ingin memanggil para pengawal kerah kemejanya tiba-tiba di tarik.

"Kalian, termasuk anda. Tidak bisa mencegah saya untuk membawa Ara keluar dari rumah neraka ini! Bodo amat anda tidak setuju!" ucap Raihan dingin.

Ekspresi wajah Raihan sangat menyeramkan, binaran matanya berubah dingin. Naura di balik punggung Raihan sedikit merinding, mencoba berani Naura menarik ujung kaos laki-laki itu.

"Aku nggak papa, kamu tenang aja."

Raihan menggeleng.

"Oke, kayaknya belum saatnya gue balas perbuatan lo, ular. Sekali lagi lo jadiin Ara kambing hitam ingat gue bakal bikin hidup lo hancur. Sehancur-hancurnya." Telunjuk Raihan mengarah tepat pada Gemina, tiga detik setelahnya menuju laki-laki bercelana selutut berdiri di ujung tangga.

Gian tersenyum sinis sembari bersedekap, berbeda jauh pada Gemina justru mengusap kakinya dengan air muka ketakutan.

Raihan berbalik menghadap Naura, lalu dia berjongkok sambil tangannya terulur merapikan surai panjang gadis yang mengisi hari-harinya dan pikirannya kini, selama berbulan-bulan bahkan sejak dulu.

******

Perlu satu jam Raihan mengontrol emosi dan saat itu pula dia tidak berbicara sedikit pun, membiarkan gadis pucat itu untuk kali ini mengobati lukanya sendiri. Kedua kalinya Raihan berada di kamar luas Naura, dinding tetap sama tanpa ada penghias apapun.

"Aku sebenarnya gak suka kamu bicara kasar sama papa, aku beneran jadi serba tapi makasih banyak udah nolongin," ujar Naura pelan.

Raihan tersenyum tipis. "Gue akan nurut setiap perkataan lo," sahutnya. Raihan menggeser kursi lantas duduk keduanya berhadapan. Jemari Raihan merapikan perban yang menutupi kening Naura kemudian beralih ke puncak kepalanya. "Untung yang ini gak lepas, gue bisa kehilangan kontrol beneran."

Naura membalas senyuman tulus Raihan. "Sekali lagi, makasih. Kamu emang jagoan. Aku beruntung bisa kenal kamu, Raihan Dipran."

Di dalam sana, tepatnya jantung Raihan lebih cepat berdetak, perasaan hangat dan nyaman ingin selalu dia rasakan selamanya.

Raihan dan Naura [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang