[62] Pesta (II)

514 69 2
                                    

Di malam itu rumah bercat putih gading lumayan luas tersebut seketika ramai. Ini seperti yang lalu, namun bedanya bertambah dua orang.

Awalnya pesta kecil-kecilan berencana makan bersama, beralas daun pisang tetapi semuanya hancur karena Kahfi merobeknya secara bruntal, memainkan hingga rusak jadi lah berakhir dengan piring.

Nasi liwet Bu Gris dijadikan menu utama, lauk pauknya seperti orang kebanyakan yang pasti sambal ulek harus ada.

Sementara itu di tengah berkumpulan, Naura tersenyum tipis hendak menyapa Kak Alta langsung di cegah Raihan.

"Lebih enak pakai ayam, bebek bakar, atau ikan bakar, Yang?" ucap Raihan sambil menunjukkan piringnya.

Naura memutar bola mata, sudah dia katakan dua kakinya sering pegal apalagi perutnya makin hari makin membesar dan Raihan bersikap biasa saja.

"Ketiganya," sahut Naura. Setiap bergeser Raihan akan melakukan hal sama, Naura kemudian bersedekap. "Enggak usah cemburu! Aku udah lama pengen ketemu Kak Alta, Kak Alta itu seperti saudara aku sendiri!" lanjutnya tegas.

Raihan gagal meraih pergelangan tangan Naura, mendesah kecewa memandangi punggung istrinya itu. Semenjak Naura hamil, emosi Naura juga tidak terkendali dan berat badannya ikut naik, dua kali lipat. Di tambah Naura banyak ngos-ngosan padahal belum setengah berjalan untuk itu Raihan waspada. Tadi pagi pun Naura merengek karena piyamanya robek.

"Ini gak adil, masa piyama aku rusak! Tambah makin lebar robekannya aku paksa."

Perlu setengah jam, Raihan menyakinkan bukan badan Naura penyebabnya walaupun dia berbohong. Jika di tempatnya Raihan mengamati dengan wajah kusut maka Naura di sana tersenyum manis berhadapan si Alta-Alta itu.

Sementara itu Alta membalas senyuman Naura, keduanya duduk berhadapan.

"Kak Alta beneran sibuk banget ya?" tanyanya.

"Iya, aku punya bisnis juga jadi kita jarang ketemu, kamu bisa mampir nanti sama suami kamu ke restoran di jalan Ajira."

Naura mengangguk. "Aku berharap Kak Alta gak kecewa dan dendam sama aku karena nolak pengakuan Kakak," katanya pelan. Ya, laki-laki muda ini pernah berniat ingin menjadikannya istri setelah lulus SMA Bintang bahkan mendapat gelar sarjana, pengakuannya pada saat itu sebelum Naura kelas sebelas, Naura kira sebatas bercanda namun ternyata laki-laki ini serius. Lima bulan berikutnya mengatakan bahwa dia tidak bercanda.

Seakan tau arah pembicaraan Naura, air muka Alta berubah walaupun sesaat. Dia meraih tangan Naura sambil berujar, "Kenapa kamu minta maaf, justru aku ikut bahagia. Maaf, kalau selama ini Kak Alta seperti menjauh, sebenarnya itu salah."

Hidupnya di kelilingi orang-orang baik, Naura sudah siap jika laki-laki yang dia anggap saudaranya ini pergi, karena mengukit kejadian lama itu tapi Kak Alta bersikap biasa saja hanya reaksi awalnya yang terkejut dia membahas itu.

"Kamu udah makan?"

"Udah, Kak."

"Mau makan lagi." Alta meraih piringnya yang makanannya tersisa setengah piring lalu sendok berisi nasi liwet dan potongan kecil ayam kecap terulur di depan mulutnya, Naura tersentak membuka mulut menerima suapan Kak Alta.

"Kam--"

"Hai, Kak Alta." Sapaan itu membuat keduanya menoleh, gadis jangkung berambut sebahu datang di ikuti tiga orang di belakang. Naura berdiri, sadar raut wajah suaminya yang muram. Bisa dipastikan Raihan cemburu dan benar saja setelah berdiri di sampingnya, lengannya di peluk erat.

"Mari kita bersulang." Lovia menyerahkan gelas pada senior di kampusnya itu, Nikan dan Danika melakukan hal sama--mungkin Lovia akui, kini dia dan Danika resmi pacaran. Tidak ada salah kan mencobanya? Akan kah mereka cocok, ditambah Naura mendukungnya.

Jika keempat orang itu sibuk saling mengobrol, pasangan di belakang mereka bersitegang. Raihan berkacak pinggang dan Naura tertawa, Kak Alta sekedar menyuapinya tapi Raihan saja yang bersikap lebay.

"Kamu gak malu di liat Kak Neon?" tanya Naura di sela tawa, suara gadis cantik itu terdengar ketus. Sifat Raihan benar-benar kekanak-kanakkan.

"Harusnya kamu jangan nerima suapan dia," jawab Raihan sinis. Naura membuang muka, tidak peduli lalu menepis tangan Raihan. Malam ini suasana hatinya berantakan, berjalan hati-hati di pinggir kolam.

****

Jam tiga dini hari Naura terbangun, suara musik di belakang rumah tidak terdengar lagi itu berarti pestanya selesai tapi yang Naura dengar sekarang bunyi gemercik air di kamar mandi.

Tidak menunggu lama, pintunya terbuka. Naura menoleh mendapati Raihan dengan handuk melilit tubuhnya, bertelanjang dada. Rambut hitam tersebut basah yang membuat Naura heran, Raihan melangkah sempoyongan.

Naura termundur sebab suaminya itu melompat ke ranjang, Naura mengubah posisinya menjadi duduk.

"Kamu kenapa?"

Tak ada jawaban, iris hitam itu menatap langit-langit kamar. Naura diselimuti kepanikan saat hidungnya mencium bau alkohol, tidak mungkin Raihan ke club.

"Ta-tadi aku ditawarin Danika, maaf. Sayang. Aku udah minum." Seakan mengerti Raihan berkata serak sambil menghapus air bening jatuh di pipi istrinya itu.

Naura tertegun gerakan cepat menghapus air matanya. "Gak papa, kebiasaan kamu sama mereka pasti minum. Aku wajar kok."

Raihan meletakkan kepalanya di paha Naura, telapak tangan Raihan mengusap perut bulat dan besar istrinya ini, tentu dia masih dalam keadaan sadar. 

"Maaf. Aku cemburu buta, aku janji ini terakhir kalinya aku minum. Maafin aku bikin kamu sakit hati," bisik Raihan.

Naura tidak suka ketika Raihan dengan mudahnya minta maaf padahal tak melakukan kesalahan padanya. "Aku lebih gak suka kamu minta maaf ke aku, kamu bebas cemburu atau apapun itu. Tingkah kamu tadi malah buat aku bahagia setelah memikirkannya lama, aku kan istri kamu."

Raihan dan Naura [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang